Oleh: Ramajani Sinaga
Aku merasakan tubuhku remuk saat mendengar Amangbertengkar hebat dengan Inang. Saat ayam belum berkokok, dan subuh pun belum tiba. Aku terjaga dari tidurku ketika mendengar suara Inang menjerit-jerit histeris. Inang sudah memaki Amang, dan Amang sudah mencaci Inang. Saling mencaci dan memaki. Ini bukan yang pertama kali mereka bertengkar. Sungguh, tidak terhitung berapa kali mereka sudah bertengkar. Hidupku runyam saat mereka bertengkar.
Jiwaku hanya sebuah tunggul kayu tua yang mengering tidak mampu berbuat apa-apa. Aku tak mampu memberhentikan mulut Inang yang selalu komat-kamit mencaci Amang. Dan aku juga tak kuat menahan tanganAmang yang gagah saat menampar wajah Inang, sehingga pipi Inangmerah terkena tamparan.
Yang selalu kulakukan hanya melihat mereka saling mencaci-maki setiap waktu. Sebenarnya aku menangis saat menatap mereka yang sedang bertengkar hebat. Aku menangis tanpa air mata, hatiku miris, dan sebenarnya jiwaku yang menangis. Menangis bila melihat Amangmenampar Inang, dan Inang akan memaki balik Amang.
“Hita maila bani halak sahuta da, Inang. Maila hita bani parbarendeng, Amang,” (Kita malu kepada orang kampung, Inang. Kita malu dengan tetangga, Amang). Aku memohon setengah bersujud di kaki mereka, namun mereka malah mencaciku, memakiku karena selalu ingin ikut campur urusan orang tua.
Aku juga harus siap memakai topeng untuk menutupi wajahku setiap saat, sebab keluargaku menjadi bahan gunjingan orang-orang kampung setiap waktu.
“Diam kau!!!” Bentak Amang.
“Kau yang diam!!” Balas Inang.
“Dasar istri tak tak berguna!”
“Kau suami yang tidak berguna! Apa yang kau kerjakan!? Seharian kerjanya cuma tidur-tiduran, malas-malasan, nonton teve. Lelaki macam apa kau ini!”
“Tutup mulutmu!”
Setiap saat yang kudengar dari bibir mereka hanya cacian. Tanpa pujian. Tuhan menciptakanku dalam keadaan sempit. Masalah memuncak saatAmang berhenti bekerja dari sebuah pabrik karena perusahaan pabrik tempat Amang bekerja mengalami bangkrut. Hingga Inang menjadi tulang punggung keluarga kami. Inang menanggung biaya keluarga bersama sekolah adikku yang duduk kelas lima SD.
Saat pagi-pagi buta, Inang sudah berkemas menyusun dagangannya.Marengge-rengge di kaki lima adalah pekerjaan Inang. Ketika aku pulang sekolah, aku akan pergi ke pasar membantu inang berjualan, namun aku selalu dicegat di jalan.
“Bisakah kau suruh Bapak dan Mamak kau itu diam!! Tolong kau bilang sama mereka; bukan hanya mereka saja punya mulut!” cetus seorang wanita sembari menatapku dengan pandangan yang sinis.
Sudah takdirku menjadi anak dari seorang lelaki bertampang keras dan sebuah takdir juga terlahir dari rahim seorang wanita yang suka marah. Ini sudah takdir Tuhan. Takdir yang telah digariskan oleh Yang Mahakuasa.
***
Matahari hampir menyelinap di ufuk barat. Kulihat Inang sedang duduk lemah di teras rumah setelah pulang berjualan. Pandangannya kosong menatap ke langit. Dia kelelahan setelah berjualan seharian.
“Berikan teh ini pada Inangmu. Dia pasti haus karena seharian telah berjualan.”
Awalnya aku ragu atas sikap Amang yang tiba-tiba berperilaku baik sekali, berbeda dengan biasanya. Tapi saat aku melihat keringat berjatuhan dari kening Inang dan aku juga melihat ketulusan cinta dari mata Amang, aku memberikan teh manis buatan Amang kepada Inang.
“Kau memang anak yang baik,” puji Inang sebelum meminum teh manis. Aku tak mau mengatakan pada inang bahwa teh manis yang diminumnya adalah buatan Amang, bukanlah buatanku. Aku takut Inang akan mencampakkan teh manis itu karena perasaan benci terhadap amang.
***
Azan maghrib akhirnya mendayu-dayu dari corong masjid. Tiba-tiba Inang mual. Mulutnya membelalak memuntahkan segala isi dalam perutnya. Nasi yang telah Inang makan berserakan bersimbah darah. Bukan makanan dan air liurnya saja yang keluar dari mulutnya, mulut Inang memuntahkan darah. Aku resah.
Aku mencari Amang, namun aku tak menemukan jejak Amang. Amang hilang. Kulihat lemari tempat penyimpanan baju-baju Amang pun kosong. Amangku minggat. Akhirnya aku membawa Inang sendiri ke rumah sakit.
Napas Inang sesak, darah terus melebur dari rongga mulutnya. Aku ketakutan. Belum sampai ke rumah sakit. Sesaat kemudian aku melihat awan hitam mengapung di permukaan bumi. Aku menangis. Pastilah awan hitam itu akan memuntahkan air ke bumi. Aku merasakan denyut nadi inang telah berhenti, sebab itulah aku menangis. Jantung inang telah usai, sebab Tuhan telah memberhentikannya. Aku dendam pada Amang. Amang yang telah memberi sattou pada teh manis yang diminum inang.
***
Bertahun-tahun aku menyimpan dendam dan amarah pada amang, lelaki seperti apa dia yang tega memberi racun pada istrinya sendiri. Aku telah mendengar lelaki tua itu, Amangku, sudah tinggal di Padang Bulan. Akan kucari Amangku itu dan kubuat hidupnya sengasara, karena Amang yang telah memanggil malaikat pencabut nyawa untuk mencabut nyawa inang. Amang yang telah membunuh inang. Aku tidak sudi!
Aku berdiri di depan sebuah rumah sederhana, sesuai alamat yang sedang ku cari, tentunya rumah lelaki jahanam itu. Aku mengetuk pintu rumah. Tiba-tiba seorang wanita membuka pintu rumah itu. Dug, jantungku terguncang.
“Ada yang bisa saya bantu?” Dia bertanya lembut.
“Saya mau ketemu..,”
“Ketemu bapak ya?” tanya wanita itu. Aku mengangguk.
“Silakan masuk.”
Aku masuk dan duduk di sebuah kursi sofa. Lama aku menunggu di ruang tamu, akhirnya seseorang lelaki bertubuh tua di dorong oleh wanita itu menggunakan sebuah kursi roda. Kutatap mata lelaki itu. Dia Amangku, pun pembunuh inangku.
“Maaf. Sudah lama pendengaran Bapak itu tak jelas. Bapak pun tak dapat berbicara lagi, Bapak bisu setelah menderita sakit bisul di lehernya dahulu setelah menikah dengan saya,” kata perempuan itu.
Aku diam. Mestilah hukum karma itu berjalan untuk lelaki setan itu!
“Maaf, Anda siapa?” tanya wanita itu.
“Aku? Aku bukan siapa-siapa. Kalau begitu, aku pamit,” kataku sembari keluar rumah dengan langkah tergesa-gesa.
Sungguh, perasaan sedih, bahagia, dan puas bercampur mennjadi satu, saat mendengar dari bibir wanita itu bahwa Amang juga tak dapat berbicara. Hukum karma akhirnya berjalan. Tuhan memang tak ingin melihat hambanya tersiksa dalam dendam. Sekarang, dendamku telah luruh. Inang di surga pasti gembira mendengar kabar ini, senang setelah mengetahui Tuhan juga membisukan Amang.
Inang: Ibu
Amang: Ayah
Marengge-rengge: Berjualan
Sattou: Racun yang terkenal di Simalungun
Ramajani Sinaga, lahir 05 Oktober 1993 di Raot bosi Serdang Bedagai SUMUT. Alumnus Madrasah Aliyah Negeri Binjai. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa semester dua Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah kuala Banda Aceh.