Oleh: Nurhanifah
Aku masih asyik dengan laptop, handphone, airphone. Kata demi kata terus aku atur, aku tambahkan, aku hilangkan, lalu aku tata ulang. Sesekali membaca ulang, merasa tak cocok tombol delete jadi pilihan. Ah, rumit. Siapa yang tahu menulis itu menjemukan? Tidak ada! Mereka kan cuman baca, bisa jadi memuji atau memaki. Siapa peduli waktu yang dihabiskan untuk membuatnya layak kamu baca?
Ini yang kulakukan belakangan, mengedit tulisan–tulisan tak berisi. Benar–benar kosong, aku lebih suka menyebutnya sampah! Kasar ya? Begitulah, berulang kali aku edit, aku kembalikan. Berharap ia menambahkan titik–titik kosong yang terlupakan. Tapi, berjam–jam menunggu, tak ada balasan yang masuk. Aku rasa, dilihatnya pun tidak! Mau marah? Mampuslah, yang ada besok ia minta resign, dan bilang aku galak!
Ironinya saat aku tidur, pesan darinya masuk sedangkan hari sudah berganti, beritanya basi! Tulisan yang aku perjuangkan dan edit berjam–jam jadi bacaan usang yang tak pantas untuk diterbitkan. Berisi? Jelas beritanya sangat berisi. Gajah yang paling besar itu, kalah berat dengan isi beritanya. Hot? Lebih hot dari berita pembunuhan presiden, atau jatuhnya Pesawat Hercules. Tapi isi dan hot beritanya kalah sama waktu. Sepele sih, tapi itulah pentingnya deadline.
Besoknya, “Mana tulisan–tulisan itu? Kulihat banyak yang masuk! Tapi kenapa tak ada satu pun yang terbit?” Pemimpin redaksi (Pemred)-ku melotot marah. Aku hanya menunduk, malas berdebat. Dijawab atau tidak, hasilnya sama. Aku kalah.
Siapa yang salah? Aku? Iya memang aku selalu salah, karena ketiduran hancurlah semuanya. Waktu. Gara–gara waktu perang dunia ketiga sering kali muncul di ruang kerja kami. Walaupun aku kesal, aku tak lantas hiraukan telepon darinya dan berleha–leha di bilik kecilku.
Ya ini hanya bilik, bilik cinta katanya. Aku—editor cilik—menghabiskan waktu hanya di bilik ini. Berjam–jam, berhari–hari, terlalu sibuk dengan tulisan–tulisan yang katanya penting itu. Yang katanya sumber informasi itu. Yang katanya dicari–cari dan ditunggu–tunggu masyarakat. Ah bulshit-nya itu, menghargai saja mereka tidak.
Lihat saja, minggu lalu anak buahku babak belur dan dirawat di ruang ICU. Aku suruh dia meliput penggerebekan narkoba di daerah itu—aku tidak bisa sebutkan nama daerah itu, sebab sampai saat ini belum ada media mana pun yang berhasil mengungkap sarangnya narkoba itu.
Kemarin, saat ia berhasil mengabadikan kejadian itu ia ketahuan dan habis ditusuk dengan pisau oleh kawanan itu. Ia dibuang di jalan, mereka pikir ia telah mati. Mereka salah, ia masih hidup. Dia hubungi aku minta tolong. Untung aku cepat bertindak sehingga nyawanya masih sempat tertolong.
Tapi sudah sebulan ini belum sadarkan diri. Luka di perut, dada kiri, dan perdarahan di otak, jadi alasan komanya. Ah, aku muak sendiri. Bagaimana bisa jagoanku tumbang dikalahkan penjahat. Sementara beberapa orang yang tak peduli, lantas menyalahkanku karena tidak minta bantuan polisi untuk mengungkap kasus itu.
Eh, setop setop. Bukan saatnya kita bahas tentang anak buahku, ini tentang tulisan–tulisan yang menjijikkan itu—walau, tulisan–tulisan itu juga dari anak buahku. Aku juga mungkin akan merindukan si pembuat onar yang nekat itu. Ah, dia reporter andalanku. Selalu siap kapan pun kau butuhkan. Tulisannya pelan–pelan sudah berkarakter, sekali baca tanpa melirik nama penulisnya aku langsung tanda. Khas sekali pemilihan katanya dan khas sekali waktu pengirimannya. Aku panggil dia Kalong (Kalelawar), karena malam hari pasti berita itu baru masuk padaku.
Aku sudah berulang kali menegurnya, untuk mempercepat waktu pengiriman supaya aku dapat bonus waktu istirahat. Tapi jawaban dia hanya senyum manis, yang membuatku meringis. Bonus? Ah jangan banyak berharap, mereka kirim tepat deadline saja aku sudah bersyukur.
“Hargai waktu, tepat deadline. Jangan bikin kita mandul karena waktu dan malasmu itu,” Pemredku melotot. Seminggu ini kata–kata itu terngiang di kepalaku, membuatku tak nyenyak tidur. Tersentak hanya untuk lihat e–mail masuk. Kosong. Lanjut tidur. Tersentak. Lihat lagi. Begitu sampai pagi. Sampai perang itu kembali pecah di ruang kerja kami.
Aku pikir dia benar, lama–lama kami akan mandul. Media kami kekurangan reporter, beberapa resign alasan klasik, bosan dan lelah. Ah, muncungmulah bosan dan lelah. Meliput saja tidak, kirim tulisan saja ogah lantas bilang bosan dan lelah. Aku jadi emosi sendiri.
Percayalah, mejadi editor di pers mahasiswa ibu kota bikin darahmu mendidih. Terlalu terjepit dengan waktu, beribu berita memanggil minta bertemu. Bukan sekadar berita kampus, kami juga harus siap dengan berita kota, bahkan berita nasional. Iya dong, kami kan berada di universitas ternama di ibu kota. Ah, salah sendiri bergabung dengan pers yang minta komitmen lebih–lebih dari kampus. Tapi, sesuai dengan jurusanku, komunikasi. Aku mencoba untuk sabar, anggap saja ini latihan sebelum masuk ke dunia kerja. Kataku pada diri sendiri, sambil mengelus dada.
***
Kacau, bilik ini lama–lama membunuhku. Sial, reporter andalanku tak kunjung sadar. Bagaimana ini? Berita itu, beritanya harus segera diselesaikan. Kalau tidak bisa selesai tepat waktu, kami benar–benar mandul. Aku benci mengatakannya, aku benar–benar rindu Kalong. Dia kunciku untuk menghasilkan anak hari ini. Aku rindu hubungan–hubungan intim yang kami lakukan setiap malam, bahkan sampai pagi. Hanya untuk menghasilkan anak yang cantik, yang bisa diakui oleh dunia ini.
Ya, dunia ini memang kejam. Lihat saja, berulang kali melakukan hubungan yang melelahkan itu. Ya kami sampai harus tersiksa di bilik ini! berjam–jam, berhari–hari! Tapi, lihat anak kami belum juga lahir. Bahkan sampai dia koma, semua seolah lupa keringat yang kami keluarkan setiap malam, setiap hari, setiap waktu. Ah, siapa yang peduli ?
“Bukan tentang narasumber, tapi tentang tulisan. Besok pagi bisa jadi kau jumpa, tanya ini itu. Penuh. Lantas sibuk dengan hal lain dan lupa menuangnya. Tumpah,” Pemredku tersenyum, ia mengunjungi bilik kami.
Aku hanya diam, merasa bersalah dua minggu meninggalkannya di ruangan kerja sendiri. Tanpa editor kece, yang moody ini.
“Iya ini bilik tempatmu berhubungan intim denganya ya?” Ia menyentuh meja yang penuh dengan kertas orat oret, penting tak penting itu.
Aku mengangguk.
“Malam ini, biarkan aku yang gantikan dia. Kita lakukan sampai pagi, sampai anak itu lahir,” dia mengedipkan matanya padaku.