BOPM Wacana

Stigma Masyarakat terhadap Fast food

Dark Mode | Moda Gelap

Pertumbuhan makanan cepat saji (fast food) di Indonesia sangatlah pesat. Tak hanya bagi orang kantoran yang sibuk dan tak punya banyak waktu, fast food juga sangat diminati oleh berbagai kelompok masyarakat. Kepraktisan dan cita rasa fast food menjadi daya tarik, selain prestise yang didapatkan. Urusan harga masuk dalam urutan agak belakang.

Secara perlahan, fast food tampaknya cukup ampuh menjadi media penyebaran ideologi asing tentang pangan dan gizi di Indonesia. Lidah Indonesia tentu berbeda dengan lidah negara lain. Entah Italia, Amerika, Jepang dan negara lain. Namun beberapa merek dagang fast food kelas dunia telah berhasil membuat sebuah media pemersatu atau penengah lidah bangsa-bangsa yang berbeda-beda di dunia.

Jika masyarakat Indonesia lebih terbiasa menjadikan roti sebagai cemilan, Italia mencoba menciptakan beragam jenis pizza dengan ideologi sebagai makanan utama. Begitu pula Amerika yang memasarkan berbagai varian ayam goreng dan burger yang dapat diterima dengan baik oleh seluruh manusia di belahan dunia.

pertama kali yang memulainya adalah cola. Jenis minuman berkarbon ini adalah minuman khas Amerika yang kemudian dipasarkan di beberapa belahan dunia. Tak hanya roti dan daging saja, kini kuah santan dan cabai goreng juga dikatakan berjodoh dengan cola yang meledak-ledak di lidah. Seiring berjalannya waktu, banyak lagi jenis pangan lainnya yang berhasil diadopsi menjadi pilihan asupan energi dan gizi di dunia.

Namun, persepsi masyarakat Indonesia tentang fast food dan western style-nya masih beragam. Sebagian melabel negatif dan sebagian lagi menerima dengan suka cita. Lantas bagaimanakah sikap kita seharusnya?

Makanan cepat saji ini memang terbukti lebih banyak mengandung kalori, garam dan lemak, dan sangat sedikit mengandung serat. Namun salah besar jika dikatakan bahwa setiap fast food menyebabkan obesitas. Secara intensitas, seminggu sekali untuk berjajan fast food saja sudah digolongkan sering. Dan tak banyak masyarakat Indonesia yang melakukan habitsemacam itu.

Selain itu, masyarakat Indonesia tak banyak yang betul-betul paham untuk mengkonsumsi fast food dengan dibarengi sumber serat, vitamin dan mineral lainnya. Bisa dengan kentang, salad, ataupun buah. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan kebutuhan asupan gizi. Jadi tidak benar bahwa fast food-lah yang menyebabkan kegemukan terus meningkat  di Indonesia selama ini. Tanpa pun ber-fast food ria, tidak mengkonsumsi asupan gizi secara seimbang atau berlebih juga memicu terjadinya kegemukan.

Jika dikaitkan dengan ekonomi, memang fast food menguntungkan negara luar. Akan sangat banyak devisa negara kita bayarkan keluar. Untuk royalti atas lisensi merek dagang, impor bahan produksi dan biaya operasional lainnya secara signifikan meningkat seiring merambahnya perusahaan-perusahaan fast food di tanah air, bahkan ke kota kecil. Secara kasat mata memang tak terasa secara perorangan.

Selain dua hal tersebut, kekhawatiran sebagian bangsa terhadap semakin minimnya makanan tradisional dan khas di Indonesia juga menjadi alasan untuk ‘memerangi’ fast food. Banyak antropolog tanah air mengatakan bahwa semakin sedikit makanan tradisional yang dipasarkan saat ini karena menurunnya peminat. Diduga masyarakat Indonesia lebih memilih makanan cepat saji karena dirasa lezat, higienis dan prestise.

Namun terlepas dari ketiga hal tersebut, tak sedikit pula dampak positif yang dibawa oleh idealisme bangsa asing melalui persebaran makanan cepat saji di Indonesia. Kebersihan dan kenyaman yang didapat dalam pembelian makanan cepat saji menjadi keunggulan tersendiri. Hal yang paling jarang kita dapat di rumah makan umumnya di Indonesia ini.

Selain itu, bagaimana upaya manajemen untuk mempertahankan citra dan pelayanan merupakan ilmu cuma-cuma yang harusnya diadopsi pula oleh pengusaha atau penjual makanan di Indonesia. Mayoritas perusahaan fast food dengan beragam merek dagangnya mengutamakan pelayanan bagi pelanggannya. Mulai dari kerapian para pelayan hingga gesture dan komunikasi yang baik juga upaya untuk mempertahankan pelanggan.

Di ruang dapurnya, perusahaan tersebut mempunyai standardisasi dan manajemen perusahaan yang baik. Minyak goreng dan suhu penggorengan di dapur fast food berpedoman standar internasional, kontras dengan rumah makan di Indonesia yang lebih sering kedapatan menggunakan minyak goreng berkali-kali bahkan berhari-hari. Akumulasi toksin dalam minyak yang terendap dalam makanan justru lebih berbahaya daripada kekurangan serat dalam satu kali makan.

Selain itu, etika meja makan yang dulunya tak diterapkan banyak orang di Indonesia, kini secara tak sadar semakin banyak dilakukan. Mulai dari cara memegang sendok hingga menikmati makanan, kita sekarang lebih sopan dan teratur.

Terakhir kembali pada pilihan kita masing-masing. Idealisme asing yang disebarkan melalui media makanan di seluru penjuru dunia sangatlah beragam. Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Jangankan fast food, air putih dikonsumsi secara berlebihan dalam satu waktu juga tidak baik. Hanya saja, jangan sampai kita ‘mendewakan’ suatu jenis fast foodseperti selama ini kita ‘mendewakan’ nasi. Selektif memilih makanan dan lihai dalam mengkombinasikan healthy habit akan mengoptimalkan kesehatan tubuh kita.

*Penulis adalah Sekretaris Umum Pers Mahasiswa SUARA USU 2011

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4