
Oleh: Dormaulina Sitanggang
Judul |
Teruslah Bodoh Jangan Pintar |
Penulis |
Tere Liye |
Penerbit |
Sabak Grip Nusantara |
Tahun Terbit |
2024 |
Tebal Buku |
371 halaman |
“Tapi sayangnya, setelah penjajah itu berhasil diusir pergi, justru yang datang adalah saudara sendiri, yang lebih bengis, lebih rakus, untuk kemakmuran kelompoknya sambil membual untuk kepentingan bangsa dan negara.”
Rasanya terlalu nyata untuk dikategorikan sebagai sebuah karya fiksi. Novel Teruslah Bodoh, Jangan Pintar dengan gamblang menggambarkan kondisi ketika uang mengambil kendali kekuasaan di dalam negeri. Kecurangan mudah dilakukan, hukum bisa dibeli. Siapa yang benar, belum tentu menang. Yang jujur, apalagi. Lantas, keadilan? Apa itu adil?
Ruangan sidang tertutup berukuran 3×6 meter jadi saksi bisu perhelatan dua kepentingan. Adalah penggugat, sekelompok aktivis lingkungan yang menentang proyek tambang raksasa PT Semesta Minerals & Mining. Dokumen, bukti, dan saksi yang dibawa pihaknya menunjukkan rekam jejak buruk sepanjang riwayat pengoperasian tambang perusahaan tersebut.
Jelas yang dilakukan bukan saja pengerukan hasil bumi. Perusakan lingkungan, pengusiran penduduk, juga intimidasi dan kriminalisasi yang sebabkan korban berjatuhan. Terlebih fakta bahwa perusahaan itu memanfaatkan pihak tentara dan juga pejabat tinggi negara, untuk memastikan operasional tambangnya berjalan lancar.
Semua itu diadu argumenkan pada persidangan, agar kelak proyek tambang itu ditolak. Demikianlah harap aktivis lingkungan tersebut. Namun, bagai menulis di atas air, kenyataan tak semudah yang dibayangkan. Enam belas hari lamanya persidangan, lawan mereka bukanlah ecek-ecek punya.
Hotma Cornelius, seorang advokat terkemuka spesialis pembela kejahatan, yang sebelumnya mahir tangani kasus korupsi, narkoba, skandal, hingga kasus pembunuhan dari klien-kliennya. Saat ini, ia membela perusahaan tambang di persidangan selaku pihak tergugat. Dari pihaknya, Hotma bersikeras jika proyek tambang milik kliennya sangat berjasa. Mulai dari janji lapangan pekerjaan, kemajuan bagi kawasan tambang pada radius ratusan kilometer, penghidupan orang banyak, hingga pajak masif bagi negara. Ia piawai dalam beretorika.
Segala bukti dokumen dan saksi pihak aktivis lingkungan tidak berarti apa-apa bagi Hotma, si advokat kondang tersebut. Ia selalu punya argumen, sanggahan, dan bukti yang dijadikan pembenaran. Semua itu berbanding terbalik dari pengakuan pihak aktivis. Proses persidangan semakin menuju jalan rumit.
Ahmad, orang yang diminta aktivis lingkungan menjadi saksi pertama di persidangan itu. Dulu, Ahmad menyaksikan bagaimana lubang bekas pengerukan tambang di kampung mereka tidak diurus, dibiarkan terbuka tanpa pembatas, dan ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan. Lubang bekas tambang itu berbahaya, hingga pernah memakan korban jiwa, menenggelamkan temannya, Badrun.
Kejadian itu sempat tersorot oleh seorang jurnalis perempuan. Malang nasib, berita itu tidak pernah terbit. Kala itu, medianya diancam hingga berimbas pada jurnalis tersebut, menjadi korban penyerangan air keras yang merusak wajahnya.
Belum cukup trauma Ahmad. Di persidangan itu, dari pihak lawan ia menyaksikan temannya sendiri memberi tuduhan palsu. Kesaksian Ahmad dibantah, padahal mereka sama-sama menyaksikan situasi ketika Badrun tenggelam. Ahmad justru dituduh memukul hingga menenggelamkan Badrun di lubang tambang saat itu. Kesaksian kawannya telah dibeli oleh pihak lawan.
Tak berhenti di situ, banyak kisah dan kesaksian yang diungkit di ruang persidangan. Pun dari pihak lawan tak habisnya menyerang atau membantah. Menghalalkan segala upaya untuk memberantas siapa pun yang berupaya menolak proyek tambang itu.
Tere Liye terbilang berani untuk mengangkat isu berat dan sensitif pada novel Teruslah Bodoh, Jangan Pintar. Tampak ketika ia menyinggung keterlibatan pemerintah dan tentara pada upaya kelancaran tambang. Oligarki, pelanggaran regulasi dan kerusakan lingkungan akibat tambang, hingga penggusuran, kekerasan, dan intimidasi yang dialami masyarakat terdampak, disinggung telak dalam novel ini.
Permainan kekuasaan dan politik uang yang disuguhkan, boleh jadi membuat pembaca geregetan. Berbagai emosi dari setiap penokohan seiring berkembangnya jalan cerita juga tersampaikan lewat gaya bahasa yang lugas. Terlebih konflik pertambangan yang marak dan dipermasalahkan hingga kini, bisa membuat pembaca terhubung sekaligus merasakan pengalaman para tokoh.
Apa yang disajikan dalam novel ini tampaknya tak asing bagi kita. Nyata bahwa seringkali keuntungan yang dijanjikan pihak penguasa, justru berujung merugikan masyarakat. Nyata bahwa ketidaksetujuan atau kritik, akan berujung pada pembungkaman bahkan tindak penyerangan. Kebijakan berpihak pada mereka yang miliki jabatan dan modal. Kehadiran mereka seperti penjajah. Penjajah yang hadir untuk mengeruk hasil, menebalkan kantong pribadi.