Oleh: Cristiyani Sembiring
“Menurutku flexing itu penting untuk meningkatkan branding diriku di sosial media.”
Dilansir dari Gramedia.com, flexing merupakan kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial. Kemudian tindakan ini dilakukan untuk tujuan eksistensi diri dan mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Asal mula munculnya istilah flexing pada dasarnya merupakan sebuah bahasa gaul dari masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat. Istilah flexing saat itu digunakan untuk menunjukkan keberanian sejak tahun 1990-an, bukan untuk pamer kekayaan. Rapper kenamaan pada saat itu, Ice Cube, menggunakan istilah ini pada lagunya berjudul “It Was a Good Day’” yang dirilis pada tahun 1992.
Kemudian tahun 2014, kata flex kembali populer melalui lagu berjudul “No Flex Zone” yang dipopulerkan oleh Rae Sremmurd. Di lagu tersebut, istilah flex merujuk pada orang-orang yang bersikap santai seperti dirinya sendiri dan tidak pamer atau menjadi seorang yang berbeda dengan pura-pura. Meski demikian, flexing disimpulkan untuk mengartikan seseorang yang suka memamerkan kekayaan yang sebenarnya tidak mereka miliki.
Sementara di indonesia sendiri flexing mulai populer karena aksi Indra Kenz yang gemar memamerkan hartanya di media sosial dengan slogan khasnya “murah banget” sebelum ditangkap karena kasus pencucian dan penggandaan uang.
Perilaku flexing bisa dijelaskan dengan teori Individual Psychology milik Alfred Adler (Feist & Feist, 2010). Dalam teorinya, manusia termotivasi untuk meraih kesuksesan melalui pengaruh sosial. Hal ini berarti motivasi muncul saat kita melihat sosok yang dianggap sukses.
Adler meyakini bahwa semua orang memiliki keinginan dasar untuk menjadi bagian dalam kelompok. Bila seseorang belum merasa seperti itu, ia sedang mengalami keadaan inferior. Ada kecenderungan orang akan menunjukkan sedang menuju kesuksesan atau keadaan superior.
Teori Alfred Adler pun bisa dilihat di sekitar kita, ada selebriti yang berusaha tampil mewah agar bisa diterima dalam sebuah kelompok. Ada seseorang yang membuat cerita seolah-olah dirinya “wah” padahal hal tersebut untuk menutupi rasa inferior. Perasaan inferioritas muncul karena ada pengalaman memalukan, ketidaksempurnaan dan perasaan kurang ketika berhadapan dengan orang lain. Jadi, bisa dikatakan bahwa flexing adalah self defense mechanism.
Dilansir dari glints, self-defense mechanism merujuk pada strategi psikologis yang digunakan oleh individu untuk melindungi diri dari ancaman, konflik emosional, atau kecemasan yang tidak dapat ditangani secara langsung. Dengan memperlihatkan kehidupan yang tampak sempurna dan prestasi yang mengesankan di media sosial, pelaku flexing mungkin berharap untuk mengurangi kecemasan atau rasa tidak aman internal mereka sendiri.
Perkembangan media sosial tampaknya menjadi faktor pendukung dalam melakukan flexing melalui foto-foto dan video yang menampilkan barang-barang mewah, perjalanan glamor, atau aktivitas bergengsi. Individu yang melakukan flexing berharap mendapatkan perhatian, pujian, atau pengakuan dari pengikut mereka. Seseorang sering menggunakan tagar dan caption yang relevan untuk menarik perhatian dan meningkatkan ketenarannya.
Fenomena flexing ini menciptakan pro dan kontra diantara pengguna media sosial, dengan beberapa orang menganggapnya sebagai bentuk aspirasi atau ekspresi diri, sementara yang lain melihatnya sebagai tindakan yang sombong atau tidak sehat. Penelitian yang dikemukakan psikologi bahwa kebiasaaan seseorang dalam melakukan flexing atau menunjukan kekayaan akan terobsesi untuk melakukan hal tersebut berulang kali.
Seseorang yang sudah melakukan flexing akan kecanduan tanpa memikirkan apakah itu berdampak pada keuanganya ataukah tidak. Sementara, barang branded yang selalu baru menjadikan rasa konsumtif semakin tinggi. Resikonya, seseorang harus konsisten dalam memposting bentuk kekayaan di media massa.
Terkuaknya isu pendapatan dengan kontenya selalu pamer dan menunjukan kekayaan ternyata harta yang didapat dari bembohongan berkedok investasi dengan mengunakan aplikasi trading binomo, tidak hanya itu banyak pula artis dan selebram berbuat baik kepada seseorang hanya ingin mendapatkan pujian dan pengakuan status sosial dari masyarakat, dari kasus nyata tersebut mampu dipahami apa yang nampak tidak selalu sesuai kenyataan
Dilansir dari Lini Sehat ada beberapa alasan seseorang gemar melakukan flexing khususnya di media sosial dari perspektif psikologi antara lain:
- Kurang Empati. Individu yang suka pamer cenderung tidak memikirkan rasa terganggu atau tidak nyaman seseorang melihat postingan yang mengandung unsur pamer di dalamnya.
- Kebutuhan eksistensi diri. Individu yang melakukan flexing beranggapan bahwa kemewahan yang di tunjukannya di media sosial dapat menarik simpati orang banyak sehingga menganggap diri mereka tetap eksis bahkan lebih eksis jika konten mereka viral.
- Citra diri. Dengan mengunggah pencapain di media sosial seseorang dapat meningkatkan branding dirinya tetapi sering di pamer secara berlebihan menimbulkan efek negatif
- Menutupi rasa insecure, Berdasarkan ilmu psikologi klinis, perilaku flexing erat kaitannya dengan perasaan tidak aman dan rendah diri atau yang dikenal dengan istilah insecurity. Faktor terkuat orang merasa insecure adalah terdapat sesuatu yang ngga dimilikinya, sehingga ingin menunjukkan kelebihan dan diketahui orang lain. Cara efektif supaya orang lain mengetahui adalah lewat unggahan di media sosial. Kelebihan yang diunggulkan tersebut diharapkan bisa menutupi kekurangannya.
Semakin maraknya flexing yang dilakukan di media sosial memicu beberapa dampak negatif. Dikutip dari kata data, berikut beberapa dampak yang ditimbukan dari flexing.
- Berpotensi memaksakan keadaan. Dampak dari pamer kekayaan yaitu berpotensi memaksakan keadaan. Hal ini dikarenakan terbiasa tampil dengan barang mewah bisa membuat seseorang semakin ingin menunjukkan eksistensinya.
- Kesulitan dalam mendapat teman. Banyak di antara kita yang beranggapan bahwa memiliki kekayaan bisa menarik perhatian banyak orang dan menambah teman. Faktanya, seseorang yang biasa flexing justru sulit mendapatkan teman. Sebuah studi dari jurnal Social Phsycological and Personality Science menyebutkan bahwa, sebanyak 66% orang cenderung memilih mobil mewah dibandingkan mobil standar. Namun, dalam menarik orang baru, kebanyakan orang justru lebih senang berteman dengan seseorang yang memiliki kendaraan standar.
- Mengganggu kepribadian seseorang. Menurut seorang psikolog di Knox College penulis buku The High Price of Materialism menyebutkan bahwa, seseorang yang flexing memiliki sikap kurang empati, kurang prososial, dan lebih kompetitif. Tak hanya itu, seseorang yang biasa flexing juga cenderung tidak mendukung kelestarian lingkungan. Bahkan, cenderung mendukung keyakinan yang merugikan dan diskriminatif.
Sehingga, sangatlah penting untuk diingat bahwa flexing hanyalah representasi selektif dari hidup seseorang di media sosial dan tidak selalu mencerminkan kenyataan sepenuhnya. Penting untuk menjaga keseimbangan dalam penggunaan media sosial dan menghargai nilai-nilai yang lebih penting daripada materi dan penampilan. Gunakanlah media sosial dengan bijak untuk hal yang lebih bermanfaat bagi dirimu dan orang lain dan selalu berhati-hati dalam menggunakannya.