Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak
Iman terlihat gelisah. Gelagatnya tak biasa. Ia tak menyangka akan dihadapkan dua pilihan yang sama-sama menyudutkannya. Iman jadi serba salah.
“Bangsat!” kutuknya. “Kenapa jadi gini?”
Iman adalah seorang presiden mahasiswa di salah satu kampus di Kota Medan. Selama menjabat, ia percaya telah sukses mengkondusifkan seisi kampus. Tampaknya memang begitu. Namun, Iman tak pernah menyadari bahwa banyak masalah-masalah kecil yang ia sepelekan. Ia tak mengira berbagai masalah tersebut kini menjadi bola salju yang mengejar dirinya.
Semua bermula empat bulan lalu ketika rektor mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pelarangan aktivitas suatu organisasi ekstra mahasiswa di kampus. Perkara bermula ketika organisasi terkait coba memperingati Hari Kesaktian Pancasila dengan mengadakan diskusi terbuka tentang komunisme. Sekelompok mahasiswa menentang, mereka berasumsi bahwa diskusi tersebut hanya propaganda untuk menyebarkan paham komunis. Menanggapi kejadian tersebut, rektor bergerak cepat dengan mengeluarkan SK. Dan benar saja, langkah itu dapat dikatakan berhasil sebab sebelum konflik menyebar, isu tersebut meredup dengan cepat.
Dua bulan kemudian, masalah serupa kembali terulang. Kali itu rektor secara sepihak menangguhkan diskusi panel yang coba diadakan sebuah organisasi mahasiswa asal Papua. Rektor menanggap diskusi tersebut subversif.
“Isi diskusi tak sesuai visi-misi kampus.” Begitu penggalan keterangan rektor.
Sebagai presiden mahasiswa, Iman tak menganggap serius kedua peristiwa tersebut. Baginya, isu-isu seperti itu akan cepat berlalu dan dilupakan mahasiswa. Dan benar saja, dugaannya terbukti, tak lebih dari seminggu isu tersebut sudah tak menjadi perbincaan antarmahasiswa lagi.
Sebulan setelah kejadian terakhir, rektor kembali berulah. Kali ini giliran pers mahasiswa di kampus tersebut yang dibubarkan rektor. Pembubaran terkait opini dan pemberitaan yang mereka terbitkan mengenai keengganan kampus merilis laporan keuangannya.
Tak diduga pihak birokrat kampus, ternyata langkah mereka kali ini menimbulkan gelombang protes besar dari mahasiswa. Ternyata, kasus pembubaran pers kampus ini membuka mata para mahasiswa bahwa rektor mereka tak lebih baik dari seorang fasis.
Berbagai organisasi kampus dan lapisan mahasiswa kemudian membentuk aliansi. Mereka menuntut pertanggungjawaban rektor. Mereka melakukan aksi unjuk rasa secara bergelombang selama beberapa hari di depan gedung rektorat. Namun, selalu tak ada hasil. Polisi selalu datang dan mengintervensi ketika aksi mulai memanas.
Akhirnya, aliansi mahasiswa mencoba cara lain: mereka meminta Iman, sebagai presiden mahasiswa, agar dapat mengaudiensi pertemuan antara rektor dengan mahasiswa. Tak lama, tuntutan tersebut langsung sampai ke telinga rektor. Sebelum Iman bertindak, rektor sudah terlebih dahulu memanggilnya.
Esok harinya, Iman datang ke gedung rektorat. Pukul sembilan ia berjanji menemui rektor. Namun, hinnga lebih dari tiga puluh menit waktu perjanjian, rektor belum muncul. Baru, pada pukul sepuluh yang ditunggu-tunggu tampak. Pertemuan pun diadakan di ruang rektor. Empat mata.
“Saya sudah tahu permintaan mahasiswa,” ujar rektor membuka percakapan, “Jadi apa yang bakal kamu lakukan?”
Ujung alis kiri Iman sedikit naik. Dahinya mengkerut. Pertanyaan retorik itu jelas membuatnya bingung.
“Maaf, Pak. Harusnya saya yang nanya, gimana tanggapan bapak mengenai permintaan itu?” jawabnya mencoba tetap sopan.
“Oh. Oke, oke. Saya juga males basa-basi. Jadi saya pingin kamu abaikan permintaan mereka.”
“Tapi pak..”
“Oke. Setop sampai di situ!” sela rektor. “Saya tahu kamu akan mengadakan pekan olahraga mahasiswa. Dan saya tahu biayanya tak sedikit. Jadi saya beri kamu pilihan: abaikan permintaan mereka atau kamu tak dapat pendanaan.”
Gelagat Iman mulai aneh. Tampaknya ia ingin segera menyampaikan sesuatu namun selalu diurungkan. 10 detik, 30 detik, 1 menit.
“Baiklah, Pak. Gimana baiknya buat kita aja,” jawabnya di menit ke-2.
Iman berdiri, ia langsung permisi dan bergegas ke luar ruangan. Sementara itu, senyum tipis tercetak di wajah rektor, sepertinya ia bisa mengartikan maksud dari jawaban tersirat itu.
Benar saja. Seminggu berlalu, tak ada tanda-tanda bahwa audiensi antara rektor dengan mahasiswa akan berlangsung. Dua minggu, intensitas aksi aliansi mahasiswa mulai menurun. Para mahasiswa mulai disibukkan dengan ujian akhir semester. Sebulan berjalan, sudah tak terdengar lagi kabar mengenai isu terkait.
Pada masa itu juga, Iman telah menyelesaikan masa baktinya sebagai presiden mahasiswa. Pada akhir masa jabatannya, Iman sukses menyelenggarakan pekan olahraga mahasiswa. Ia puas, rasanya. Ia menang, pikirnya. Ia menanggalkan jabatannya dengan penuh kebanggaan, kiranya.
Setelah bebas dari jabatan presiden mahasiswa, tak perlu waktu lama bagi Iman menyelesaikan masa studinya. Ya, lima bulan kemudian ia sudah wisuda.
Hebatnya lagi, sebagai fresh graduate, ia langsung ditawari masuk di salah satu partai politik kenamaan nasional. Tanpa pikir panjang, Iman menerimanya. Namun dalam dirinya sendiri, masih tersimpan rasa heran. Hingga suatu ketika, ia memberanikan diri dan bertanya kepada seorang pengurus partai.
“Pak, kenapa anak masih ingusan seperti saya kok langsung ditawari masuk partai sebesar ini?”
“Oh, masalah itu tak perlu dipikirkan, Man. Enggak ada alasan khusus kok.”
“Tapi Pak, rasa-rasanya kok aneh ya?”
“Baiklah, kalau kamu sangat penasaran sama jawabannya. Jujur, sebenarnya kami kira karir politikmu di kampus sangat memalukan. Namun, yang kami perlukan darimu adalah rasa patuh kepada atasan. Kami lihat kamu berani mengabaikan amanat mahasiswa demi menuruti keinginan rektor. Perintah atasan di atas kemauan rakyat: itulah dirimu dan kami suka itu.”