BOPM Wacana

Cara Menghargai Hidup dalam Buku “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

Dark Mode | Moda Gelap
Foto Ilustrasi. | Firda Elisa
Foto Ilustrasi. | Firda Elisa

Oleh: Firda Elisa

Judul

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Penulis

Brian Khrisna

Penerbit

Grasindo

Tahun Terbit

Januari 2025

Tebal Buku

210 Halaman

 

“Sebelum mati, setidaknya sekali saja aku harus melawan dunia. Rencanaku harus terlaksana.”

Buku ini mengisahkan tentang seorang pemuda berusia hampir kepala empat, Ale–pekerja kantoran ibu kota, yang ingin mengakhiri hidupnya karena tumbuh dengan perasaan terhina dari orang-orang sekitarnya sejak kecil. Dengan tubuh yang tinggi dan berisi, kulit yang gelap, serta bau tubuh yang menyengat, membuat orang-orang enggan untuk berlama-lama berada di dekatnya.

Gejala depresi telah nampak sejak Ale kecil. Meski begitu, kunjungan rutin ke psikiater tidak membuatnya merasakan ada perubahan baik di dalam diri. Penyebabnya tidak lain adalah pandangan orang-orang sekitar, bahkan ibunya sendiri yang selalu menyepelekan perasaannya.

Sebagai anak laki-laki, ejekan tidak boleh membuatnya menangis. Hingga Ale dewasa, ibunya tidak pernah benar-benar peduli. Setiap telepon yang diterima dari ibunya hanya untuk membandingkan Ale dengan adiknya yang sudah menikah lebih dulu.

Jadi, 24 jam setelah meniup kue ulang tahun yang ia beli sendiri untuk merayakan 37 tahun hidupnya, Ale memutuskan akan mengakhiri hidup. “Selamat ulang tahun yang terakhir, Ale,” ucapnya parau.

Sebelum mati, Ale memutuskan untuk melakukan semua hal yang ia inginkan. Seperti membeli makanan mahal yang sangat ingin ia makan. Uang tidak akan masuk peti, pikirnya. Membersihkan apartemennya yang tak pernah disentuh karena sibuk bekerja, juga mandi dengan bersih agar orang yang menemukan mayatnya nanti, tidak akan kesulitan karena bau tubuhnya.

Di apartemen, Ale menegak seluruh obat yang baru ia tebus di apotek. Satu menit berlalu, perutnya tiba-tiba berbunyi. Ternyata obatnya harus diminum setelah makan. Ale teringat pada mie ayam yang sering ia beli untuk sarapan sebelum ke kantor.

Tetapi sayangnya, penjual mie ayam langganannya ternyata telah meninggal dunia. Bahkan ingin mati saja pun sulit, gerutunya. Padahal sudah lewat beberapa jam dari waktu yang ditentukan Ale untuk mengakhiri hidup.

Runtutan hal-hal aneh mulai terjadi, seakan Ale dilarang untuk mengakhiri hidup. Tiba-tiba ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena polisi mengira dirinya sindikat dari pengedar barang terlarang. Di sana, ia bertemu dengan Murad yang ternyata adalah pemimpin sindikat tersebut. Setelah keluar dari penjara, Murad mengajak Ale untuk bekerja bersamanya.

Herannya, bergabung dengan kelompok Murad membuat Ale tahu rasanya dihargai sebagai seorang manusia. Mereka menganggap tubuh besar Ale adalah sebuah kelebihan. “Justru di tempat paling tidak manusiawi ini, untuk pertama kalinya aku merasa dimanusiakan.”

Melalui Murad dan pekerjaan barunya, Ale menyadari bahwa selama ini masih banyak orang-orang yang tidak lebih beruntung dari dirinya. Gadis-gadis pekerja seks komersial di bar yang Ale kunjungi, ternyata punya kehidupan berat yang memaksa mereka mengambil jalan yang salah.

Bertemu pula dengan Ipul, office boy di kantor tempat Ale bekerja yang ternyata menghidupi keluarga kecilnya di sebuah rumah sempit, di perkampungan dekat rel kereta api. Ipul meyakinkan Ale bahwa ia adalah orang yang baik. Ale tidak pernah memandang rendah karyawan lain dengan jabatan yang jauh di bawahnya.

Para office boy, satpam, bahkan pemilik warteg mencari Ale karena ia tak kunjung masuk kantor. Pertemuan kembali dengan Ipul membuka mata Ale bahwa selama ini, ia tidak pernah sendirian. Ia hanya tidak mampu melihat mereka.

Begitupun dengan Bu Murni, seorang wanita tua yang salah mengira bahwa Ale adalah anaknya yang lama tidak pulang. Memperhatikannya dengan hangat, lebih hangat dari ibu kandungnya sendiri. “Ibu pikir sudah memberikan yang terbaik yang ibu bisa. Namun ibu lupa untuk bertanya apa yang terbaik untuknya dan apa yang membuatnya bahagia,” ucap Bu Murni lirih pada Ale.

Begitupun dengan pemilik toko layangan di pinggir rel kereta api dengan filosofi layangannya—tetap berpegang pada harapan sekecil apapun untuk terus menyambung hidup, tidak menyesali apapun pengalaman, baik maupun buruk, yang dapat menjadikan hidup seimbang.

Dan terakhir, seorang penjual kerupuk bangka yang buta, Pak Jipren, yang juga pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Menurut Pak Jipren, untuk melihat sesuatu tidak harus melalui mata saja.

Jika Ale hanya melihat hal-hal buruk yang terjadi di sekelilingnya, maka ia harus membutakan diri sesaat dan melihat melalui telinga dan perasaannya. “Sometimes, we need close our eyes to truly see the world.” Sebuah ujaran indah yang menghangatkan hati Ale saat itu.

Hal terkecil sekalipun, yang kadang tidak disadari, bisa menjadi sebuah alasan untuk kita menghargai hidup

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati mengupas perasaan dari seorang pengidap depresi secara mendalam. Perasaan sang tokoh utama, Ale, digambarkan dengan kompleks. Terutama saat ia sudah memutuskan ingin mati, namun sebenarnya ia takut merasakan sakit yang akan menyiksanya sebelum mati.

Alurnya disusun secara runtut dan jelas. Bahasa yang digunakan mungkin akan membuat pembaca kurang nyaman, karena cukup banyak kata-kata kasar, umpatan, maupun yang menjurus ke ranah seksual.

Namun tak elak, cerita ini akan menyentuh perasaan banyak pembaca dengan realita yang disajikan. Cemooh dan ejekan yang mungkin didapat banyak orang karena kondisi fisik mereka, kesulitan ekonomi, sulitnya bertahan hidup di ibu kota, bahkan hal sesederhana seperti kesendirian.

Mungkin, ada yang memiliki perasaan yang sama dengan Ale atau pernah berpikir untuk mengakhiri hidup mereka. “Tidak ada kata-kata yang tepat untuk melarang orang bunuh diri. Di satu sisi, memintanya tetap hidup akan terdengar egois. Di sisi lain, mendorongnya untuk mati pun tidak elok.”

Akan selalu ada harapan sekecil apapun, seremeh apapun itu untuk terus melanjutkan hidup. Mungkin, seperti Ale yang tanpa sadar terus melanjutkan hidupnya hanya untuk makan seporsi mie ayam langganannya.

Tidak selamanya hidup akan berjalan sesuai yang kita inginkan. Kita mungkin harus merasa sedih, jatuh, atau sakit. Hal itu adalah bagian dari hidup yang membuat kita merasa ‘hidup’, karena jatuh tidak selamanya buruk. “Demi menyelamatkan kita dari jalan yang salah, terkadang Tuhan akan mematahkan kita sepatah-patahnya.”

Kisah dalam Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati dapat dijadikan pengingat untuk terus melangkah melanjutkan hidup. Di setiap babnya, mengandung untaian kalimat yang dapat menyadarkan dan memotivasi kita. Bahwa kita berharga, bahwa kita tidak perlu terlalu keras pada diri sendiri.

Pengulas merekomendasikan buku ini untuk dibaca, mungkin untuk mencari sekecil apapun harapan, seremeh apapun alasan. Jangan lupa ambil jeda untuk mengapresiasi diri. “Hargailah pencapaian di hidupmu meski itu hanya pencapaian kecil. Sebab, kamu memang pantas untuk itu.” Dengan begitu, kamu sudah berhasil menghargai hidupmu.

Komentar Facebook Anda

Firda Elisa

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2023. Saat ini Firda menjabat sebagai Staf Riset BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus