“Pak wakil kewalahan menghadapi gempuran desahan rakyatnya.”
Rani, seorang mahasiswa cantik dari salah satu kampus kecil di pinggiran kota. Solek paras wajah Rani dapat membius pria manapun yang menatapnya. Memang berkah sang Maha Kuasa, ketika ia dilahirkan dengan kecantikan seperti itu. Namun, keberkahan yang Rani dapatkan hanya sebatas penampilan fisik. Lebih dari itu, ia harus menghadapi peliknya situasi untuk bertahan hidup. Adil tak adil, itulah yang Maha Kuasa berikan.
Sehari-harinya Rani yang tinggal dengan ibu dan kedua adiknya harus memikirkan cara bagaimana agar besok tetap bisa menjalani kehidupan. Bagaimana caranya agar besok tetap hidup. Tetap bernafas, tidak mati kelaparan.
Terlahir dari keluarga tak mampu juga ditinggal sang ayah yang pergi begitu saja tanpa kejelasan saat ia kecil, menjadi sumber permasalahan Rani dan keluarga. Ibunya hanya sebatas buruh cuci piring di suatu rumah makan, penghasilannya tidak cukup untuk menafkahi ketiga anaknya, apalagi membiayai kuliah Rani yang selama ini tertunggak.
Penghasilan ibu hanya cukup untuk membiayai makan anak-anaknya saja. Sementara untuk keperluan kuliah, Rani biasanya memanfaatkan berbagai peluang seperti membantu pekerjaan dosen di kampusnya. Lebih dari itu, Rani pun kerap membantu kawan-kawannya mengerjakan tugas dengan bayaran yang tidak seberapa.
Beribu cara memang harus dipikirkan Rani untuk mengatasi permasalahan hidupnya ini. Tak ada lagi yang dapat membantu dia. Keperluan adik-adiknya pun harus dia pikirkan, bukan hanya dirinya saja.
“Bu, aku berangkat kuliah dulu ya,” izin Rani kepada ibunya di kamis sore itu.
Ibu tidak menaruh rasa curiga mengenai izin tersebut. Ibunya pun tahu bahwa si anak sulung memang mendapat jadwal kelas sore di tiap hari kamisnya.
Selepas keluar dari halaman rumah, ia berjalan menuju halte angkutan umum. Tak seperti biasanya, ia menumpangi bus yang mengarah ke pusat kota, bukan bus yang menuju kampus.
Ternyata Rani mendapatkan tawaran pekerjaan baru di pusat kota. Tawaran pekerjaan tersebut ia peroleh dari salah seorang temannya yang sudah lebih dahulu bekerja. Dengan tawaran yang menggiurkan, ditambah desakan ekonomi yang Rani alami saat ini, Rani pun menerima ajakan tersebut.
Bus berhenti di depan sebuah club malam, seirama dengan berhentinya mentari yang menyinari langit kota. Sore berganti malam, rani pun segera berganti pakaian di salah satu ruangan club tersebut. Pakaian yang dikenakan saat pamit izin dari rumah ia tanggalkan. Helaian tipis pakaian seksi wanita penghibur perlahan menutupi lekuk tubuhnya.
Malam itu merupakan malam pertama ia bekerja sebagai wanita penghibur. Tamu pertamanya merupakan pria paruh baya dengan jas hitam yang melekat. Ternyata pria tersebut adalah anggota dewan pusat yang datang dari Jakarta ke kota Rani. Kunjungan kerja serta safari politik menjelang pemilihan berikutnya, membuat si wakil rakyat penat. Pak dewan pun ingin mencicipi legitnya gadis lokal sebagai sarana pelepas kepenatan.
“Sesudah ini temani saya ke hotel ya dek,” Ajakan sang dewan kepada Rani setelah mereka asik berkaraoke.
Rani pun paham atas maksud dan tujuan dari ajakan tersebut. Sebab dia pun tahu ajakan tersebut merupakan awal dari pekerjaan sebenernya yang harus dia lakukan. Tepat pukul 9 malam mereka berdua bergegas menuju hotel yang letaknya tak jauh dari club tersebut. Dengan mobil mewah, Rani dan pak dewan berjalan melintasi macetnya jalanan kota.
Sesampainya di lobi hotel, mereka pun segera memasuki kamar yang sebelumnya digunakan pria tersebut menginap. Kamar hotel seketika berubah menjadi ruang pertemuan antara sang dewan dengan rakyat yang diwakilkannya selama ini. Tak terdengar keluhan, keresahan, atau pun saran dari rakyat kepada sang dewan dari kamar tersebut. Tetapi, desahan demi desahan yang hanya bisa dilontarkan.
Pertemuan antar dua kelas sosial tersebut berlangsung selama satu jam saja. Pak wakil kewalahan menghadapi gempuran desahan rakyatnya. Nafasnya sesak. Bulir keringat masih membasahi sekujur tubuhnya.
Tidak peduli dengan itu, lantas Rani pergi meninggalkan hotel dengan sejumlah uang hasil pelayanannya kepada pak dewan. Rani pun segera memesan taksi online menuju rumahnya. Rasa cemas akan ibunya yang mungkin sudah menunggu-nunggu dia di rumah, bercampur dengan rasa bahagia setelah mendapatkan bayaran dari pak dewan yang memang tak mengecewakan.
“Maaf bu aku pulang malam,” ujar Rani kepada ibunya sembari menyodorkan uang.
Belum pun ibu bertanya, Rani lanjut berkata “Ini upahku setelah membantu pekerjaan dosen di kampus tadi,”. Untuk kedua kalinya, tanpa kecurigaan, ibu pun hanya bisa terdiam dan maklum kepada Rani.
Selain diberikan kepada ibu guna keperluan hidup keluarganya, uang yang diperolehnya malam itu sebagian ia simpan untuk membayar uang kuliahnya yang tertunggak. Beberapa sisanya ia pakai untuk membeli peralatan sekolah adik-adiknya.
Sementara tak ada pilihan lain memang. Cara instan yang Rani pilih ini, dirasanya dapat mengatasi ketidakadilan hidup yang ia hadapi. Sehingga ia tetap bisa hidup. Meskipun ini bukan solusi yang tepat menjawab ketidakadilan sang Maha Kuasa.