Indonesia identik dengan mudik atau yang sering disebut dengan istilah pulang kampung, tradisi tahunan jelang hari raya besar keagamaan misalnya lebaran. Namun—seperti tahun lalu, COVID-19 buat mudik kian dibatasi. Sejak 6 Mei 2021, pemerintah resmi melarang mudik lebaran hingga 17 Mei 2021.
Larangan mudik dimaksud untuk pembatasan mobilitas masyarakat dan mengoptimalisasi fungsi Posko COVID-19 di desa/kelurahan selama Ramadhan dan Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah. Selain itu larangan mudik juga bertujuan untuk melakukan pemantauan, pengendalian, dan evaluasi dalam rangka mencegah terjadinya peningkatan penularan COVID-19. Larangan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.
Lalu bagaimana tanggapan mahasiswa USU tentang larangan mudik? Apakah mereka pro dengan peraturan pemerintah atau malah sebaliknya? Berikut ini adalah beberapa tanggapan mahasiswa USU.
Angga Haganta Sitepu – Fakultas Teknik 2017
Saya pribadi setuju. Namun yang menjadi pertanyaan dan perhatian bersama adalah proses pelaksanaan dan ketetapan yang dijalankan, entah itu dari pihak masyarakat ataupun pemerintah. Untuk masyarakat, mungkin berat untuk menjalani hal yang sama seperti tahun lalu kita dilarang melaksanakan mudik, namun kalau ini terus dilanggar akan mengakitbatkan proses yang cukup melelahkan kita kembali dalam menurunkan angka COVID-19 di Indonesia.
Kepada pemerintah dalam proses menjalankan larangan mudik ini tolong skema yang diatur agar dilaksanakan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya untuk kebaikan kita semua. Semua sudah cukup lelah semuanya juga sudah cukup muak, jadi tolong kita jaga sama-sama.
Ella Asesti – Fakultas Ilmu Budaya 2018
Saya kontra dengan kebijakan pemerintah. Karena menurut saya jika para pemudik dapat menerapkan protokol kesehatan dan dapat membuktikan surat dokumen negatif COVID-19 hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR), rapid tes antigen, dan GeNose 19, saya rasa tidak masalah. Apabila para pemudik tidak dapat membuktikan dan menerapkan protokol kesehatan ketika melangsungkan mudik maka saya setuju dengan kebijakan pemerintah.
Shinta Rizki Alfina – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2018
Sebenarnya saya tidak setuju. Jika kita perhatikan sebelumnya ada acara pemilu dan masyarakat diperbolehkan berdatangan dengan menerapkan protokol kesehatan belum lagi cafe dan mall dibuka. Sementara masjid tidak bisa didatangi shalat berjamaah, sekolah ditutup, kampus ditutup.
Sekarang Hari Raya, hari bahagianya seluruh umat Islam malah tidak diperbolehkan mudik. Belum lagi peraturannya lebih parah dari tahun sebelumnya. Saya rasa tidak adil sih. Menurut pandangan saya sepertinya awal bulan Februari dan Maret sudah mulai jarang terdengar berita tentang COVID-19, ini malah dekat lebaran Covid-19 muncul lagi. Belum lagi warga asing yang diperbolehkan masuk, kan jadi tanda tanya gitu kayak gak masuk diakal.
Zhafari Rivaldy – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2019
Saya setuju sama pelarangan mudik ini, tapi kalo diliat dari pengimplementasiannya, sepertinya masih jauh dari kata baik. Kita dilarang untuk mudik tetapi kita tidak jarang pula menemukan kawasan pariwisata yang diperbolehkan beroperasi.
Nah kalo mau di larang mudik ya gapapa selama itu berdampak besar buat pengurangan penyebaran COVID-19. Tetapi kawasan pariwisata dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan interaksi dan mobilitas harus di tindak dengan bijak dong. Jangan cuma mudik nya doang yang dibijakin tapi yang lain dibiarin gitu aja dan seharusnya dengan pelarangan mudik ini pemerintahan juga memberikan solusi untuk masyarakat yang menggantungkan perekonomiannya di masa sulit ini. Contohnya supir travel ataupun semacamnya, mereka ga bisa membiayai keluarganyakan kalo ga kerja.
Joshua Immanuel Fransisko Manurung – Fakultas Ilmu Komputer 2020
Saya pribadi kurang setuju dengan larangan mudik tersebut. Memang larangan tersebut di keluarkan untuk menekan angka peningkatan COVID-19 di negara kita. Tetapi sampai saat ini masih banyak yang tidak menghiraukan larangan tersebut dan memilih tetap mudik tahun ini. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah memasukkan Warga Negara Asing (WNA) kedalam negeri baru-baru ini yang berpotensi membuat masyarakat untuk semakin melanggar larangan tersebut.
Banyak masyarakat yang melakukan mudik sebelum dan di awal tanggal larangan mudik di laksanakan. Para pemudik membludak sehingga membuat aparat kewalahan dan malah kebobolan. Seharusnya pemerintah dapat mengubah larangan tersebut dengan menetapkan aturan yang sama seperti ketika kita akan terbang menggunakan pesawat. Di mana jika kita ingin mudik setidaknya kita memiliki surat bebas COVID-19 atau kita di periksa di setiap perbatasan kota apakah kita berpotensi atau positif COVID-19.
Alfina Mendrofa – Fakultas Kesehatan Masyarakat 2017
Berbicara soal mudik pikiran kita langsung tertuju kepada kampung halaman. Mudik adalah kesempatan yang sangat diimpikan setiap orang apalagi ketika dia berada jauh dari keluarga dan tidak punya banyak waktu untuk pulang. Tapi tahun ini ada peraturan yang melarang untuk mudik. Saya setuju terhadap peraturan tersebut karena keadaan negara Indonesia sedang berada dalam masa pandemi COVID-19, terhitung per tanggal 12 Mei 2021 sudah terdapat 1.408.204 kasus konfirmasi dengan 4.608 penambahan kasus hari ini. Sungguh bukan angka yang bisa kita sepelekan belum lagi masuknya varian baru COVID-19 di Indonesia yang tingkat penularannya semakin tinggi.
Ada larangan berarti ada hal yang harus dijaga. Ketika kita patuh terhadap larangan mudik dari pemerintah berarti kita sedang menjaga orang tua, saudara bahkan keluarga besar di kampung halaman, belum tentu kita pulang membawa kebahagiaan tetapi kita pulang membawa virus, kita tidak tahu. Maka dari itu, mari sama-sama taat terhadap larangan pemerintah, bukan karena kita tidak ingin jumpa tapi karena rasa kasih kita kepada mereka lebih tinggi dan kita bisa menjaga mereka dari jauh.