Oleh: Mezbah Simanjuntak
Alun-alun itu sepi. Kabut menguasai hari ini. Tiupan angin menusuk tubuh. Tak ada keriangan bocah-bocah bernyanyi dan berlarian di bawah purnama. Keheningan merayap, memberikan kecemasan.
Sudah sejak menjelang senja kala lingkap senyap itu terasa. Ketika beberapa prajurit berkuda menderap membelah sunyinya malam sambil menenteng sebutir kepala yang siang tadi dipancung.
Prajurit yang paling depan terus saja berteriak lantang dengan dada yang dibusungkan. “Inilah kepala pendusta yang meresahkan warga dan menghina raja. Ini peringatan bagi siapa saja yang coba-coba mengusik ketentraman di Kerajaan Asadal. Camkan!”
Kuda terus menderap meninggalkan debu.
Setiap penduduk yang berpapasan dengan prajurit-prajurit itu lebih memilih diam, beringsut menghindar dan kemudian masuk ke rumah.
Penduduk pun tahu, kemana kepala itu hendak dibawa: alun-alun. Kepala itu akan dipacakkan pada tombak di tengah alun-alun.
“Biarkan kepala itu kering dan kisut, biarkan biji matanya pecah digerogoti semut merah!” amarah Raja Asadal membuat merinding siapapun yang mendengarnya. Karena itu, para penduduk lebih memilih masuk ke rumah dan menutup pintu.
Rata-rata, penduduk duduk bersidekap di kursi, memandangi anak-anak mereka yang diam mematung dengan sorot mata yang sulit diterka. Ah, pasti mereka kecewa karena dilarang keluar rumah saat malam hari. Tetapi sepertinya para bocah menyadari apa yang saat ini sedang terjadi. Mereka hanya bisa diam sementara para orang tua hanya bisa saling tatap membagi kesunyian.
Alun-alun sepi seperti tak berpenghuni. Dan di tengah alun-alun terlihat kepala yang kini terpacak di tombak.
Purnama seperti separuh terpejam, membuat cahayanya yang keperakan menjadi redup dan samar-samar. Sekawanan semut merayapi batang tombak, menjilati leleran darah yang sesekali menetes dari nganga luka leher yang tak terpenggal dengan sempurna, juga dari lubang hidung dan kedua telinganya.
Ah, wajah yang tampan. Bahkan dalam bonyok masih saja tampak menawan. Bibirnya yang dialiri darahnya sendiri masih menyunggingkan senyum, pipinya bersih dan mengkilap. Di bawah cahaya bulan, bayangan hidungnya begitu sempurna. Dan lihat sepasang matanya yang tetap menyalang.
MENGERIKAN!
Ya, aku berhenti bercerita. Kupandang Yoko yang duduk bersimpuh sambil menyandarkan kepala ke sofa. “Begitulah dulu penguasa memperlakukan orang-orang yang tidak disukainya,” jelasku.
Yoko melayangkan pandangannya ke luar jendela dan memandangi bayangan bulan yang memantul di kaca. Entah mengapa aku merasa Yoko mencari sesuatu di bawah bulan sana. Apakah cerita barusan membuatnya takut?
“Apa salahnya hingga orang itu dipenggal?”
Anak cerdas, batinku. Rasanya aku mulai menyukainya. Bocah tujuh tahun ini bukan anak ataupun keponakanku. Kami tak ada hubungan darah. Seminggu yang lalu, dua hari setelah meledak kerusuhan, penjarahan dan pembakaran rumah dan toko-toko, seorang kawan yang juga aktivis datang ke rumah dan menitipkan Yoko. “Tolong jaga dia sampai orang tuanya ditemukan,” itulah pesannya padaku.
Jujur aku tak begitu suka anak-anak, konon lagi ini tak ada hubungan kekeluargaan. Tapi ketika menatap matanya yang berwarna hitam pekat dan masih bersih entah mengapa aku merasa terbuka dengannya.
“Apa salah orang itu?”
Aku tersenyum memandang matanya kemudian kembali bercerita.
KESALAHAN?
Itu perkara mudah yang gampang dicari oleh Raja Asadal yang diam-diam menyimpan hasrat pada Sakai, istri dari Maneo.
Ketika raja berkeliling di area kerajaan, ia melihat Sakai yang merupakan pedagang kue sedang menjual dagangannya. Bayangan lekuk tubuhnya membuat Raja Asadal tak puas jika belum menikmatinya.
“Tapi ia sudah bersuami, Raja Asadal,” seorang penasihat kerajaan menjelaskan.
Namun raja hanya mendengus. Tak seorangpun berani menampik kehendak raja. Lantas para penasihat mendatangi rumah Maneo dan menjelaskan raja memiliki hasrat memiliki istrinya.
Maneo menolak dan tetap menolak walaupun sudah diancam. “Hidup mati, Sakai istri saya,” tegas Maneo.
Tak ada jalan yang lebih baik untuk menaklukkan seorang yang keras kepala kecuali dengan menjebaknya. Dan Raja Asadal sudah sering melakukan hal itu. Maka ia pun mendatangi Maneo dengan baik-baik untuk memesan kue untuk perayaan pesta. Maneo yang tidak mencium bahaya pun menyanggupinya.
Ketika pesta, kue tersebut dicampur raja dengan racun. Kemudian diberikan pada khalayak. Bisa diduga, puluhan orang langsung kejang-kejang. Sampai tengah malam lebih dari lima puluh orang meninggal. Lantas semua keonaran tersebut dituduhkan kepada Maneo.
“Pedagang itu telah mencampukan racun kedalam kuenya, tangkap!” teriak Raja Asadal.
Tengah malam itu juga Maneo ditangkap, kedua kakinya diikat, lalu digantung dengan kepala di bawah. Setiap orang diperintahkan untuk mencambuknya. Tubuhnya melepuh dan berdarah-darah. Sementara Sakai disekap dikamar Raja Asadal. Raja sukses menikmati tubuh perempuan itu.
Yoko gemetar, seakan-akan cerita itu nyata baginya. Aku jadi menyesal kenapa menceritakan cerita itu sebagai pengantar tidurnya. “Kamu sudah mengantuk? Tidurlah.”
Kubimbing Yoko ke tempat tidur lalu kuselimuti, berharap ia segera lupa dengan cerita barusan.
Nyatanya tak seperti apa yang kukira. Menjelang dini hari aku terbangun oleh isak tangis yang tertahan. Kurasakan angin dingin mengelus, dan kudapati jendela terbuka, sementara Yoko termangu menahan dagu dengan tangannya. Tubuhnya gemetar. Isaknya tersengal, tertahan.
“Ada apa, Yoko?”
Pandanganya mengarah ke jalan. Kuikuti arah itu, dan kulihat dinding-diding seperti menyala, batu-batu yang berserak, pertokoan yang terbakar, begitu nyata di bawah bulan.
“Ada apa Yoko?”
“Di sana, di pinggir jalan Yoko lihat kepala papa dipacak di jeruji pagar….”
Ya, Tuhan! Aku tercekat. Suara Yoko datar dan wajahnya kosong, jarinya lunglai menuding ke jalanan.
“Yoko lihat api berkobar. Itu jerit Mama… itu tangis Mama… itu kepala Papa.”
Aku termangu, ah tidak! Aku merasa begitu hampa.