BOPM Wacana

Ctaatam Hairan Marika

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Elsanti Amirah Adhana

Pada cerita pendek ini, Anda akan menemukan banyak sekali kesalahan dalam penulisan kata dan tanda baca. Tenang saja, kata-kata tersebut bukan merupakan kesalahan ketik, Marika sangat istimewa. Lahir dengan IQ 58 membuatnya memiliki keterbatasan dalam banyak hal. Tulisannya ini adalah hasil latihannya selama bertahun-tahun.

Ia bilag aku dungu aku harus tinggl di rumah ini. Anak bodoh sepetiku tidak boleh meyusakan.

***

Tangal 14 bulan Janurai

Dian amsih dduuk di meja makam

Dian sedag menluis smaa speertiku

Dian bliang aku haus rjain menluis dan beljar ia akan membeikanku roti isi ksismis yagn kami makn minggu lalu

Dian sudh tidak memreiksa lagi bukuku sejk tiga haari lalu, ktaanya sekaragn buku ini adlaah prifasiku

Apa itu prifasi aku tdiak terlau megerti dian bilang kini hnya diriku semdiri yagn dpaat meliht isi bukuku

Oh ia dian haus tahu klaau aku ahkirnya bisa menluis nanaku degan benar

Marika

Aku akan membaritau nya nanti stelah aku selasai menluis

Kata dian selama ini aku menluis nanaku degan salah ia heran karna aku lebih dulu menluis nananya degan benr daripada nanaku sendiri

Tadi pagi dian peegi ia membawa tasnya dan belari cepat keluar rumah

Gantugan kunci berbemtuk ikan di tas kecilnya bergoyamg goyamg sagat lucu

Aku tidak tau dian pegi kenama ia baru pulagn sore ini

Hari ini aku bagun sepeti biasa namun tak kuliht dian tidur di sebelakhu

Aku lalu pegi ke ruang tegnah dan memenukan dian duduk di atas sofa

Sofa kami jelek dan bolong  tapi kami tiadk mau membuagnya sofa itu

Aku tidk tau dian sedag apa di sofa itu

Ia seperti sedag berpikir karas

Aku ignin membantuya berpikir tapi aku bakhan tidak tau apa yagn dipikirkanya

Apaka dia berpikir tentagn jagun rebus atau memikirkan buts monyet peliharan dora aku benar benar tidk tau

Tapi aku suka jagun rebus

Dian juga suka

Aku meyukai apa yagn dian suka

Ah tagnanku sakit lagi

Besok aku akn menluis lebi panjan

Biar dian senagn

Salamat malam

***

Tanganku bergetar, berat bagiku untuk menuliskan huruf demi huruf ke atas kertas penuh pertanyaan ini. Aku sungguh ingin meremas kertas itu dan membuangnya jauh-jauh. Kulihat Marika sedang menulis di buku hariannya sepeti biasa. Aku berhenti menulis, aku suka sekali melihat Marika. Bagiku ia sangat cantik, meskipun dulu ibu selalu bilang wajah Marika sangat aneh dan membanding-bandingkan paras kami berdua, kata ibu aku sangat cantik. Tapi jika aku cantik bukankah Marika cantik juga? Kami dilahirkan bersama-sama, tidak sekalipun aku menganggapnya aneh.

Drrt drrt

Ponselku bergetar, aku ragu untuk mengangkatnya, namun akhirnya aku mengangkatnya dan mendekatkannya ke telingaku. Aku lalu berjalan keluar, berdiri di depan pintu rumah kami.

“Assalamualaikum Pakde,” sapaku.

“Dian masih belum siap Pakde.”

Aku tertegun dengan kalimat yang diucapkan Pakde. Air mata jatuh di pipiku.

“Baik Pakde, tapi beri Dian waktu beberapa hari.” Aku menggigit jariku, tidak percaya akhirnya aku menyetujui kata-kata Pakde.

“Dan juga, tolong tepati janji yang Pakde bilang sebelumnya.”

“Masih belum tidur, kami sudah makan malam.”

“Baik Pakde, selamat malam. Assalamualaikum,” tutupku.

Aku kembali masuk ke dalam, tepat saat itu kulihat Marika sudah menutup bukunya. Ia menatapku, aku tersenyum padanya. “Mar, ada yang mau kubilang,” kataku.

Marika menghampiriku, “Dian mau bilag apa?”

Air mataku kembali tumpah, percakapanku dengan pakde barusan membuatku kembali lemah, aku tidak bisa menahannya.

“HAAAAA DIAN NAGIS, DIAN JANGAN NAGIS!” teriakan Marika terdengar lantang.

Aku segera merengkuhnya, membawanya ke pelukanku, menenangkan tubuhnya yang bergetar. Ini pertama kalinya setelah cukup lama Marika tidak bersikap seperti ini.

“Mar, tenang Mar.  Dian nggak nangis.” Aku buru-buru menghapus air mataku.

“Tarik napas…buang…tarik lagi…buang.” Kurapalkan mantra ajaib yang diberitahu seorang psikiater di puskesmas kampung kami jika Marika berperilaku seperti ini.

Mantra itu benar-benar manjur, napas Marika menjadi lebih tenang di pelukanku.

Aku akhirnya melepas pelukanku, aku memegang kedua bahu Marika yang lebih pendek dariku. Aku sedih mengetahui fisik Marika tidak berkembang sempurna seperti diriku. Kami dilahirkan di waktu yang nyaris sama, ia lebih dahulu melihat dunia beberapa menit dariku. Meskipun kami kembar, namun ibu pernah bilang padaku, Marika lahir dengan berat badan yang sangat ringan, tubuhnya begitu kecil saat itu, hanya setelapak tangan ibuku.

Aku memegang kedua pipi Marika dengan kedua telapak tanganku, memastikan Marika benar-benar tenang dan siap mendengarkan kata-kataku selanjutnya.

“Mar, aku akan pergi selama beberapa waktu…agak lama,” ucapku pelan-pelan, agar Marika mendengar dan memahami setiap kata-kataku.

“Dian mau pegi? Marika titip jagun rebus,” balas Marika. Ia mengira aku pergi ke warung Mbak Santi seperti biasa untuk membeli bahan masakan. Tapi kali ini aku bukan ingin pergi ke warung Mbak Santi.

“Dian mau pergi jauh…jauh sekali. Tapi Marika tidak ikut,” aku melanjutkan kalimatku.

Marika menatapku bingung, “Kenapa aku tidak ikut? Marika ikut Dian.”

Pertanyaan itu, aku tidak bisa menjawabnya. Tidak mungkin kubilang alasan sesungguhnya. Hatiku tidak akan sampai hati. Marika kini hanya menatapku bingug.

“Karena mahal, tidak cukup uangnya jika kita pergi berdua,” aku menggigit bibirku, air mataku terasa ingin tumpah.

Marika mengangguk. “Berapa lama?” tanyanya.

“Lama sekali,” lirihku.

Namun kulihat Marika tersenyum, ia lalu mengangguk.

Tangisku pecah, kedua tanganku segera menariknya ke pelukanku. Aku menangis di tengkuknya, sekeras-kerasnya. Aku ingin Marika tahu kalau aku tak menginginkan kepergianku ini. Marika harus tahu kalau aku tidak ingin meninggalkannya.

“Maaf, Mar.” aku berucap lirih. Aku yakin jika Marika tahu alasan kepergiaku sesugguhnya ia tak akan pernah memaafkanku karena meninggalkannya.

Bisa kurasakan Marisa mengangguk. Kulepaskan pelukanku, kubawa Marika ke kamar kami, hari sudah malam, sudah saatnya kami tidur.

“Dian, aku sudah bisa menulis namaku sediri degan benar,” ucap Marika.

“Serius?” tanyaku. Dian mengangguk. Ia tersenyum sambil memegangi ujung seprai yang sedang kaimi bentangkan di atas tempat tidur.

“Bagus sekali…bagus sekali….,” ucapku senang. Aku sangat bangga dengan pencapaian ini. Marika memang anak yang pintar, sudah kuduga.

Kami kini berbaring bersebelahan di tempat tidur kami, dengan bantal guling  yang kami jadikan bantal berdua. Kulihat Marika sudah terlelap, ia memang gampang sekali tertidur. Tidak sepertiku yang selalu memikirkan banyak hal sebelum bisa menutup mata. Kupandangi Marika lamat-lamat, aku selalu bertanya-tanya apakah Marika pernah membenciku, atau menganggap Tuhan tidak adil karena aku bisa hidup dengan normal.

Aku tahu Marika juga menyayangiku, mungkin rasa sayangnya lebih besar dari rasa sayangku padanya. Ia selalu menulis tentangku di catatan hariannya, seolah diriku adalah dunianya. Dan aku juga begitu, Marika adalah duniaku. Aku tidak bisa hidup terpisah darinya. Sejak kecil kami tumbuh bersama-sama.

Benar. Aku tidak bisa hidup tanpa Marika.

Aku bangkit dari posisi tidurku, duduk di atas ranjang yang bagian tengahnya sudah jeblos ke dalam.

Mengapa aku baru sadar? Bagaimana bisa aku berpisah dengan Marika? Kuambil ponselku di atas lemari baju, kutelpon Pakde, semoga ia masih belum tidur.

Tersambung.

“Assalamu’alaikum pakde, maaf kalau Dian mengganggu malam-malam,” aku memulai obrolan.

“Apa yang Dian katakan sebelumnya, Dian tarik kembali saja ya Pakde. Dian tidak jadi ikut Pakde. Kasihan Marika,” Ucapku. Aku tidak yakin bisa meluluhkan niat Pakde yang ingin membawaku keluar dari kampung ini, keluar dari negara ini, dan bekerja sebagai TKI di Hongkong.

“Dian sudah pikir matang-matang, Pakde. Dian bisa mencari pekerjaan lain seperti membuka laundry, atau jualan kue. Apapun itu,” aku terus meyakinkan pakde bahwa aku bisa menghasilkan uang.

Kudengar Pakde menghela napas berat.

“Kami bisa hidup dengan baik kok, masih ada sisa peninggalan ibu, Dian juga akan segera mencari pekerjaan. Pakde tidak perlu khawatir.”

“Apa? Pakde serius?” tanyaku kaget.

“Bisa pakde, bisa. Dian besok akan ke tempat Pakde,” balasku cepat. Senyumku melebar, aku senang sekali.

“Baik, Pakde.”

“Selamat malam, Pakde. Assalamu’alaikum.”

Kututup telponku dengan Pakde. Aku tidak menyangka Pakde menyetujui keputusanku. Pakde memang orang yang baik, ia besok juga akan menemaniku mencari pekerjaan. Katanya ada temannya yang membutuhkan tukang bersih-bersih di kantornya.

Hah, andai saja dulu aku menyelesaikan SMA, setidaknya aku bisa menjadi buruh di pabrik es krim di kabupatenku, banyak teman-temanku yang bekerja di sana. Usiaku yang hampir seperempat abad ini semakin sudah mencari pekerjaan dengan ijazah SMP ku. Kehidupan sehari-hari kami dapat terpenuhi karena sisa warisan ibu dan tabunganku dari kerjaanku sebelumnya.

Aku sudah menganggur selama satu tahun, tak ada yang mau menerimaku bekerja. Dan minggu lalu Pakde, adik ibu, menelponku dan menawariku untuk bekerja sebagai TKI. Aku menolaknya, siapa yang akan menjaga Marika jika aku tidak ada? Pakde memaksaku dan meneleponku hampir setiap hari. Namun hari ini aku bisa meluluhkan pakde. Aku tidak akan pergi menjadi TKI. Pakde tadi juga bilang akan membantu mencari perawatan untuk Marika, sesuai janji pakde sebelumnya jika aku setuju menjadi TKI. Tapi sekarang aku tidak perlu menjadi TKI, dan Marika akan tetap mendapatkan bantuan perawatan. Aku senang sekali.

Ah, sayang sekali Marika tidak mengingat pakde. Bukan hanya pakde, Marika kesulitan mengingat orang-orang selain aku, ibu,  mbak Santi, mas Ridho tukang ojek yang selalu mangkal di depan rumah kami, dan bapak. Meskipun bapak telah pergi dari rumah 15 tahun lalu, Marika masih tetap mengingat bapak.

Aku kembali merebahkan tubuhku di samping Marika. Malam  ini aku akan tidur sangat nyenyak, setelah memasakkan sarapan untuk Marika, aku akan menemui pakde.

Matahari sangat terik meskipun masih jam sembilan. Aku menunggu angkutan yang akan membawaku ke kabupaten sebelah, tempat tinggal pakde. Ongkos kesana tidak mahal, hanya 15 ribu rupiah untuk dua jam perjalanan.

Marika sendiri di rumah, aku tak lupa mengunci pintu agar Marika tak keluar dan berkeliaran di luar rumah. Kubilang padanya aku akan kembali sore.

Kutempuh dua jam perjalanan ini dengan perasaan bertanya-tanya. Aku sudah lama tidak berjumpa Pakde, terakhir adalah saat pemakanman ibu. Sekitar empat tahun lalu.

Aku turun dari bis angkutan, lalu berjalan mencari rumah pakde. Ia tinggal di dekat sini.

Ponselku bergetar. Ternyata Pakde.

“Assalamu’alaikum, Pakde. Dian sudah sampai,” ucapku.

“Apa? Pakde tidak di rumah?” tanyaku.

“Oo baik, Pakde. Dian akan kesana,” jawabku. Pakde lalu menutup telponnya.

Pakde ternyata sudah pergi, ia menyuruhku menaiki bus berwarna merah, bus itu akan mengantarku ke tempat Pakde. Kata pakde ia sudah membayarkan ongkosnya, aku hanya perlu menunjukkan KTP-ku.

Disini adalah loket pemberhentian transportasi antar kota, banyak sekali kendaraan dengan tujuan beragam di tempat ini.

Oh itu dia busnya, aku segera menaiki bus itu. Seperti kata pakde, seorang kenek atau semacamnya memeriksa KTP ku dan menuliskan sesuatu di kertas yanng ada di tangannya, aku tidak tahu apa itu. Kucari tempat duduk di dekat jendela. Dapat kulihat penumpang bus ini seluruhnya adalah wanita, setidaknya aku akan merasa aman. Bus pun berangkat.

***

Tanggal 15 bulan Janurai

Hari ini sagat aneh

Setelah dian pergi rumah kami kegatangan tamu

Aku tidak megenalnya tapi ia tau nanaku

Kataya aku akan dibawa ke tepat dian jadi aku megikuti orang ini

Aku dan orang ini naik mobil

Tempaatya sagat jauh, aku sempat tertidur

Orang itu membawaku masuk ke sebuah rumah besar

Bayak anak-anak di rumah itu

Tapi tidak ada yang melirikku, biasaya jika aku keluar rumah bayak orang yang akan melihatku

Aku dan orang itu mask ke dalam ruagan, oragn itu menulis di kertas

Oragn itu lalu membawaku keluar, ia memegamg bahuku

Ia bilag dian tidak akan kembali

Ia bilag aku adalah beban untuk dian

Ia bilag aku dungu aku harus tinggl di rumah ini

Anak bodoh sepetiku tidak boleh meyusakan

Ia bilag ia ignin memjual rumah ibu

Aku tadi managis keras

Orang itu lalu pergi

Aku dibawa masuk ke dalam kamar

Ada bayak tempat tidur

Ada bayak oragn di dalam kamar

Aku tidak makam apapun hari ini

Aku menunggumu dian

Katamu akan pulagn sore

Tapi ini suda malam

Dian berbohom

Kata kata oragn itu tadi masi ada di kepalaku

Aku tidak bisa memhilankanya

Dian kau harus menbamtuku

***

Tanggal 16 Bulan Janruai

Aku tadi bagun tampa dian disebelaku

Aku tadi makam makaman yagn bukan dian yagn memasak

Tidak enak

Dian pamdai sekali memasak

Tapi dian masi belum pulag

Kemama dian?

Ia suda tidak mau menemiuku lagi

Pasti aku sagat meyusakan

Sepeti kata oragn itu

Dian cepat pulagn

***

Tanggal 17 bulan Janurai

Ruamh ini bayak oragn aneh

Aku tidak suka mereka

***

Tanggal 18 bulan Janruai

Ruamh ini aneh

Aku tidak suka

***

Tanggal 19 bulan Janruai

Aku tidak akam menluis lagi jika dian tidak pulamg

***

Tanggal 19 bulan Ferbruari

 

***

Tanggal 19 bulan Mart

 

***

Tanggal 19 bulan Septeber

 

***

Tangal 19 bulan Janruai

 

***

TAMAT.

Komentar Facebook Anda

Elsanti Amirah Adhana

Penulis adalah Mahasiswa Psikologi USU Stambuk 2018. Saat ini Elsa menjabat sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4