Oleh : Yael Stefany Sinaga
Medan, wacana.org – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara (Sumut) mengadakan aksi memperingati hari anti penyiksaan di Tugu Nol Kilometer. Hal ini disampaikan oleh Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam, Jumat (26/6).
Amin mengatakan aksi hari anti penyiksaan ini merupakan wujud penghormatan terhadap kesepakatan konvesi menentang penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang berlaku pada 26 Juni 1987.
Ia menjelaskan di Indonesia konvensi anti penyiksaan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998. Namun 22 tahun pasca meratifikasi konvensi anti penyiksaan, penangan dan pencegahan praktek penyiksaan masih jauh dari harapan. “Bahkan dalam beberapa kasus negara tidak segan memperlihatkan praktek kekerasan dan penyiksaan,” ujar Amin.
Amin menambahkan dalam konteks di Sumut, situasinya juga tidak jauh berbeda. KontraS sepanjang Juli 2019 hingga Juni 2020 setidaknya mencatat sembilan kasus dugaan penyiksaan yang terjadi dan mengakibatkan dua orang meninggal dunia. “Secara jumlah kasus penyiksaan meningkat signifikan dari tahun lalu yang hanya terdapat lima kasus,” tambahnya.
Dari sembilan kasus yang KontraS tangani, korban sebagian besar merupakan masyarakat kategori ekonomi bawah, minim pemahaman hukum dan tidak memiliki akses informasi yang baik soal bantuan hukum. Ini membuat KontraS mengecam keras praktik penegakan hukum yang masih melakukan cara penyiksaan seperti dalam rangka mengumpulkan bukti atau memberi hukuman diluar proses pengadilan yang secara tegas dilarang oleh hukum nasional maupun internasional.
Amin berharap aksi hari anti penyiksaan ini menjadi momentum untuk merefleksikan serta melakukan pembenahan terhadap isu yang terkait dengan penyiksaan. Sehingga negara mampu untuk segera melakukan penyelidikan yang independen dan efektif terhadap dugaan kasus penyiksaan. Memastikan aparatur keamanan khususnya kepolisian memahami dan menerapkan Perkap Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia. “Karena kami meyakini bahwa bangsa merdeka tidak mengenal praktik penyiksaan,” tutupnya.
Menanggapi hal ini anggota Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Medan, Agusnardi Malaka mengatakan momentum hari anti penyiksaan menjadi evaluasi bagi kita bahwa praktik penyiksaan di Indonesia semakin banyak terjadi dan tidak pernah mendapat keadilan. Padahal di dalam Undang-Undang pasal 28 I ayat 1 jelas dikatakan bahwa semua orang berhak untuk hidup dan berhak untuk tidak disiksa. Pun hal itu tak bisa dikurangi dalam bentuk apapun. Agus berharap melalui aksi ini praktik penyiksaan tidak lagi terjadi khusunya bagi masyarakat miskin kota. “Ini sebagai bentuk untuk mewujudkan kebebasan demokrasi di Indonesia,” harapnya.