BOPM Wacana

Desember

Dark Mode | Moda Gelap
Illustrasi | Sondang William Gabriel Manalu

 

Oleh: Suratman*

pada akhirnya hanya diam dengan rindu pada masing-masing

Ini cerita tentang bagaimana aku dengan Turquoise dan kastuba merah dalam tiga puluh satu hari berkelana.

Di awal Gregorian mereka adalah si bungsu kesepuluh. Lalu menjadi kedua belas—penghujung si segala penutup.

Aku baru mengingat sesuatu, kemarin, di awal masa penghujung itu hujan turun membasahi bumi. Aku berdoa agar semesta mau bersahabat tanpa pernah berhitung satu sama lainnya.

Karena semesta penuh agung. Maka cara terbaik ialah bersahabat—berdamai dan berserah—tanpa mengumpat dan mengolok satu sama lain.

Oh iya! Selagi aku ingat. Sebelum kita berbincang segala lini hal. Dengan senang hati aku akan mengenalkan diriku. Sebagai tuan rumah pembuka pintu, tidak baik rasanya jika tamu nantinya sekonyong-konyong menduri si tuan rumah.

Aku adalah lambang kesucian, kepolosan, dan kemurnian dimana manusia berpijak. Ber-ayah-kan Banteng jantan si pemabuk ulung yang kuat dan tangguh. Sementara Ibuku ialah Helianthus Annuus yang keras kepala.

Aku bukanlah satu, melainkan dua. Ialah berduplikat. Namun tidak sama kebanyakan lainnya. Aku lebih tepatnya ialah mawar putih. Perfeksionis yang selalu menawan. Sedangkan aku yang lainnya, ialah seorang religius, pundak yang selalu menjadi pondasi. Si kuat yang tidak pernah mengeluh. Dia—aku yang lainnya—Astraea sejati.

Dan, aku juga memiliki yang lainnya. Ialah Mawar Peach si keras hati, adik yang tiga tahun lebih muda dariku. Sedangkan lainnya lagi, Amethyst bungsu yang acapkali merengek saat meminta sesuatu keinginannya.

Mungkin cukup itu saja, ya.

Eh, tapi. Sebenarnya, aku memiliki yang lainnya lagi. Empat lain lagi lebih tepatnya. Dua lainnya ialah benih yang sama tapi ber-ayah-kan lain. Sementara dua lainnya lagi juga masih tetap benih yang sama tapi ber-ibu-kan lain. Selain itu kami tidak tumbuh bersama.

Aku lahir di tahun saat Sabtu Kelabu pernah terjadi, dan aku telah menelan semua kekelaman silsilah ini. Dulu, di setiap malam-malam, ibu selalu bilang bergegaslah tidur. Tarik selimut lalu pejamkan mata. Jika ada seruan, sungutan, ataupun dinding-dinding berdengung tetaplah di pembaringan tanpa berucap. Jika tidak, badai besar kembali seperti yang pernah beberapa kali terjadi. Malam-malam kami dahulu seperti itu. Cukup lama sampai memasuki dua dekade usiaku.

Terkadang bahkan melulu tiap pagi, setelah ibu pergi menembus kabut selepas dua rakaat  berlalu dengan bekal dan alat kerja ditangannya, saat itu Banteng jantan masih teler di rerumputan bertelanjang dada, terkadang hampir telanjang dengan kancut melingkar di pinggangnya.

11 Desember

Chiron ialah keabadian yang tidak pernah mati. Si periang penuh jenaka, membentang di antara dua ratus empat puluh sampai dua ratus enam puluh sembilan derajat di sistem kordinat ekliptika.

Hari itu, matahari juga datang dengan sinar lebih sedikit sepanjang bulan di berbagai penjuru belahan bumi dari sepanjang tahun. Ia terlahir di dua dekade lalu. Dua tahun lebih tua dari si bungsu Amethyst.

Naasnya, hujan malah menziarah sampai empat rakaat larut sebelum adzan petang berkumandang. Harusnya ia mereguk riuh ucapan selamat, memotong kue, meniup lilin, hingga bersorak tepuk tangan teman-temannya. Tapi malah dikungkung murung seharian.

Dalam ranjangku ia menggerutu dalam umpatan. Tentang semesta tidak berandil dengan hajatnya. Perlahan aku pun merenggut kemurungannya dengan bahu hampir kebas sebagai sandarannya dan tangan-tangan membelainya. Tawa perlahan mulai menyekat kusut di wajahnya.

Kami sempat menukar beberapa kelam satu sama lain; bagaimana cinta berkhianat, silsilah tidak bernalar, serta egoisme.

Punggungnya adalah bagian yang kusuka saat ia tertelungkup tanpa sehelai pun. Di bawah temaram lidahku cukup fasih menjengkal tiap-tiap lekuk tubuhnya. Suaranya berat sedikit tersengal dan tangan-tangan mencengkram. Kakinya merenggang dengan bokong semakin meninggi.

Getaran tubuhnya terasa saat lidahku masuk dalam lekuk diantara kedua kakinya. Birahinya membuncah saat kami saling bertatap. Aku pun tersenyum menyudahi pertemuan sebuah awal perkenalan itu. Karena pertemuan awal hanyalah sekadar jamuan.

Malam tanpa bintang dengan mendung yang bergemuruh menyudahi malam kami dalam pembaringan masing-masing. Begitu juga rindu pada masing-masing.

6 Desember

Dua bulan berlalu ia berpulang karena kematian.

Aku pasrah ia mati tragis. Siapa salah dan tidak tunduk karena keegoisan serta kecurangan pada semesta wajib dihukum. Ia penjahat yang menyakiti dirinya. Menanggalkan luka dengan nama serta kenangan yang teringat.

Tiga tahun bersama akhirnya harus mengalah pada rindu yang tidak sampai untuk memeluknya. Hanya nama dalam sebuah ukiran saat bertemu. Kekasihku—Chrysomallus, api pertama yang mencakup tiga puluh derajat pertama bujur langit. Mati atas segala kecurangan dan kebohongan.

Ia si bungsu pewaris tahta tumbuh dalam silsilah bercabang. Ibunya menikah lagi dengan burung sepuh dalam usia. Sampai akhirnya bunting dan tidak mujur melorotkan si jabang bayi.

Ia adalah si periang yang ambisius tapi tak pandai melihat kolong saat berjalan. Gula Jawa. Dulu begitu aku memanggilnya. Karena manis yang terlalu pekat dari senyumnya.

Tano’ Niha

Suara mesin kapal mulai keras menderu, lampu-lampu kota lenyap ditelan malam tanda kami menjauhi bibir dermaga. Ini pelayaran pertamaku melewati lautan. Langit cukup terasa sunyi, dengan aku hampir terjaga malam itu.

Obrolan-obrolan terlalu panjang melalu-lalang di genderang telingaku. Entah apa yang dibahas para Ono Niha itu. Barangkali Ina-Ama yang lama tidak dikunjungi, atau nasib di perantauan, mungkin juga siasat-siasat saat tiba di daratan.

Pembaringan kami hanya beralas papan dan bantal busa persegi panjang yang mampu menahan dinginnya angin laut menyesap dalam tulang.

Tano Niha menjadi daratan keempat yang kupijak. Kunjungan pertamaku terlalu getir dengan aku yang jarang merapal ritual-ritual untuk sang pencipta. Saat itu seluruh daratan sedang berdoa dalam ritual-ritualnya. Tangan-tangan gesit menembas hujan dengan payung, riasan yang dipoles, sepatu, kemeja tampak rapi, serta alkitab. Ada berkelompok dua tiga orang lebih. Seorang diri yang terpisah juga ada. Ada juga membawa alat musik. Barangkali merekalah juru musik pengiring kekhidmatan.

Tano’ Niha rupanya terlalu beramal baik padaku. Dengan segala jamuannya, keramahannya, serta segala tingkah baik padaku si Tuan pemilik cerita.

Kami akhirnya berjanji untuk kembali bertemu. Nantinya bersamaan dengan bingkisan untuk sebuah tanda pertemuan yang bisa dikenang dariku sebagai janji.

***

Akhirnya Desember hanya menyisakan rindu dengan sekat-sekat yang tidak menentu. Rindu pada api pertama yang mencakup tiga puluh derajat pertama bujur langit hanya sebatas nama dan kenangan. Sedangkan  Desember juga menghujani ego pada masing-masing kami—aku dan si pemilik punggung yang memberi candu.

Ya. Kami pada akhirnya hanya diam dengan rindu pada masing-masing. Dengan segala diam yang saling membelenggu. Kita tahu ada rindu yang harus tersampaikan pada pemiliknya. Tapi, Desember memberangus dengan cepat dan mengakhirinya tanpa ampun. Dengan hujan menziarah sepanjang bulan.

Desember dan segala kenangannya. Bukan mati tapi juga tidak bersemi. Hanya sekadar datang lalu pergi. Hanya menyebar tapi lupa menyemai benih.

Padahal, ada janji yang terikat di awal kemarin itu. Tanpa berhitung satu sama lainnya. Jika dihitung aku hanya sekali tidur dengan burung lain yang aku temui lima hari sebelum Desember pergi. Juga hanya beberapa kali mengatur janji untuk beradu peluh dengan tamu baru tapi tidak kutepati, seingatku.

Coba kau hitung. Iya, kau tamu yang telah kubukakan pintu dan kubiarkan menjamah rumahku pun malah menduriku. Lihat saja, akibat ulahmu Desember terlalu cepat pergi. Dengan segala rindu yang tidak tertuntaskan.

Sudah kubilang aku tidak pernah berhitung pada semesta. Lihat saja, hanya sekali aku tidur dengan burung lain, dan beberapa janji beradu peluh dengan tamu baru. Tapi kenapa kau malah menduri dengan berbagai persepsi buruk padaku.

Kau sudah tahu, aku si tuan rumah pemilik cerita ini. Lambang sebuah kesucian, kepolosan, dan kemurnian sang Bentala. Cintaku hanya terbentang di dua ratus empat puluh sampai dua ratus enam puluh sembilan derajat pada kordinat ekliptika.

Aku juga kembali sesuai janjiku pada Tano’ Niha. Walaupun aku tidak mendatanginya di tempat yang sama dengan bingkisan sesuai janjiku sebagai tanda untuk sebuah kenangan. Walaupun juga aku tidak berkabar saat datang kedua kalinya. Tapi aku sudah datang dengan janji yang kubuat.

26 Desember

Aku kembali bersua dengan ibu seperti hari-hari biasanya. Bertanya sapa, sedang apa dan bagaimana keadaan masing-masing.Tapi, hari itu dengan suara sedikit berat aku menyekat agar tidak basah dalam perbincangan siang itu.

Akhirnya aku lamat-lamat menguras semua emosi dengan tumpah ruahnya air mata tanpa dibendung. Dengan segala diagnosa yang menampar ragaku.

Menjatuhkan segalanya pada Ibu untuk tahu aku dalam hidup yang sedang tidak baik. Aku tahu Ibu hancur dalam penyalahan dirinya. Tapi Ibu dengan mata sekuat baja membenteng air matanya masih bisa berdiri dan senyum.

Beberapa Ibu terlihat gamang dan pelipis yang sedikit basah. Pada akhirnya kami saling berjanji. Nantinya saat penghujung aku akan kembali untuk menyeka rindu dan mengajaknya berkelana menghabiskan sisa perjalanan.

24 Desember

“Kadang ga sesederhana itu,”. Kalimat yang ia sautkan padaku. Aku tahu ia marah akan segala kecamuk rasa.

***

Jantungku sakit karena letusan kembang api yang terlalu keras melayang di atas atap rumah. Dengan bubuk-bubuk mesiu berterbangan menyesakkan dadaku. Hanya segelas kopi susu membersamai di tanganku. Lalu Ibu yang riuh dalam perjamuannya bersama beberapa lainnya tertawa riang namu ada sedikit kecut di wajahnya. Sedangkan aku menyudahi ceritaku dengan sendiri bersama rasa yang tertinggal di Desember kemarin dan ia yang tertahan dengan kesendiriannya.

*Penulis merupakan mahasiswa aktif USU, Ilmu Administrasi Publik 2015. Tulisan dimuat lewat program kontribusi.

Komentar Facebook Anda

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4