BOPM Wacana

The Social Dilemma: Kapitalisme dan Krisis Eksistensial Gaya Baru

Dark Mode | Moda Gelap
Sumber Istimewa

 

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

Judul The Social Dilemma
Sutradara Jeff Orlowski
Penulis Skenario Davis Coombe, Vickie Curtis, Jeff Orlowski
Pemeran Tristan Harris, Jeff Seibert, Joe Toscano, Tim Kendall, Justin Rosenstein, Jaron Lanier
Rilis 9 September 2020
Durasi 94 menit
Genre Dokumentasi, Drama
Tersedia di Netflix

 

Manifesto rahasia media sosial: jika kau tak membayar produknya, berarti kaulah produknya.

Beberapa bulan lalu, saya bersama beberapa teman dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mengadakan reuni kecil-kecilan. Kebetulan, saat itu sedang libur semester sehingga banyak teman yang merantau menempuh pendidikan tinggi kembali ke kampung. Awalnya, pertemuan berjalan seru: saling melepas rindu, membagi pengalaman, dan mengenang masa SMK. Namun tak lama, setelah bahan perbincanggan menipis, masing-masing mulai sibuk dengan gawainya. Akhirnya, reuni lebih banyak dihabiskan dengan menatap gawai daripada menatap teman lama.

Pengalaman seperti itu mungkin sudah umum terjadi pada generasi milenial—generasi pertama yang langsung terpapar teknologi internet, khususnya media sosial. Ya, tak dapat dimungkiri—sadar atau tak sadar, candu media sosial merupakan pandemi yang sedang menyerang generasi kita. Dampaknya? Jelas: batas antara dunia maya dan dunia nyata makin kabur—kepentingan kehidupan dunia nyata pun makin terdistorsi oleh dunia maya.

Itulah mengapa film dokumenter The Social Dilemma hadir untuk memberikan penjelasan mengenai praktik media sosial dalam membuat penggunanya makin candu. Dengan memberikan kutipan dari Penulis Yunani Kuno Sophokles di awal film, penonton sudah diberi petunjuk ke mana film akan mengarah: “Tak ada hal besar yang memasuki kehidupan manusia tanpa kutukan.”

Dari kutipan itu, kita coba diajak agar membayangkan media sosial sebagai pedang bermata dua: sebagai ‘hal besar’ sekaligus sebagai ‘hal yang membawa kutukan’. Selanjutnya—sepanjang film, penonton akan diperlihatkan secara telanjang ‘kutukan’ media sosial yang dimaksud.

Tak tanggung-tanggung, setidaknya 15 ahli—mulai dari para akademisi sampai penciptanya sendiri, ditampilkan untuk menjelaskan cara kerja media sosial lewat sistem kecerdasan buatannya (AI) yang berhasil membuat saya dan kamu makin adiktif atasnya. Salah satu penjesalan datang dari Mantan Pakar Etika Desain Google Tristan Harris.

Harris sebenarnya sudah menyadari fenomena ‘candu media sosial’ ini sejak lama. Ia mencoba memperbaikinya masalah itu dari dalam: Harris sempat membuat presentasi untuk sejawatnya, yang berisi semacam ajakan untuk bergerak mengatasi masalah candu ini. Presentasinya sempat mendapat banyak dukungan. Namun, Google tak berbuat apa-apa. Ide Harris pun sirna begitu saja. Akhirnya, ia memutuskan keluar dari Google dan bersama sejawat yang sepemikiran mendirikan Center for Humane Technology, sebuah organisasi nirbala yang bergerak pada masalah etika teknologi.

Harris bersama ahli lain setuju, masalah dasar etika bisnis media sosial terdapat pada produk yang dijualnya. Mungkin kamu pernah bertanya: dengan segala manfaatnya yang begitu besar, mengapa media sosial bisa dipakai secara gratis? Jawabannya sederhana: jika kau tak membayar produknya, berarti kaulah produknya.

Sumber Istimewa

 

Ya, kita adalah produk yang dijual oleh perusahaan-perusahaan media sosial. Siapa pembelinya? Tentu para pengiklan. Namun, mengapa pengiklan mau membeli ‘kita’?  Karena perusahaan seperti Instagram, Facebook, YouTube, Twitter, dan sebagainya memberikan kepastian kepada si pengiklan. Kepastian seperti apa? Kepastian perilaku kita dalam memakai media sosial.

Contohnya: ketika kamu melihat banyak video tutorial make-up di YouTube, maka sistem AI YouTube otomatis mencatat perilakumu itu. Dengan begitu, YouTube dapat memberikan kepastian kepada pengiklan produk kosmetik bahwa kamu adalah pengguna yang tepat untuk disajikan iklan kosmetik mereka.

Artinya—dengan metode bisnis seperti itu, data perilaku kita dalam memakai internet adalah tambang emas bagi perusahaan-perusahaan di Silicon Valley. Setiap tindakan yang kita lakukan akan dipantau dan direkam oleh mereka.

Sampai sini, rasanya tak ada yang perlu terlalu dilebih-lebihkan. Namun, di sinilah triknya: untuk mengumpulkan data perilaku kita, maka Facebook, Instagram, YouTube dan para sejawatnya punya kepentingan untuk membuat kita bertahan selama mungkin di platform mereka. Semakin lama kita bermedia sosial, semakin banyak data dan kepastian yang dapat dijual kepada para pengiklan dari berbagai sektor. Di sinilah misi para perusahaan media sosial untuk membuat penggunanya candu dimulai.

Tanpa kita sadari, berbagai fitur di media sosial memang dirancang untuk membuat penggunanya bertahan selama mungkin. Contoh sederhananya adalah fitur notifikasi, suka, dan komentar. Coba ingat, ketika kamu sedang berbincang santai kepada teman dan tiba-tiba di layar gawai muncul notikasi dari Instagram: “Temanmu mengomentari unggahanmu”, apa yang kamu lakukan? Kemungkinan besar kamu akan langsung menggapai gawaimu dan membuka Instagram.

Itu adalah cara kerja media sosial yang coba dijelaskan dalam The Social Dilemma. Menariknya, penjelasan-penjelasannya diselingi antara wawancara dan dramatisasi kejadian sehingga lebih menarik dan persuasif. Tak sampai di situ, film dokumenter yang ditayangkan di Netflix ini juga coba memberikan solusi atas masalah sosial kontemporer ini. Salah satu solusi datang dari Penulis Filsafat Komputer Jaron Lanier.

Lanier berargumen bahwa sebaiknya kita segera menghapus semua akun media sosial. Namun, untuk awalan, mulailah dengan mematikan semua notifikasi di gawaimu. Setidaknya, itu dapat sedikit membuat kita  lepas dari perangkap media sosial, yang akhirnya dapat memperlambat kita dari krisis eksistensial baru: terdistorsi dari dunia nyata dan hidup dalam dunia maya.

Saya menyebutnya krisis eksistensial baru karena nyatanya masyarakat manusia sudah pernah mengalami hal serupa. Menariknya, semua krisis eksistensial manusia disebabkan oleh satu dorongan yang sama: manifestasi perkembangan kapitalisme.

Karl Polanyi dalam bukunya Transformasi Besar: Asal Usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang menekankan masalah ini. Menurutnya, kapitalisme merupakan anomali sejarah. Dalam sistem kapitalisme atau masyarakat berbasis sistem pasar, relasi antarmanusia yang sebelumnya berdasarkan sistem sosial menjadi terdistorsi dengan berdasarkan sifat ekonomis. Kapitalisme menjadikan manusia sebagai unsur produksi yang bisa diperjualbelikan: tenaga kerja. Akhirnya, masyarakat manusia hanya menjadi pelengkap sistem ekonomi. Artinya, hakikat ‘manusia sebagai makhluk sosial’ sekejap berubah menjadi ‘manusia sebagai makhluk ekonomi’, atau istilah kerennya: homo economicus.  Inilah krisis eksistensial awal manusia dalam manifestasi perkembangan kapitalisme.

Karl Marx juga punya istilah yang berbeda dalam menanggapi masalah ini: alienasi. Bagi Marx, adalah sifat alamiah manusia untuk aktif berinteraksi dengan alam dan manusia lain dalam proses membuat dan merubah sesuatu (produksi). Namun, kapitalisme memisahkan kita dari produk kerja kita. Contohnya: dalam kapitalisme kita memproduksi kursi bukan untuk pemakaian pribadi namun untuk dijual kepada orang lain. Kapitalisme juga sengaja mengadu kita dengan menciptakan ide bahwa kita saling bersaing untuk memperoleh pekerjaan yang sama, sehingga mengaburkan cara bekerjasama antarmanusia. Akhirnya—alih-alih membuat gembira, kerja justru menjadi membosankan. Hasilnya, kita hanya bisa mencari kesenangan dari seks, minum, dan makan. Sampai sini, manusia tak berbeda dari binatang.

Kini, kapitalisme dan krisis eksistensial bertransformasi dengan zaman digitalisasi. Seperti yang ditunjukkan The Social Dilemma, media sosial mengakumulasikan modal dengan mengumpulkan data penggunanya sebanyak-banyaknya yang kemudian dijual kepada pengiklan: para ahli menyebut metode bisnis baru ini kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism). Dalam kapitalisme pengawasan, pengguna media sosial sengaja dibuat candu. Ini yang kemudian membuat kita terdistorsi dari dunia nyata dan condong hidup dalam dunia maya: inilah krisis eksistensial gaya baru manusia dalam manifestasi perkembangan kapitalisme era digital.

Artinya—jika melihat pola ini, kapitalisme akan selalu bermanifestasi sesuai perkembangan zaman. Bahayanya, segala bentuk manifestasi kapitalisme selalu mengarahkan masyarakat manusia ke satu tujuan: penghancuran sistem sosial masyarakat yang menyebabkan krisis eksistensial manusia—atau sebaliknya. Untuk itu—meminjam istilah Polanyi, bersiaplah menghadapi ‘transformasi besar’ akibat perkembangan kapitalisme era digital sekarang ini. Mungkin—pada masa tak jauh dari sekarang, akan muncul istilah keren baru: homo facebookus.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4