BOPM Wacana

Darah Juang

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Adinda Zahra Novianti

Ilustrasi: Alfat Putra Ibrahim
Ilustrasi: Alfat Putra Ibrahim

dinda-jpgAku hidup di zaman yang datar. Tak ada tangisan pemuda karena ditinggal mati teman sejalan. Tak ada barisan pemuda dengan nyanyian yang pernah kulihat di Youtube dengan titel reformasi.

Mereka dirampas haknya, tergusur, dan lapar. Bunda, relakan darah juang kami padamu kami. Cuma itu lirik yang lengket di kepalaku.

***

Aku berlari menuju ruang reyot yang dipanggil kelas. Tak ada air conditioner, ada bau kotoran kucing yang terinjak. Aku selalu datang lebih lama dari Si Penuh. Itu sebutanku pada semua dosen di gedung tanpa AC. Tak usah berpikir kenapa kusebut mereka ‘Penuh’. Langkahku aku hentikan. Saat melihat pria yang sejak lama menarik perhatianku.

Itu dia, lelaki gondrong pembeli koran dipinggir jalan sumber—salah satu jalan masuk kampus—setiap hari. Bukan karena itu aku sering memerhatikannya. Bukan pula karena status Facebook dan caption Instagram yang terus menyentil pemerintah. Tak juga karena opini-opininya yang dimuat di koran ternama.

Namanya Gandi Elang Prakasa. Aku tahu setelah dia masuk kelas perbaikan mata kuliah Filsafat Ilmu. Gaya berjalannya terkesan selengean, bahkan kurasa dia sok cool. Mahasiswa yang kurasa tak punya kemeja, celana tak sobek, dan bolpoin—karena tak pernah terlihat mencatat. Tapi ia selalu mampu mencengangkan mahasiswa lain dengan pemikiran-pemikiran tak terduganya.

Beberapa kali aku melihatnya tengah mengenakan headset sambil menutup mata. Saking terbawa dengan yang didengarnya, sering dia tak sadar aku lewat di dekatnya sambil mengintip. Itulah yang menarik darinya. Dia menonton film sambil menutup mata.

Selama dua semester aku memendam penasaran. Tak ingin aku membendung ingin tahu lagi. Kuputuskan menghampiri tempat bertapanya, tempat dia biasa menyendiri. Aku duduk di depannya tanpa izin. Mulai dari ujung sepatu reyot penuh lumpur sampai pucuk rambut yang dibiarkan memanjang sedikit kusut seperti tidak disisir, tak luput dari biji mataku. Tapi dia sangat wangi.

Aku menunggu pejamnya terselesaikan. Ada air di dekat matanya. Aku pikir itu tetesan air dari ranting pohon sebab baru saja hujan turun. Tapi aku rasa tidak. Itu air mata. Sangat lucu sosok lelaki gondrong seperti preman menangis, bukan? Entahlah mantra apa yang didengarnya sampai menyihirnya menangis.

Dia membuka matanya. “Anjay..,” teriaknya dengan muka sangar. Aku hanya diam. Sambil senyum tak bersalah meski aku tahu dia akan sangat marah. Sudah kupastikan dia akan sangan terkejut. Bagaimana tidak? Seseorang tak dikenal memandanginya sejak tadi tanpa sepengetahuannya.

“Gila. Sedang apa kau di sini?” lanjutnya sambil menghapus-hapus dadanya.

Tak aku jawab pertanyaannya. Aku malah langsung menyambutnya dengan pertanyaan yang sudah sejak lama aku persiapkan. “Kenapa tonton flim cuma didengar? Kenapa sendiri? Film apa yang selalu kamu tonton itu? Kenapa sambil tutup mata? Kenapa sampai menangis?” mulutku tak bisa berhenti bertanya. Bahkan pertanyaan itu keluar sekaligus. Sudah seperti reporter kepo dengan konsep 5W+1H. Bedanya, aku tak pakai semua elemen.

Dia langsung menghapus air matanya.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah mengetik laptop yang ada di sampingnya sambil sesekali melirik ke arahku. Tanpa sepatah kata pun. Laki-laki ini malah membuatku geram.

Beberapa menit hanya hening yang ada. Kami berdua terus diam. Di sela dia mangetik aku sedikit mengintip. Hanya kata nyinyir terlihat di bagian judul. Dia langsung menutup laptop lalu memandangku sinis. Terlihat dia risi dengan keberadaanku. Anehnya, dia tak mengusirku tak juga berbicara.

Aku meliarkan pandanganku ke semua hal yang ada di sekitarnya. Termasuk tali batak yang melingkar rapi di atas tasnya.

Tak kunjung bersuara. Pura-pura aku beranjak. Jangankan memanggil, melirikku saja dia tidak. Benar-benar pria dingin. Itulah yang terlintas di kepalaku.

Aku kembali duduk. Keheningan bertahan cukup lama. Hanya sesekali terdengar celoteh mahasiswa yang melewati lobi. Setan bosan mulai berlewatan. Aku kembali mengulang pertanyaanku dari awal. Tapi tak digubris lagi.

Kasihan atau bagaimana, dia menutup laptopnya. Disodorinya aku handphone plus headset yang kuyakini adalah barang kesayangannya.

“Pakai ini, lalu tutup matamu,” sambutnya seraya melengketkan penyambung suara itu ke telingaku.

Aku kaget. Badanku tak sengaja terjorok ke belakang. Hampir jatuh bahkan. Bagaimana aku mau menutup mataku di hadapan orang aneh yang baru aku kenal? Bagaimana kalau dia menciumku? Bisa hilang keperawanan bibirku.

Heh gila. Mana mungkin aku cium kau. Banyak orang lewat juga dodol,” nyinyirnya sambil menempeleng kepalaku.

Aku liarkan pandanganku sambil membenarkan dalam hati yang dikatakannya. Lagi pula masih banyak mahasiswa lalu-lalang di sekitar kami.

Aku menutup mata. Tak aku dengar apa pun. Hening satu menit hingga terdengar teriakan orang dari alat itu. Aku mendengar sumpah. Aku pikir sumpah pemuda. “Itu sumpah mahasiswa,” katanya pelan. Aku mendengar suaranya dari telinga kanan yang tak kututup alat. Isi sumpah buat tenggorokanku terasa kering. Diiring nyanyian yang pernah kudengar tapi kali ini terasa lebih riuh.

“Ayahku ada di antara mereka. Kata mamakku seperti itu. Tapi aku enggak tahu yang mana,” bisiknya pelan.

Kalimat itu memelekkan mataku. Aku pandang dia lama yang tengah menepis tetes air mata dengan telunjuknya. Kali ini kulihat dia tersenyum kecil padaku, tepatnya baru kali ini aku lihat dia senyum sepanjang aku memerhatikannya.

Dikeluarkan lalu diperlihatkannya selembar kertas berisi foto barisan pemuda dengan warna-warni jaket almamater sambil mengangkat kepalan tangan kirinya. Aku tahu, mereka pasti sedang berseru “hidup mahasiswa” seperti yang dilakukan seniorku saat penerimaan mahasiswa baru lalu. Meski sampai sekarang aku masih belum mengerti kenapa harus tangan kiri.

Telunjuknya mengarah ke salah satu orang yang dipanggilnya ayah.

Tanpa permisi dia tarik alat penghubung suara dari telingaku. Langsung saja dia pergi meninggalkanku sendiri di bawah pohon mahoni muda tempat bertapanya.

Aku bengong. Aku biarkan dia pergi tanpa permisi. Aku membayangkan betapa berharganya flim dan lagu itu baginya.

Saat itu juga aku yakin dia pasti tahu makna celana jeans sobek termakan matahari dan air yang bertahun tak diganti. Bukannya sengaja dikikis pakai pisau gerigi. Makna rambut gondrong yang dibiarkan terurai panjang kusut seperti tidak disisir. Bagaimana dengan pengguna jeans sobek dan rambut gondrong lain di luar sana. Bukankah fashion seperti itu yang melekat pada mahasiswa peduli demokrasi? Tahukan mereka makna yang mereka kenakan? Apa mereka hanya ikut-ikutan saja? Entahlah, hanya mereka yang tahu.

Pertanyaan terpenting, apa hanya Elang dan segelintir orang saja yang mencoba tetap mengingat akan peristiwa mematikan saat itu?

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4