BOPM Wacana

Diam

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Ika Putri Agustini Saragih

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom

Foto IkaBermacam cara penulis untuk mengakhiri kisah mereka. Pahamilah saat yang kutulis kisah adalah karya bukan kehidupan mereka. Adapun kategori penulis yang kumaksud yakni para penulis kisah-kisah fiksi. Bukan apa-apa, supaya pembahasan kita tidak meluber saja. Kisah anak kecil sebatang kara, tak punya siapa-siapa dalam hidupnya dan hanya berteman dengan harapan saja biasanya akan diakhiri dengan keajaiban, di mana kehidupan mereka akan mendapat berkah setelah bersabar dan tetap berbuat baik dalam kehidupannya yang kelam.

Atau kisah dongeng fabel yang mahsyur hasil rekaan Andersen tentang seekor itik buruk rupa yang bertransformasi menjadi angsa anggun yang cantik. Pada akhirnya si itik bisa  membuktikan diri bahwa ia lebih baik dengan jalan yang baik juga. Kisah-kisah seperti itu biasanya sarat akan pesan moral dan paling cocok disantap anak-anak. Paling tidak akan memudahkan mereka menjawab pertanyaan yang ada dalam buku sekolah dasar mereka.

“Apa amanat yang ingin disampaikan pada cerita tersebut?”

Jawabannya tak sulit dan biasa nyaris sama pada tiap cerita. Tidak boleh melawan kejahatan dengan kejahatan, menolong sesama, percaya diri, dan lainnya.

Lalu ada kisah yang berakhir bahagia di mana pelakon utama menemukan belahan jiwanya, seorang pangeran kerajaan tampan yang punya segalanya plus cinta setengah mati padanya. Biasanya kisah ini diawali dengan perjuangan sang pelakon utama yang hidupnya hambar, jarang bahkan mungkin tak pernah merasakan kebahagiaan. Lalu ia mendapati dirinya berada dalam situasi konflik di mana ia harus berjuang memenangkan kehidupan yang telah dipilihkan untuknya.

Dari sekian banyak kisah yang ada kupikir aku paling menyukai kisah seorang wanita ksatria, kusematkan demikian karena ia bernyali menyamar menjadi prajurit pria, yang berjuang demi keutuhan keluarganya. Kusukai karena kau yang memilihkannya untukku. Kau waktu itu bilang, “Tabiatnya sepertimu. Cinta keluarga, keras kepala, cerdas, berani, dan berbakat jadi pria maupun wanita hahaha.”

Ya walau aku tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan setelah ‘dan-mu’ itu, akan kuambil sebagai pelengkap. Kubaca di beberapa literatur, sebagian bilang kalau kisah itu nyata adanya. Padahal diatas sudah kukatakan bahwa kita akan mengobrol tentang penulis fiksi. Ah ya, tapi itu belum tentu benar kan dan mari jangan ambil pusing. Oh ya, tentu akhir kisahnya merupakan wujud dari harapan banyak orang menikah dan bahagia selamanya.

Adalagi kisah yang memuat lebih banyak tokoh dan alur berliku. Biasanya dikonsumsi oleh remaja dan dewasa. Seperti rangkaian kalimat milik Shakespeare yang kita mati-matian terjemahkan demi tugas. Yang paling dikenang dan diketahui banyak orang mungkin kisah mahacinta Romeo and Juliet. Cinta pada pandangan pertama, terhalang restu orangtua, kawin lari, dan ditutup adegan tragis dengan mati bersama dalam keadaan cinta dalam hati yang membuncah. Kupikir seharusnya Romeo bisa lebih sabar menunggu kematian sementara wanitanya. Jadi mereka mungkin bisa hidup bersama bahagia selamanya. Juga kuharapkan pada kisah Othello. Seandainya ia tidak pencemburu, tidak iri, tidak merasa rendah diri, si cantik Desdemona tak akan berakhir di tangannya. Lihatlah betapa berjayanya tuan Shakespeare mengaduk-aduk sentimen pembaca.

Waktu aku masih kecil kukira semua kisah dua insan manusia yang merasakan efek Dopamin sedang mengambil alih pusat kehidupan mereka akan selalu berakhir dengan pernikahan. Lalu hidupnya bahagia sampai ke anak cucu. Seiring bergulirnya waktu aku memahami bahwa akhir tiap kisah ternyata tergantung pada ‘Si Penulis’.

Maka waktu kutulis kisah kita, aku menahan diri agar tak menjadi sekejam Shakespeare

***

Matahari sedang angkuh-angkuhnya memamerkan kehebatannya. Angin sedang malas-malasnya hilir mudik di bawah pekatnya sinar matahari. Kita di bawah lindungan aula ini sedang bahagia-bahagianya berteduh bersama puluhan siswa lain yang sedang merayakan kelulusan SMA. Aku sesekali melirikmu, yang berjabat tangan dan mengobrol dengan teman-teman lain. Aku merasa bangga mengingat namamu berada di atas satu peringkat dariku. Seandainya adrenalinku lebih besar dibanding gengsiku, sudah jelas aku akan menghampiri dan mengucapkan selamat padamu. Sayang kau pun dalam keadaan yang sama denganku.

Kali ini mata kita bertabrakan dan sekuat tenaga kuredakan amukan degup jantungku dan memancarkan senyum tulus padamu. Kulihat kau jadi kikuk dan menggaruk tengkukmu lalu memutar bola matamu ke sudut lain. Setelah itu kebahagiaanku rasanya jadi sirna. Aku melengos pulang, menolak ajakan kawan-kawan untuk pergi ke pantai merayakan kelulusan. Waktu di gerbang sekolah aku terkesiap melihatmu berjalan di belakangku.

“Mau pulang ya? Bareng aku aja.” Sebaris kalimat itu meluncur dari mulutmu dan hariku langsung berwarna kembali.

Nostalgia. Kita pernah ada dalam keadaan seperti ini. Pulang sekolah bersama lalu singgah untuk makan siang bersama. Kadang melalang buana di antara hamparan buku-buku Gramedia atau pergi ke tempat bimbingan belajar. Sebelum tragedi teman kita, Ale, yang bocor itu.

Setelah kejadian pulang bersama itu, kau kembali rajin menjalin komunikasi denganku. Terkadang kita melakukan kebiasaan yang itu juga, saling menyahut lewat kalimat-kalimat puitis tentang apa saja. Kemampuanmu berbahasa sudah lebih baik dibanding terakhir kali kita melakukannya. Kau ternyata serius dengan ketertarikanmu pada sastra.

Aku terus merapalkan doa agar kau memiliki keberanian lebih dari aku.Tapi ternyata tidak sampai kuterima pesanmu bahwa kau akan belajar sastra di tanah kelahiran Shakespeare. Dan Dopamin-dopamin yang kita rasakan sepertinya selamanya tertahan dalam tubuh kita. Aku jadi berandai kalau saja waktu itu Ale tak membuka rahasiamu.

“Ra, Ra. Saga suka samamu,” dan menguarlah ledekan seluruh penghuni kelas. Kulihat wajahmu merah padam, kutahu kau lelaki pemalu. Kau seharusnya jangan begitu, aku bahagia karena tak merasakannya sendiri. Aku bersikap biasa saja karena kupikir hubungan kita tetap seperti teman dekat atau bisa jadi ke tahap selanjutnya. Namun kau terlalu malu untuk tetap berada di sekitarku. Hingga kita lulus SMA. Dan sekarang kau akan berada bermil-mil jauhnya.

Selanjutnya yang kupahami adalah ternyata ada manusia yang hampir bahagia karena rasanya dikalahkan keberaniannya. Dan kita tetap diam walau mendengar rasa dari suara masing-masing.

***

Tapi nyatanya nyaris sama. Walau aku belum mau mengakhiri kisahku.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4