Oleh: Nadiah Azri Br Simbolon
Saat dunia yang kau huni tak pernah memberikan jawaban atas pertanyaan yang menghantui pikiranmu. Maka berserahlah. Pinta kedamaian yang menjawabnya.
Di sebuah hamparan padang pasir yang luas, terlihat anak Adam berjalan meringkih dengan kaki terseok-seok. Bercak darah yang melekat di sekujur tubuhnya mengundang hewan-hewan kecil untuk mengerubunginya.
Sesekali ia meringis. Terlihat seperti menahan nyeri yang menyerang saat tubuhnya bergerak. Kondisinya mengenaskan. Mungkin sebentar lagi Izrail akan mengucapkan salam kepadanya.
Tak jauh darinya terdapat sebuah perkampungan. Kondisinya bisa dikatakan jauh dari kata layak. Karena rumah-rumah telah dilahap si jago merah. Manusia-manusianya sudah seperti debu yang beterbangan. Berserak dengan cairan anyirnya. Memang tak terlihat tanda kehidupan.
Pemuda itu berjalan menjauhi perkampungan neraka itu. Ia masih ingin hidup untuk mencari satu hal yang telah mengganggu hidupnya selama ini.
Waktu terus berdetak. Mengejar langkah kaki pemuda tersebut. Tak sadar ia sudah berjalan hampir setengah hari. Malam bersambut. Ia kelaparan. Tapi tak ada sedikit pun makanan di sekitarnya. Dari tadi saja ia terus menjilati air keringatnya untuk mencoba menghilangkan dahaganya. Walau itu tidak cukup.
“Ah… Tuhan aku harus apa? Perutku sudah tak diisi makanan selama dua hari. Bantu aku. Kirimkan apa saja untuk menyelamatkanku,” jeritnya.
Sayangnya doa pemua itu tak segera dikabulkan Tuhannya. Ia terus merintih di sepanjang malam. Sambil memegangi perutnya, ia menyerahkan tubuhnya ditusuk dinginya angin malam. Tanpa alas tidur.
Sambil menerawang cakrawala, ia terus memikirkan kata-kata pujaan hatinya, sang ibu. ‘Hiduplah dengan kedamaian.’ Ibunya selalu mengatakan hal tersebut dalam setiap pengulangan hari lahirnya.
Andai damai memang seperti makna di Kamus Besar Bahasa Indonesia, apakah ia akan bisa selalu bersama dengan yang dicintainya? Ia hanya menginginkan itu di dalam hidupnya. Hanya doa itu yang selalu diulang-ulangnya.
Namun, kejadian dua hari silam terngiang kembali di otaknya. Rintihan anak-anak kecil. Pekikan para orang tua yang memanggilkan sanaknya. Semuanya ditelan oleh suara timah panas dan alat peledak yang dilempari dari berbagai arah.
Sedetik kemudian suara-suara itu berhenti menggema. Digantikan bau amis yang menyeruak. Saking banyaknya manusia yang rangkaian tubuhnya tercerai-berai.
Kelompok pengkhianat negara atas nama agama telah memborbardir kampungnya. Meluluh lantakkan semua kehidupan. Tak membiarkan satu makhluk pun berbagi atmosfer yang sama dengannya.
Hanya ia yang selamat dalam pembantaian itu. Sang pujaannya mati dengan kepala yang terhempas dari badannya. Setelah mempelajari makna kedamaian yang terus dilontarkan ibunya, ini yang ia dapat? Seumur hidupnya ia selalu mengutamakan perdamaian. Ia tak mau terlibat percekcokan apapun. Sungguh Tuhan membalasnya dengan tak adil.
Dia tidak ingin mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kali ini. Selamat setelah menyaksikan tragedi pembantaian apakah bisa dikatakan beruntung? Jelas tidak. Ini kesialan yang sangat.
Namun, ia harus terus bertahan hidup. Ia ingin mendapat jawaban. Mengapa Tuhan menciptakan kata damai dengan kondisi makhluknya yang tak menginginkan kedamaian?
Walau mungkin saja ia tak akan lama lagi menghirup debu gurun ini. Firasatnya ia akan ditelan kematian esok hari. Kehidupan ini hanya ecek-ecek. Tuhan mempermainkannya. Tuhan hanya ingin melihat seberapa tangguh ia bermain. Bukan untuk memberikan kesempatan kedua.
Badan pemuda itu menghadap ke kanan. Telinganya menempel di butiran-butiran pasir. Semakin ia memejamkan mata semakin ia tak tenang. Suara hentakan kaki yang terus-menerus menghantui keinginannya untuk tidur.
Tak sempat untuk menjemput mimpi di alam tidurnya, ia bergegas berdiri secepatnya. Sepertinya nyawanya tak akan melayang esok, namun malam ini.
Pemuda itu berjalan cepat walau semua anggota tubuhnya meronta-ronta kesakitan. Ia tak peduli. Pokoknya ia hanya ingin tetap hidup. Tuhan belum memberikan jawaban pertanyaannya.
Tak jauh di belakangnya terlihat segerombolan manusia berjalan cepat sambil menyisir sepanjang gurun. Dari kepala hingga kaki, mereka tutupi semuanya dengan kain hitam. Mungkin agar tidak dikenali identitasnya.
Salah satu dari mereka menemukan jejak tapak kaki dengan beberapa bulir darah di sampingnya. Dengan aba-aba dari seseorang yang sepertinya komandan dari pasukan tersebut, mereka bergerak gesit mengejar manusia yang meninggalkan jejak tersebut.
Sedang pemuda yang terus menghentakkan bumi dengan kakinya yang berkelukur. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari tempat persembunyian. Namun sia-sia. Hanya debu, bentangan pasir, kerikil, serta pohon kering yang terlihat.
Ia putus asa. Mungkin inilah akhir hidupnya. Lolos dari pembantaian massal. Tapi malah terperangkap sendirian di tengah induk banteng yang mengendus ganas. Ia menyerah.
Tubunya tak bisa digerakkan. Ia jatuh terduduk. Sementara pasukan yang tadi dibelakangnya telah berhasil menemukannya. Ia terkepung. Todongan senjata mengahalangi penglihatannya.
Air matanya mengalir perlahan. Ikhlas menerima ajal dengan cara yang seperti ini.
“Aku berserah diri Tuhan. Terima jasad dan ruh ku. Maafkan dosaku. Aku menyerah dalam permainanmu ini. Dan bila saatnya kita bertemu, ceritakan misteri hidup ini. Jawab pertanyaanku. Atas nama damai, aku hadiahkan nyawaku untukmu.”
Setelah harapan pemuda terucap, puluhan suara peluru menggiring kematiannya.
“Aku bahagia lantaran aku akan bertemu denganmu lagi, ibu.”