Oleh: Aulia Adam
Aku sedang berenang bersama Rian saat mendadak kakiku keram. Sialnya, rasa sakit yang mendadak mencekik separuh badanku ini membuat mulutku tak bisa menjerit mencari pertolongan. Rian yang berenang tak jauh dariku pun tak tau kalau aku sedang sakaratul maut.
Napasku mulai disumbat air asin yang masuk melalui mulut dan hidung. Sedang dadaku mulai terasa sesak dan panas. Begitu panasnya hingga aku merasa ada sesuatu yang pecah di paru-paruku. Di saat itu juga penglihatanku memburam dan membawa kegelapan yang kekal.
“Aaaaa!!!”
Seseorang menjerit!
Ibu? Ibu kah itu?
Mataku kembali terbuka, disertai sengatan pusing akibat disorientasi singkat.
“Aaaa!!” sekali lagi suara teriakan terdengar.
Aku, yang masih disorientasi karena baru bangun tidur, pontang-panting turun dari kamarku di lantai dua dan berlari mencari sumber suara. Berlari ke lantai satu, tempat Ibu menjerit histeris barusan.
Tapi di tengah tangga, langkahku terhenti. Seseorang berdiri di sana… seseorang? Benarkah itu seseorang? Karena yang kulihat adalah… Roy? Benarkah itu Roy?
Mendadak tubuhku bergidik. Merinding hebat. Rasanya temperatur ruangan ini tiba-tiba turun drastis. Membuat perasaan bergidik ini mengganda berkali-kali lipat. “Roy?” akhirnya ada yang keluar dari mulutku.
Tapi ‘seseorang’ yang membuat aliran darahku tersendat ini diam saja. Memandangku dengan mata kosong dan bibir penuhnya yang melengkung ke bawah. Membentuk seringai terbalik yang membangkitkan bulu di tengkuk leherku.
“Kau kah itu Roy?”
Ilustrasi: Aulia Adam
Pertanyaan retorik itu sebenarnya tak perlu ia jawab. Dari jarak kami saling berhadapan ini tentu saja aku masih bisa mengenali wajah itu. Dia memang Roy. Abangku… yang tiga tahun lalu sudah meninggal.
Roy masih diam.
Tiga tahun lalu, Roy mendadak hilang saat kami sekeluarga berlibur ke Pantai Senggigi. Selama dua hari, dibantu polisi, kami sibuk menyisir kawasan pantai itu untuk mencarinya. Tapi nihil. Dugaan-dugaan menyeramkan mulai muncul. Ada yang mengira abangku yang berumur 14 tahun itu terbawa arus pantai yang memang sedang pasang saat dia menghilang. Ada pula yang menduga Roy diculik oleh orang tak dikenal dan dibawa entah ke mana.
Dugaan pertama terdengar lebih masuk akal, karena hingga kini tak ada seorang pun yang menelepon untuk minta tebusan agar Roy dikembalikan. Sampai hari ini tubuh Roy memang belum ditemukan. Tapi aku tak yakin kalau yang berdiri di depanku sekarang memang lah ‘tubuh’ Roy yang selama ini kami cari?
“Kemana saja kau, Roy?” aku tak tahu kenapa pertanyaan itu keluar dari mulutku. Mungkin karena terlalu merindukan sosoknya yang membuat keluarga ini berkabung terus selama dua tahun terakhir.
Ada hening yang lama sebelum Roy menjawab, “Aku selalu di rumah, Za.”
Bulu-bulu di tengkukku semakin menegang mendengar suaranya. Terlebih karena dia menyebutkan namaku dengan fasih; persis seperti terakhir kali aku mendengarnya menyebut namaku dua tahun lalu.
Dadaku mendadak sesak. Diikuti rasa terbakar yang menandak-nandak di mataku. Rasanya seperti ingin menangis, tapi tak ada air yang jatuh. Aneh. Padahal biasanya aku memang orang yang gampang menangis.
“IBU! BANGUN BU!” tiba-tiba suara bariton ayah mengambil alih perhatianku. Sehingga aku menoleh ke arah bawah tangga. Tepat, tempat ayah sedang merebahkan Ibu yang kelihatannya sedang pingsan.
Tapi saat mataku kembali menoleh ke depan, Roy telah hilang.
Tentu saja tubuhku yang sedari tadi bergidik makin bergidik dibuatnya. Tapi fokusku telah teralihkan ke arah bawah tangga. Ibu sedang pingsan karena menangis sesenggukan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Saat aku telah tiba di bawah dan ingin bertanya, “Ibu kenapa, Yah?”, Merry, kakak sulungku malah telah mendahuluiku dengan pertanyaannya, “Ada apa, Yah?”
Ayah yang juga menangis melirik Merry dengan tatapan pilu. Tapi ada yang aneh. Ayah seolah-olah hanya memberikan tatapan itu pada Merry. Padahal aku sedang berdiri di antara mereka berdua.
Ayah sedang memangku Ibu yang tergolek lemah, sementara Merry baru masuk dan berdiri di dekat pintu depan. Tapi keduanya bertingkah seolah-olah hanya mereka berdua yang ada di ruangan itu, ditambah Ibu yang sedang tidak sadar. “Yah?” tanyaku.
Tapi pandangan ayah masih tertumpu pada Merry dan ia mulai menangis sesenggukan. “Reza meninggal, Merry. Rian barusan menelepon, katanya Reza tenggelam,” kata Ayah sambil menangis terisak.
Saat kepalaku belum sepenuhnya mencerna adegan mengerikan yang barusan kulihat, di saat itulah Roy memilih kembali muncul. Tepat lima sentimeter di depan hidungku.
Kali ini dia tersenyum.
Sambil berkata, “Sekarang aku tidak sendiri lagi terkurung di rumah ini, Za.”