Oleh: Renti Rosmalis
Kawah Putih Tinggi Raja bukan baru terbentuk atau ditemukan.Hanya saja ia baru dikenal masyarakat luas akhir-akhir ini. Tempat yang biasanya dikunjungi ketika hari-hari besar saja ini mendadak ramai setiap harinya. Masyarakat sekitar pun mulai menjadikannya ladang pencaharian baru.
Akhir November 2013, seorang teman saya mengatakan ada kawah putih di Sumatera Utara yang baru ditemukan. Bahkan medan.tribunnews.com mengatakan tempat itu baru saja terbentuk dan ditemukan sekitar dua tahun lalu. Berawal dari penasaran itu, saya dan tiga orang teman berangkat ke sana Desembernya.
Berangkat dari Medan menuju Lubuk Pakam, lalu belok kanan di persimpangan menuju Galang, melewati Bangun Purba hingga sampai Dolok Tinggi Raja.
Dari Medan, lebih kurang empat jam perjalanan darat hingga sampai lokasinya. Meski begitu, ini bukan perjalanan yang mudah ditempuh.Pasalnya jalanan rusak dan berbatu sejauh sekitar dua belas kilometermenanti untuk dilewati. Jalanan rusak dan berbatu ini baru akan kita temui saat sudah memasuki simpang menuju Kawah Putih.
Menurut beberapa teman yang sebelumnya pernah berkunjung, kita tak akan dimintai uang masuk. Hanya biaya parkir. Namun baru sekitar duakilometer berkendara, kami dihadang empat pemuda berseragam Pemuda Pancasila.
“Satu kereta (sepeda motor—red) lima ribu,” katanya tanpa basa basi sambil menyodorkan kardus.
“Kok bayar, bukannya enggak bayar, ya, Bang? Ini uang apa?” tanyaseorang teman saya.
“Kereta bayar lima ribu,” kembali pemuda itu menegaskan.
Kami bayar lalu melanjutkan perjalanan, padahal perjalanan masih sekitar sepuluh kilometer lagi. Kembali, di tengah perjalanan kamitemukan dua kali pengutipan lagi. Mereka, yang terdiri dari pemuda dan orang tua beralasan perbaikan jalan dengan cara tambal jalan yang berlubang dengan tanah di pinggir jalan. “Sukarela saja,” kata salah seorang pemuda sambil menyodorkan kardus. Padahal tak ada tanda-tanda ada perbaikan jalan.
Kembali di tengah perjalanan kami bertemu sekelompok laki-laki. Mereka sibuk melemparkan tanah ke jalan namun tak ada tanda-tanda perbaikan jalan. Mereka pun minta uang sukarela. Empat kilometer dari lokasi kawah putih pun kami dimintai uang sukarela kembali.
Tanah yang kami lewati tak lagi hitam kecoklatan, sudah berwarna putih, pertanda tujuan sudah dekat. Satu lagi kegiatan masyarakat sekitar, beramai-ramai menjaga parkir. Ada tenda-tenda didirikan di pinggir jalan.
Bukit berwarna putih hanya berjarak sekitar seratus meter dari tempat parkir. Semua bukit-bukit yang kecil berwarna putih kehitaman tertutupi lumut dan rumput-rumput yang merambat. Secara keseluruhan tempat ini memiliki luas 167 hektare.
Di antara bukit-bukit kecil inilah terdapat kolam air panas berwarna biru. Di sekitar bukit, tenda-tenda berwarna biru didirikan. Bukan orang berkemah atau berkunjung, melainkan masyarakat sekitar yang menjual makanan ringan dan minuman.
Tak hanya itu, sampah plastik dan botol minuman berwarna-warni benar-benar tampak jelas menghiasi pinggiran kolam yang biru.
Melihat jumlah sampah yang cukup banyak, jelas tempat ini tak baru lagi. Bahkan beberapa sampah telah memutih mirip terumbu karang di dasar kolam.
Hal ini juga diperjelas Suheri Yadi, salah satu masyarakat yang berjualan di tepi kolam Kawah Putih. Kata Heri tempat ini sudah ada bahkan sebelum ia lahir. Biasanya kawah putih ramai dikunjungi masyarakat sekitar saat hari-hari besar saja. “Tapi sekarang setiap hari pun ramai, makanya saya ikut jualan di sini,” katanya.
Heri bilang kawah putih ramai dikunjungi sejak ada kunjungan dari mahasiswa USU yang praktik kerja lapangan di daerah Bangun Purba.“Mereka buat ke internet foto-fotonya, jadi terkenallah,” jelasnya.
Heri juga juga jelaskan masyarakat sekitar yang antusias seperti pengunjung. Tempat ini mereka jadikan ladang pencaharian baru, mulai menjajakan makanan ringan dan minuman seperti yang baru ia lakukan sejak dua minggu lalu, menjaga parkir, hingga meminta uang di tengah jalan.
Sebenarnya kehadiran pedagang yang cukup dekat di pinggir kolamKawah Putih cukup mengurangi keasrian tempat yang masih menjadi cagar alam ini. Ditambah pemungutan uang secara liar juga belum diatur oleh pemerintah. “Gimanalah, belum jadi objek pariwisata. Jadi belum diurus benar sama pemerintah,” jelas Heri.
Rizal EP Saragih, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Simalungun mengatakan, Kawah Putih Tinggi Raja ini sekarang sedang dalam proses permohonan pelepasan dari kawasan cagar alam kepada Menteri Kehutanan sejak Januari 2014 lalu. “Kita minta pelepasan 40 hektare untuk dijadikan objek pariwisata termasuk Kawah Putih,” kata Rizal.
Saat masih dalam status cagar alam, kegiatan pemungutan retribusi dan kegiatan masyarakat yang berjualan di kawasan tersebut harusnya tidak boleh terjadi. “Bahkan hal terlucu kita pernah minta kepala desa untuk mencabut peraturan desanya yang berencana memungut retribusi ,” tambah Rizal.
Begitulah perjalanan hingga kami pulang meninggalkan tempat wisata lama yang baru terkenal ini melewati jalan yang sama dengan pergi tadi.Membayar uang parkir Rp 5 ribu dan berpamitan pada sekelompok orang yang mengaku memperbaiki jalan tadi, meski tak ada perubahan saat kami datang hingga pergi.