Oleh: M Januar
Istilah kampus rakyat saya dapat ketika mewawancarai seorang narasumber yang merupakan salah satu petinggi di jajaran rektorat. Ia menjelaskan USU merupakan kampus yang paling murah dari segi Sumbangan Pendidikan untuk Pembangunan (SPP). Namun pantaskah USU disebut sebagai kampus rakyat? Melihat biaya pendidikan sudah dinaikkan, sumbangan sana-sini diterapkan beberapa fakultas dan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat.
Aksi mahasiswa di depan gedung rektorat beberapa waktu lalu yang menentang kenaikkan SPP untuk mahasiswa 2010 tampaknya tak terlalu berlebihan. Pasalnya, SPP yang naik dua kali lipat, yakni sebesar Rp 1.500.000 untuk mahasiswa non-eksakta dan Rp 2.000.000 pertahun untuk mahasiswa eksakta. Meskipun SPP USU termasuk murah dibandingkan dengan universitas negeri lain namun harta pendapatan yang USU miliki seperti perkebunan dan kerjasama-kerjasama sudah memiliki hasil yang besar daripada harus menaikkan SPP. Tampaknya ini merupakan kebijakan yang keliru oleh universitas yang berlabelkan kampus rakyat.
Ketika kebijakan SPP sudah berjalan hampir selama satu tahun, tak ada perubahan yang terasa terkait dengan sarana dan prasarana di kampus. Di kelas-kelas masih sering kekurangan kursi untuk menampung mahasiswa yang selalu bertambah setiap tahunnya. Bahkan beberapa departemen di Fakultas Sastra dosen-dosen tak memiliki meja kerja sendiri. Lalu beberapa laboratorium di fakultas yang peralatan-peralatannya semakin lapuk ditelan zaman. Mahasiswa tidak bisa belajar secara maksimal karena harus bergantian menggunakan alat-alat yang ketersediaannya tak sesuai dengan kuantitas mahasiswa.
Tak hanya di pusat, ditingkat fakultas pun mahasiswa muali ‘diperas’. Fakultas Farmasi misalnya, mahasiswa yang memiliki kendaraan bermotor roda dua diwajibkan membayar uang Rp 75 ribu per bulannya dengan alasan ketertiban. Bukankah sepeda motor merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah?
Fakultas Ekonomi pun terlebih dahulu menerapkan kebijakan setiap kendaraan bermotor wajib membayar Rp 15 ribu sebagai pembuatan kartu kendaraan. Kartu kendaraan ini pun dengan sangat tegas mengatakan kendaraan yang hilang bukan tanggung jawab pihak fakultas. Jadi, untuk apa sebenarnya kartu ini dibuat.
Ironi memang. Seharusnya fakultas yang menciptakan sumber daya manusia menjadi seorang ekonom-ekonom, mampu memperbaiki perekonomian di negara ini justru menciptakan kebijakan-kebijakan yang jelas tak berorientasi pada rakyat yang dalam permasalahan ini adalah mahasiswa. para mahasiswanya pun tak memberikan reaksi pada hal ini. Jelas, ini akan menjadi contoh bagi mereka di kemudian harinya.
Akhir-akhir ini tampaknya kampus rakyat ini semakin tak berorientasi pada rakyat. Aksi kucing-kucingan antar satpam dan pedagang sering jadi tontonan di kampus ini. Satpam dengan mobil dinasnya mengejar-ngejar pedagang pecal, rujak, bakso goreng dengan sepedanya. Miris, alasan mereka adalah agar USU terlihat sebagai kampus akademis.
Padahal mahasiswa merasa sangat terbantu dengan adanya para pedagang ini. Ketika kantin-kantin di fakultas menetapkan harga yang tak terjangkau para mahasiswa yang datang ke sini harus menjual sepetak tanahnya di kampung maka para pedagang itulah alternatif mereka yang sesuai dengan uang di sakunya. Dengan tidak bolehnya para pedagang masuk ke dalam lingkungan USU jelas akan menutup pendapatan masyarakat yang memang mengandalkan penjualannya di USU agar dapur mereka tetap ngebul.
Inilah penyakit USU sebenarnya. Hanya mempedulikan tampilan luarnya saja agar terlihat sebagai tempat akademis padahal di dalamnya terdapat sistem busuk dan bobrok yang benar-benar tidak berorientasi pada masyarakat.
Sebaiknya USU jangan seperti kacang lupa kulit, ketika menerapkan kebijakan sebaiknya berorientasi pada masyarakat bukannya pada kepentingan ekonomi semata.
Penulis adalah Redaktur SUARA USU 2011