BOPM Wacana

Hail Satan?: Pemuja Setan dalam Pusaran Politik Agama

Dark Mode | Moda Gelap
Sumber Istimewa

 

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

Judul Hail Satan?
Sutradara Penny Lane
Penulis Skenario
Pemeran Lucien Greaves, Jex Blackmore, Chalice Blythe, Nicholas Crowe, Sal De Ciccio
Rilis 27 Juni 2019
Durasi 95 menit
Genre Dokumentasi
Tersedia di YouTube Premium

 

Kultus Setanisme bukanlah hal yang baru, tapi The Satanic Temple membawanya ke ranah yang benar-benar baru: politik agama. Film dokumenter Hail Satan? berhasil menggambarkan kultus lama gaya baru ini secara menarik.

Januari 2013, rombongan orang dengan baju dan jubah serba hitam tampak jalan berbaris menuju Balai Kota Florida. Seorang diantaranya bahkan menghiasi kepalanya dengan sepasang tanduk hitam. Raut muka mereka datar, statis. Dengan tampilan itu, tentu saja mereka tampak mencolok.

Di depan balai kota, awak media ternyata sudah menunggu. Di hadapan mereka, rombongan hitam itu memperkenalkan diri sebagai The Satanic Temple (TST), kelompok Setanisme yang mendeklarasikan diri sebagai agama baru.

“Apakah ini hoaks?,” tanya seorang reporter. Ungkapan polos yang bernada meremehkan. Namun, mendengar deklarasi konyol mereka, saya rasa kita juga akan menanyakan pertanyaan yang hal sama.

Orang gila mana yang mau memuja setan? Para jahanam mana yang secara terang-terangan mau dijuluki pemuja setan? Mana mungkin ada! Kalaupun ada paling hanya sebagian kecil orang sinting yang cari sensasi!

Pemikiran-pemikiran seperti itu yang mungkin muncul dalam benak kita ketika mendengar agama baru berbasis Setanisme. Namun, nyatanya dugaan kita salah: sejak awal kemunculannya pada awal 2013 lalu, TST kini menjelma jadi organisasi kelompok minoritas yang menarik perhatian dan memiliki banyak pengikut. Setidaknya, TST sudah memiliki cabang di 21 negara bagian Amerika Serikat (AS). Bahkan, mereka sudah memiliki cabang di luar negeri, seperti Kanada dan Inggris.

Lantas, apa yang membuat TST menjadi sensasi dan memiliki banyak pengikut? Pertanyaan inilah yang coba dijawab Penny Lane lewat film dokumenternya: Hail Satan?.

Lucien Greaves, salah satu pendiri TST, secara implisit mengatakan sebenarnya TST lebih condong sebagai organisasi politik daripada institusi keagamaan. Pada dasarnya, TST dibentuk untuk mewujudkan cita-cita sekulerisme di AS. TST ingin melawan dominasi hegemoni kelompok Kristen di AS.

“Kami cuma ingin mendorong orang-orang untuk mengevaluasi gagasan mereka mengenai AS yang harus jadi negara Kristen. Itu tidak boleh! Kita ini negara sekuler. Kita harusnya jadi negara yang demokratis, pluralistik,” ungkap Lucien.

Mereka kemudian memilih Setanisme karena bagi mereka setan merupakan “wujud simbolis pemberontak yang menentang tirani”. Tentu—dalam hal ini, bagi mereka, kelompok Kristen merupakan si Tiran yang harus diberontak. Inilah yang menarik dari TST dan membedakan mereka dari kelompok Setanisme yang ada sebelumnya.

Setanisme vs Kristenisme memang sudah lama menjadi ajang pertarungan politik, khusunya di negara-negara Barat. Hanya saja, sepanjang sejarah kelompok Setanis yang selalu menjadi kambing hitam dari gerakan politik kelompok Kristen.

Contoh paling nyata tentu ketika Eropa dilanda perburuan gila-gilaan terhadap penyihir pada abad ke-15 sampai 17. Antropolog AS Marvis Harris dalam bukunya Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir menjelaskan peristiwa itu secara provokatis dan mencerahkan. Pada 1484, Paus Innosensius menerbitkan wewenang kepada petugas Inkuisisi (lembaga paramiliter Gereja) untuk menggunakan kekuasaan mereka sepenuhnya demi membasmi tukang sihir. Hasilnya, setidaknya 500 ribu orang di Eropa dituduh sebagai tukang sihir dan dibakar hingga tewas.

Harris menafsirkan, histeria gila perburuan penyihir ini sebenarnya merupakan gerakan politis Gereja untuk menguatkan hegemoni kekuasaannya. Nyatanya—pada masa itu, Eropa sedang dilanda krisis sosial. Penyihir lantas muncul sebagai kambing hitam atas ketidakbecusan Gereja dan negara.

“Hasil utama sistem perburuan penyihir (selain tubuh-tubuh yang gosong) adalah bahwa kaum miskin lantas memercayai bahwa yang menjadikan mereka korban adalah tukang sihir dan setan, alih-alih pangeran dan Paus,” ungkap Harris.

Hasilnya, terjadi pergeseran tanggung jawab dan masyarakat “mempersalahkan Setan yang merajalela aih-alih agamawan korup dan bangsawan tamak. Bukan hanya Gereja dan negara lolos dari tanggung jawab, kedudukan mereka juga dibuat menjadi vital,” karena pada akhirnya—lewat para Inkuisisi—mereka muncul sebagai pelindung masyarakat dari musuh imajiner mereka.

Sumber Istimewa

Sementara itu, kini TST membuat Satanisme jadi anomali sejarah. Alih-alih mereka jadi kambing hitam dan diseret masuk gerakan politik agama, TST malah sengaja melemparkan diri ke dalam politik agama dan menjadikan Kristen sebagai kambing hitamnya. TST menganggap hegemoni Kristen dalam politik membuat AS jadi negara teokrasi. Sehingga, TST mencoba menyerang hegemoni Kristen ini. Dapat dikatakan, gagasan radikal inilah yang membuat TST dilirik banyak orang dan menarik banyak pengikut.

Serangan TST pada hegemoni Kristen yang paling cerdik dan menarik perhatian ialah saat mereka berencana membangun monumen Bafomet—manusia berkepala kambing dengan sayap—di samping monumen 10 Perintah Allah. TST menganggap monumen Bafomet dan monumen 10 Perintah Allah yang duduk berdampingan dapat menjadi wujud nyata pluralisme AS.

Namun, rencana itu mendapat penolakan keras dari kelompok Kristen setempat, yang menganggapnya sebagai bentuk penistaan agama mereka. Alhasil—tentu saja, rencana pembangunan monumen Bafomet itu tak mendapat izin pemerintah. Pada akhirnya, ini menegaskan dugaan TST bahwa suara kelompok Kristen dalam panggung politik AS sangat berpengaruh.

Kenyataan ini mengingatkan kita pada kritik Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau terhadap sistem demokrasi liberal. Dalam buku mereka, Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru, Mouffe dan Laclau menganggap demokrasi liberal hanya menguntungkan kelompok mayoritas. Esensi dari demokrasi liberal adalah membentuk konsensus dari suara mayoritas, sehingga suara minoritas seringkali tak berarti. Hasilnya, sistem ini cenderung melahirkan masyarakat totaliter, yang memberangus suara minoritas atas dalih konsensus.

Itulah kenyataan yang terjadi pada kasus TST vs. Kristen. Dalam pertarungan merebut hegemoni, Kristen sebagai kelompok mayoritas akan selalu mengalahkan TST yang hanya minoritas. Demokrasi liberal yang dianut AS hanya bekerja untuk kelompok mayoritas. Demokrasi liberal menjamin hak individu menganut Setanisme, namun ketika mereka hadir sebagai kelompok minoritas yang menentang hegemoni kelompok mayoritas, hak individu mereka jadi tak berarti.

Pada akhirnya, perjuangan TST menentang hegemoni politik Kristen di AS merupakan sebuah misi yang hampir mustahil. Hail Satan? menampilkan perjuangan yang hampir mustahil itu secara jujur, namun dengan sentimen optimisme yang kuat. Secara objektif, Hail Satan? coba hadir sebagai kritik atas teokrasi Kristen di AS. Sedangkan secara subyektif, Hail Satan? muncul sebagai bentuk promosi gerakan politik TST.

Mau lihat dari sisi objektifitas atau subjektivitasnya? Terserah. Satu yang pasti: Hail Satan? akan sangat menarik bagi mereka yang ingin melihat realitas sosio-politik di AS.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4