BOPM Wacana

Hanyut!

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Lazuardi Pratama

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester G
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester G

2014 - Lazu

Pernah suatu kisah manusia suci dan terpilih dilahirkan dari langit. Turun pelan-pelan bersama semburat cahaya terang. Lalu tiba dengan cantik di atas pelukan sang ibu. Atau di atas batu besar. Atau di atas sebuah altar mengkilat. Atau di depan pintu rumah milik pasangan suami-istri mandul.

Manusia itu lahir tampan. Terbit matahari dari wajahnya. Kuat dan penyelamat semesta. Atau tubuhnya cacat sehingga jadi orang paling tabah menerima ejekan kasar. Dewasanya, dia jadi sosok inspirasional yang memengaruhi jutaan orang. Atau dia punya mukjizat yang bisa melempar orang seperti melempar kulit kacang ke luar jendela mobil.

Pembukaan macam apa ini? Omong kosong belaka.

Toh, semua di atas bumi ini masti punya mulanya.

Dan setidak-tidaknya, setiap kisah pasti harus diawali.

Dan inilah kisahnya.

\\\

Saya juga lahir dari atas. Walaupun tidak cantik dengan semburat cahaya dan jatuh di dalam pelukan ibu dan altar mengkilat. Tapi setidaknya air kali itu kilat kena cahaya matahari.

Matahari sudah beberapa jam terbit. Langit juga mulai mendung. Dan….

Plung

Aku lahir. HAHAHA!

Dan dari balik bilik harapan itu, ada lenguhan kencang. Mendekati desahan.

Tapi intinya adalah kelahiran saya.

Tak usah pedulikan orang dari balik bilik itu. Biarlah dia atas kelegaannya.

Arus kali ini tidak terlalu deras. Kalau bisa dikatakan tenang… tidak juga. Mungkin karena kedalamannya tidak dalam atau tidak dangkal. Tapi saya juga kurang tahu, kan saya belum coba menyelam lebih dalam. Lagipula saya tidak bisa menyelam lebih dalam. Cukup di permukaan saja. Lagi, saya kan baru lahir. Jadi wajar, dong, kalau saya tidak tahu.

Saya semakin menjauh dari bilik harapan dengan arus sungai ini. Tapi dari kejauhan, masih terlihat pintu bilik terbuka, dan keluarlah seseorang tambun, berhanduk merah jambu. Ia mengusap-ngusap perut tambunnya, lalu berlalu. Siapa dia? Saya tidak tahu.

Bilik harapan itu kemudian menghilang dari pandangan. Saya terus terbawa arus. Mau berenang? Itu kalau saya punya tangan dan kaki. Kenapa saya tidak punya tangan dan kaki? Itu masih misteri. Saat ini, saya hanya bisa ikut arus, untuk sementara, atau selamanya.

Bicara soal ada dan tidak adanya tangan serta kaki, saya jadi sadar sesuatu. Kenapa saya lahir dari bilik harapan itu? Kenapa itu namanya bilik harapan? Kenapa ada orang yang keluar dari bilik harapan? Kenapa saya tahu itu namanya bilik harapan? Kenapa saya tahu kalau saya menyadari kalau saya tahu atau tidak tentang nama? Kenapa saya harus peduli?

Iya, iya. Pertanyaan terakhir itu melumat habis pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Kenapa saya harus peduli dengan segala tetek-bengek bilik harapan dan arus kali yang tidak deras atau tidak tenang ini? Betul. Tapi itu kan pengetahuan yang mestinya saya ketahui. Kan saya lahir dari bilik harapan. Kan saya lahir ke kali ini. Kan deras atau tenangnya kali ini saya juga yang rasakan.

Rentetan pertanyaan dan jawaban itu bodoh sekali kelihatannya. Tapi ini masa depan saya! Apa peduli saya dengan masa depan?

Jadi, siapa saya sebenarnya?

Oh, iya. Saya juga belum tahu siapa saya sebenarnya. Kok, bisa sekonyong-konyong lahir dari bilik harapan dan nyemplung ke kali. Sampai-sampai saya harus berpikir dan membuat pertanyaan lalu saya jawab sendiri. Bodoh sekali. Kamu yang bodoh.

Balik lagi soal siapa saya sebenarnya. Sebenarnya itu adalah misteri juga. Saya tahu siapa saya sebenarnya, secara makna maksudnya. Saya jatuh dari bilik harapan dan masuk ke kali. Tunggu, saya tidak punya definisinya. Bagaimana cara membahasakannya? Saya tidak punya perbendaharaan kata-kata untuk membuat kamu mengerti. Tapi saya tahu kata harapan dan bendahara. Ini misteri. Ini salah penulis atas ketidakkonsistenannya.

Dan saya tahu kata konsisten. Ini misteri yang sulit diungkap.

Tapi, omong-omong. Memang bodoh sekali pikiran, atau ucapan saya tadi. Berpikir berputar-putar dan tidak dapat kesimpulan. Malah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Dan kini saya mulai berdebat dengan diri sendiri lagi. Ternyata berpikir keras itu melelahkan. Tapi bukannya konflik itu melelahkan. Iya, saya tidak mau tanya lagi kalau saya tahu kata konflik. Tapi ini membuat saya melonjak panas, dan melelahkan.

Saya sudah terlalu jauh terbawa arus kali. Tepi kali sepertinya mulai menjauh dari saya. Di tepi-tepi itu juga sedikit sekali kelihatannya bilik-bilik harapan. Hampir semuanya menghijau. Hijau-hijau itu ada yang terlalu jauh sampai ke tengah kali. Ikut juga terbawa oleh arus. Tapi cokelat-cokelat tempatnya tampak menempel mengembalikannya ke tempat semula, lalu dibawa arus lagi, lalu dikembalikan ke tempat semula.

Dari langit mulai jatuh air. Perlahan-perlahan kecil-kecil dan lemah-lemah. Air-air itu kena saya. Rasanya? Sedikit mengigit. Karena potongan-potongan kecil dari saya mulai melepaskan diri. Bukan melepaskan diri. Tapi terlepaskan diri oleh air dari langit.

Perlahan kemudian air kecil dan lemah itu berubah jadi besar dan ramai. Kali jadi banyak riaknya. Riak-riak besar itu perlahan-perlahan membuat saya menepi, ke tempat hijau-hijau dan cokelat-cokelat tadi itu. Tapi ini setidaknya lebih baik daripada kelepasan banyak potongan diri.

Saya akhirnya menepi. Gelombang-gelombang dari kali membuat saya tetap menepi. Iya, saya lelah, walaupun saya tak perlu berlari karena tak punya kaki dan dibawa arus, tapi saya merasakan lelah. Sudahlah, perlu apa terhadap perasaanku?

Karena lelah, saya mengantuk. Tapi dipenghujung kedipan mata, ada sosok saya yang lain. Saya yang lain itu tampak lebih lelah. Ia mulai mengecil karena kehilangan banyak potongan diri. Potongan-potongan dirinya juga mulai terpotong-potong menjadi potongan potongan diri, terus sampai air kali jadi menguning di sekitarnya.

Iya! Saya mengaguminya! Dia sedikit kelihatan lebih cantik dari saya. Potongannya juga cantik. Tapi dia tampak lelah, jadi saya berusaha menggapainya dengan memberi tahu hijau-hijau dan cokelat-cokelat agar melepaskanku.

“Hijau-hijau dan cokelat-cokelat, mau kamu lepaskan saya ke saya yang di sana?”

“Tidak.”

“Tidak,”

Mereka tidak mau melepaskannya. Tapi saya harus ke sana. Kenapa harus ke sana? Kan aku kagum dia. Ah, pikiran laknat itu muncul lagi. Dan setelah itu, muncul entah dari mana saya yang lain. Bentuknya lebih besar dari saya. Mungkin potongan dirinya tidak banyak lepas. Mungkin juga dia berasal dari bilik harapan yang dekat dari sini. Dia hitam dan besar. Hah! Tidak akan bisa kau ambil dia!

Pelan-pelan, si hitam terbawa arus juga mendekati saya. Hah! Kita bertarung di sini. Hidup dan mati! HAHAHA!

Lalu gerakan konsisten si hijau-hijau dan cokelat-cokelat tadi, bukan, kali ini hijau-hijau dan cokelat-cokelat yang lain lagi membuat si hitam bergerak ke arah dia. Si hitam tampak malu-malu. Hah! Klasik sekali,bung! Kemudian menerkam dia dengan ganas. Mereka luber dalam potongan-potongan halus. Mati bahagia dalam kuning-kehitaman!

Baiklah. Saya tidak apa-apa. Yang membuatku tidak apa-apa adalah akhir macam itu. Setidaknya saya masih dapat hidup lebih lama. Saya juga punya teman, hijau-hijau dan cokelat-cokelat yang ramah. Lagipula cerita ini sudah hampir tamat.

Sudah, itu saja?

Benar. Kan setiap cerita pasti ada penutupnya.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4