BOPM Wacana

Karma

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Sri Wahyuni Fatmawati P

“Mmiiaww,”

“Ddukk,”

“Ckkiiittt,”

Kepala Utomo tersentak ke depan dan ke belakang, suara barusan benar-benar mengagetkannya. Utomo menarik napas perlahan sambil berusaha menenangkan detak jantungnya. Sekilas ia layangkan pandangannya ke luar jendela Honda Jazz miliknya. Gelap. Ia lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. 22.30 WIB. Sial, rutuknya. Sudah semalam ini dan dia belum sampai ke rumah sakit. Apalagi sekarang dia memiliki masalah kecil.

Dibukanya perlahan pintu mobil, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pelan dilangkahkan kakinya ke arah depan mobil. Deg. Utomo terpaku melihat benda di hadapannya. Kecil. Hitam. Merah. Tak berbentuk. Seeokor kucing hitam sudah terluka parah. Dilihatnya kedua kaki depan kucing tersebut sudah lepas dari badannya. Bau anyir darah juga tercium. Ukh, sialan, dia merutuk lagi. Masa bodoh lah, aku harus segera pergi dari sini. Utomo kembali masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin dan melaju kencang membelah malam.

Sambil menyetir pikirannya melayang pada kejadian di Bandung 2 jam lalu. Utomo sedang ada pertemuan dengan klien barunya saat sekertarisnya mengabari kalau Diana, istrinya, baru saja dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi tidak sadar. Sesudahnya Utomo tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja dia sudah di jalan dan menabrak kucing hitam tadi. Hati Utomo kembali tersentak mengingat kucing itu. Utomo menggelengkan kepalanya berulang kali, berharap bayangan kucing berdarah itu hilang dari pikirannya. Sedetik kemudian dia sudah kembali fokus pada perkataan sekertarisnya tadi. Sepertinya dia hanya mendengar sekilas. Jatuh. Kamar mandi. Pingsan. Rumah sakit. Bayi.

Tuhan, Utomo mengerang. Selamatkan anak dan istriku. Kandungan Diana baru saja berumur 7 bulan seminggu yang lalu. Kecelakaan kecil itu pasti akan sangat berdampak untuk keduanya. Utomo tidak mau itu terjadi. Tak lama, ia telah tiba Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Ruang operasi. Ternyata istrinya sedang menjalani operasi. Keadaan Diana dan kandungannya yang sangat lemah membuat dokter harus segera mengeluarkan bayi mereka. Kedua orangtua dan mertuanya juga menunggu di situ.

Lagi, bayang kucing yang ditabraknya tadi sangat melekat di pikirannya. Masih tergambar jelas di ingatannya bagaimana bentuk kucing mati itu. Utomo tak pernah menabrak kucing ataupun hewan lain. karena ini yang pertama, peristiwa itu sangat menyita pikirannya.

Tiba-tiba Utomo teringat Mbah Rin, neneknya. Dulu sekali Mbah-nya pernah bercerita, sesuatu tentang kucing hitam. Tapi ceritanya dia lupa. Utomo mengelengkan kepalanya sedikit. Berusaha mengingat apa cerita Mbah Rin, namun ia tetap tak ingat.

***

Utomo tersentak. Sepertinya tadi dia tertidur. Sesuatu yang merangsek ke dalam pikirannya membuatnya bangun seketika. Sesuatu tentang bayinya. Untuk kembali mengingatnya saja dia tak sanggup.Utomo menghela napas, kemudian pintu ruang operasi terbuka. Dokter Gunawan keluar dengan mata kuyu, dan tampak lelah. Dokter Gunawan menghampiri Utomo.

“Bagaimana istri saya Dok? Anak saya? Baik-baik saja kan?” Utomo memberondong dokter itu seketika.

“Iya, Diana baik-baik saja,” Dokter Gunawan menjawab. Utomo mengernyit, lalu bayi kami?

“Anak saya Dokter? Bagaimana dia?” Utomo kembali bertanya.

Dokter Gunawan menghela napas perlahan. “Ya, anak Anda selamat,” ujarnya.

Reflek Utomo menghembuskan napas lega. “Syukurlah,” bisiknya.

“Saya bisa menemui mereka Dok?” Utomo bertanya lagi.

“Ya tentu saja, istri Anda sudah bisa ditemui setelah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa tapi sebaiknya satu orang dulu. Dan anak Anda sedang dibersihkan, setelah itu bisa Anda lihat,” jelas Dokter Gunawan.

“Baiklah,” sahut Utomo

Utomo menemui Diana di ruang rawat wanita itu. Kondisinya masih lemah. Namun sepertinya kabar bayi mereka yang selamat cukup membuat wanita itu tersenyum. Tak lama kemudian perawat masuk ke ruangan dan Dokter Gunawan mengikuti dari belakang. Perawat itu membawa bayi mereka. Utomo tersenyum, sebenarnya ia sudah tidak sabar dari tadi. Ingin segera melihat anaknya. Perawat memberikan bayi itu kepada Utomo agar ia dapat menggendongnya. Utomo menyambutnya dengan antusias. Saat itu Utomo menyadari sesuatu. Dia mengerti wajah khawatir Dokter Gunawan tadi. Dengan gusar Utomo menyingkap kain yang menutupi tubuh anaknya.

Entah sudah berapa kali jantung Utomo terpaku seperti ini. Kali ini diiringi dengan air mata yang sudah mulai merebak di pelupuk matanya. Kedua tangan anaknya tidak ada. Diana menjerit seketika. Perawat berusaha menenangkannya. Utomo terpaku. Tak tahu mau bilang apa.

“Ini akibat keadaan bayi Anda yang prematur,” suara Dokter Gunawan. “Juga karena keadaan kandungan istri Anda yang pada dasarnya lemah,” tambahnya.

Utomo sudah tidak lagi mendengarkan kata-kata Dokter Gunawan. Air matanya sudah jatuh dari tadi. Entah penjelasan secara ilmiah yang bagaimana yang dijelaskan Dokter Gunawan. Utomo sudah sangat lemas.

Tiba-tiba pikiran Utomo teringat pada kucing hitam tadi. Juga Mbah Rin. Ingatan itu mampir di pikirannya. Cerita Mbah Rin tentang kucing hitam. Juga mimpi tentang anaknya barusan. Lagi ia teringat keadaan kucing hitam itu. Kucing hitam yang menghuni pikirannya sejak tadi malam. Darah. Kedua kaki depan kucing itu yang terpisah dengan badannya.

Utomo tak menyangka mimpinya barusan menjadi kenyataan. Tak menyangka akan jadi seperti ini. Perlahan Utomo memberikan bayinya pada perawat. Dia perlu berpikir, menenangkan dirinya. Diana sudah tidak sehisteris tadi, walaupun masih sesunggukan. Utomo tak sanggup melihatnya, kemudian melangkahkan kaki keluar ruangan. Ia duduk di bangku depan ruangan. Merenung. Menangis. Pasrah. Sudah entah berapa lama dia menangis di situ.

***

20 tahun lalu. Pinggiran Jawa Barat.

“Kamu tahu, kucing hitam itu tanda kesialan. Banyak yang bilang itu jelmaan setan. Makanya kamu jangan sampai melukai kucing hitam, nanti kamu bisa mendapat sial,” suara perempuan tua memecah keheningan sore itu.

“Ahh Mbah, itukan cuma takhayul. Aku nggak percaya. Ini kan sudah abad 22, mana ada yang kayak gitu,” suara anak kecil membantah.

“Eh eh eh, kamu ini. Dibilangin kok malah ngeyel. Itu benar. Sebagai orang Jawa kita harus meyakininya, supaya hidup aman tentram. Apalagi kalau nanti istrimu sedang hamil, tidak boleh menyakiti makhluk apapun, sekalipun itu tumbuhan. Kalau kamu sampai menyakiti kucing hitam akan berakibat buruk bagi calon anakmu nanti. Itu artinya kamu kena karma,” perempun tua itu kembali bergumam.

“Mbah ini gimana sih, kita kan orang berpendidikan. Masa’ percaya yanggituan. Aku nggak percaya pokoknya,” anak kecil itu lagi.

“Kamu ini gimana sih Utomo. Masa’ kamu baru percaya kalau kamu mengalaminya sendiri,” suara perempuan tua itu lagi. Mbah Rin.

Utomo kecil tetap menggeleng. Berlari kecil di halaman depan rumah. Dia tetap tak percaya. Menurutnya itu mustahil. Takhayul. Tidak mungkin. Tidak ada yang namanya kesialan karena kucing hitam. Apalagi karma.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4