BOPM Wacana

Agar Mereka Tak Lagi “Beda”

Dark Mode | Moda Gelap

Koordinator Liputan: Guster CP Sihombing

Reporter: Aulia Adam, Fredick BE Ginting, Sofiari Ananda, dan Guster C P Sihombing

  • Guster CP Sihombing

Mereka sama seperti kita, namun dalam dirinya ada sesuatu yang “beda”. Perbedaan itu membuat mereka harus termarginalkan dari lingkungan, bahkan keluarganya sendiri.

Ilustrasi Foto: Rida Helfrida Pasaribu
Ilustrasi Foto: Rida Helfrida Pasaribu

Kamar itu dicat putih bersih.Kira-kira berukuran 3×4 meter.Dihiasi berbagai jenis boneka, dari jenis Barbie, tokoh-tokoh Disneyland, Tweety, hingga miniatur-miniatur sepatu wanita. Boneka-boneka itu milik Fahmi (bukan nama sebenarnya) saat ia masih duduk di SD. Sekitar tahun 1990-an silam, ia mengaku mendapatkan semua koleksi mainan itu dari orang tuanya. Teman-temannya juga kebanyakan perempuan.

Pun, saat duduk di bangku SMP ia merasa ada yang berbeda dengan teman sejenis. Ada perasaan suka dalam dirinya. Namun, ia mencoba melawan perasaannya dengan berpacaran dengan lawan jenis ketika SMA. Bukan sebagai pelarian, tapi karena kasih sayang.“Sempat sekitar enam bulan aku jalan dengan perempuan.Pertama kali emosi percintaan itu memang dimulai dengan perempuan,” katanya.Sekarang Fahmi sudah duduk di semester delapan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU.

Ia mengaku menutupi jati dirinya dari keluarga. Demi nama baik keluarga katanya. Ia mulai terbuka saat SMA. Namun, ia tidak mengingat pada siapa dia bercerita pertama kali. “Aku sih merasa untuk apa ditutupin ke teman-teman, kita kan udah sama-sama dewasa,” terangnya.

Bicara mengenai penyebab kecenderungan orientasi seksualnya, dia mengaku tidak bisa menyalahkan 100 persen didikan orang tua. Bisa jadi karena dia yang terlalu manja.

Cerita serupa juga dialami Eva (bukan nama sebenarnya). Ia mengagumi sesama perempuan sebelum SD. Ia suka memerhatikan, melindungi, dan tidak menyukai teman-teman perempuannya diganggu orang lain. Kebiasaan ini berlanjut hingga kini, sebagai mahasiswa FISIP 2008.

Ia menolak disebut sebagai lesbian. “Seksualitas itu cair, itu hanya identitas,” kata Eva.

Dirinya sendiri tak terima dengan perbedaan yang ia rasakan. Ada dua alasan yang membuatnya tak terima, yakni dosa dan malu pada masyarakat.

Saat SMP, ia sempat menyatakan perasaannya pada seorang teman perempuan, tapi yamg terjadi tak sesuai harapan. Malah,sempat beredar isu-isu negatif tentang dirinya saat itu. Keluarganya pun mengetahui apa yang sedang batin pergumulkan.

“Kalau memang suka perempuan, enggak ada yang bisa mengubah. Termasuk Ayah.Jadi, kalau kamu tetap gitu, malunya sama masyarakat,” ujar Eva menirukan ayahnya. Keluarganya menganggap apa yang terjadi pada Eva adalah aib.

Lain pula dengan Edison Franky Suwandika Butar-Butar mahasiswa FISIP 2010.Dika, begitu ia disapa. Kala itu ia sedang kuliah, kelompoknya sedang mempresentasikan topik kepribadian. Lama kelamaan, mereka mulai membahas homoseksual dan menyatakan itu sebagai suatu penyimpangan. Merasa tak terima, dua teman Dika, yang tahu benar kehidupannya berkomentar. Mereka membeberkan fakta tentang orientasi Dika.

Tak tinggal diam, Dika pun berkomentar homoseksual adalah sesuatu yang alami dan merupakan pilihan. Dengan segenap keberanian, Dika membeberkan kalau ia adalah seorang homoseksual atau gay ke seluruh kelas. Seisi kelas kaget bahkan ada yang bisik-bisik.Setelah itu, di luar dugaan, tak ada diskriminasi yang diterimanya dari seisi kelas.

Keluarga Dika tak ada yang tahu tentang hal ini, hanya adiknya yang tahu karena mereka tinggal bersama di Medan sedangkan keluarga lainnya di kampung, Bagan Batu.Saat itu adiknya masih SMA. Untuk memberitahu adiknya ia memasang strategi khusus. Ia mencari buku-buku yang berhubungan dengan lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual, dan questioning (LGBTIQ) dan disebar di kos-nya. Adiknya mulai membaca buku-buku tersebut.Walaupun adiknya merasa enggan, tapi Dika menyuruh adiknya untuk membacanya saja. Mulai dari situ, ia tak langsung memberitahuadiknya. Ia pasang strategi selanjutnya. Setiap skype-an dengan pemuda yang sudah dipacarinya selama tujuh bulan di Jakarta, Dika selalu membiarkan laptopnya terpampang. Agar adiknya sadar, hingga melihat dan bingung.

“Kok abang skype-an sama cowok?”

“Iya, dia pacar abang.”

“Berarti abang suka sama cowok?” kata Dika menirukan adiknya ketika itu.

“Iya,” kata Dika, membenarkan.

Dika mendapat pengertiandan pemakluman dari adiknya,buku-buku yang sudah dilahap adiknya, membuat ia paham abangnya sama dengan orang lain. “Bahkan sekarang jadi teman curhat aku,” katanya sambil tertawa.

Ia juga berkisah tentang beberapa teman yang ia punya. Ia bilang, kebanyakan teman-teman LGBTIQ yang dikenalnya di USU cenderung tertutup dan tidak terbuka. Padahal, ia punya teman-teman LGBTIQ di setiap fakultas. “Tapi kayaknya enggak ada yang terbuka kalilah.Mereka cuma cerita ke orang-orang tertentu aja,” tambah Dika.

Terkait LGBTIQ, Meutia Nauly, psikolog yang juga Ketua Departemen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi mengatakan itu bukan gangguan mental. LGBTIQ merupakan naluri atau orientasi yang berbeda dalam diri seseorang dan LGBTIQ adalah orientasi seksual yang merupakan hak setiap orang, sesuatu yang terkait dengan kromosom dan hormon.

Lina Sundarwaty, seorang sosiolog memandang dari perilakunya, positif atau negatif sikap LGBTIQ ini tergantung dari konstruksi sosial dan orientasi pribadi mereka. Jika dikonstruksi negatif secara berlebihan, maka mereka akan menganggap segala yang mereka lakukan tetap dipandang negatif.

Hasilnya mereka membuat komunitas dengan kultur, norma dan perlakuan sendiri dan kemudian meminta pengakuan, baik secara informal maupun formal yakni perlindungan secara hukum. “Tujuannya untuk merombak pelabelan masyarakat dengan mengabsahkan keberadaannya jadi tidak dianggap menyimpang,” jelasnya.Atau secara positif yakni melakukan aktivitas-aktivitas positif sebagai pembuktian bahwa mereka tak seburuk yang masyarakat kira.

Sebaliknya, bagi masyarakat yang mengagungkan hak asasi manusia, LGBTIQ hal yang wajar dan merupakan hak individu.Semua konseptual yang secara sosiologi tidak bisa ditentukan.“Tapi realitasnya masyarakat punya nilai. Acuannya adalah norma yang ada pada masyarakat,” ungkapnya.

***

Tahun 2011 silam, Dika mengikuti sebuah pelatihan tentang pluralisme.Pelatihan tersebut digagas oleh sebuah Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM) bernama Aliansi Sumut Bersatu (ASB).Di dalam pelatihan itu Dika diedukasi tentang keberagaman yang ada di Indonesia.Tentang diskriminasi yang dialami perempuan, kelompok agama minoritas, dan LGBTIQ.

Beberapa hari mengikuti pelatihan tersebut, Dika kian tertarik mengenai isu pluralisme. Singkat cerita, akhirnya ia bergabung denganASB dan terjun menjadi aktivis. Kini ia menjadi volunteer Bagian Advokasi dan Penelitian.

ASB sendiri adalah sebuah LSM yang bergerak untuk mengadvokasi dan mengampanyekan kasus-kasus diskriminasi yang ada di Medan. Mereka sering mengadakan pelatihan-pelatihan dan seminar edukasi terkait perihal tersebut. Tujuannya agar masyarakat lebih mengerti masalah-masalah pluralisme tersebut dan mulai bersikap tidak diskriminatif pada kaum minoritas.

Salah satu program yang pernah mereka buat adalah membentuk kelompok diskusi. Namanya Rumah Belajar Pluralisme. Selain diskusi, mereka sering mengadakan nonton bersama dan bedah film sembari menyelipkan pesan-pesan moral mengenai pluralisme.

Orang-orang yang tergabung dalam kelompok diskusi tersebut hanya diisi oleh kaum LGBTIQ. Tak ada feminis, ataupun orang-orang beragama minoritas.Jadilah mereka lebih mengerucutkan pembahasan mengenai hak-hak LGBTIQ. Namun, menurutnya tidak ada hasil yang menonjol.

Sepemahaman Dika, ia menilai hal ini disebabkan karena tidak adanya penolakan yang terlalu terasa di Medan.Pasalnya, LGBTIQ yang ada di Medan tidak termasuk ke dalam LGBTIQ dengan tingkat radikal. “Jadi sebenarnya ada tiga tingkat kesadaran LGBTIQ,” ungkap Dika.

Pertama adalah magis. Tipikal ini adalah LGBTIQ yang masih bingung dengan identitasnya. Mereka masih terjebak dengan stigma masyarakat yang menganggap LGBTIQ bukanlah suatu hal yang wajar. Kedua, naïf, yakniLGBTIQ yang sebenarnya telah mengakui identitasnya namun tidak terlalu peduli pandangan masyarakat sekitar. Sementara yang ketiga adalah radikal, yakni kaum minoritas yang sadar bahwa mereka punya hak yang sama dengan mayoritas dan berusaha menyuarakan tindakan-tindakan diskriminatif yang mereka rasakan.

Ilustrasi: Yanti Nuraya Situmorang
Ilustrasi: Yanti Nuraya Situmorang

“LGBTIQ di Medan adalah orang-orang di tingkat kesadaran yang pertama dan kedua. Sehingga masyarakat di sekitar mereka tidak terlalu menampakan penolakan seperti di kota-kota besar pada umumnya,” kata Dika.

Dika yang telah terbuka tentang identitasnya sebagai gay merasa penerimaan terhadap LGBTIQ harus dimulai dari keluarga dan masyarakat sekitar.

“Yang menjadi tujuan ASB bukanlah membenarkan keberadaan LGBTIQ.Karena, benar atau salah itu relatif.ASB hanya ingin menyadarkan masyarakat bahwa kaum-kaum minoritas itu sebenarnya punya hak yang sama dengan masyarakat umum,” papar Dika.

Sebenarnya menurut Dika, adalah penting untuk para LGBTIQ memahami dirinya sendiri lebih dulu. “Istilahnya coming in, terbuka pada diri sendiri lebih dulu,” ungkapnya. “Kasarnya, kalau dia udah coming in, kapan pun coming out-nya enggak masalah.Kalau udah ngerasa mapan, pasti dia lebih terbuka.”

Pasalnya, ketika seorang LGBTIQ masih tidak yakin pada dirinya dan belum comingin, hal ini dapat menyebabkan tindakan menjurus kriminal.“Misalnya ada seseorang yang masih belum coming in, lantas dia disuruh keluarganya menikah. Sementara dia tidak bahagia dengan pernikahannya dan akhirnya bunuh diri,” kata Dika.

Lina mengatakan penerimaan lingkungan terhadap LGBTIQ dipandang dari dua sisi. Dari sisi humanis, mereka juga punya hak hidup hingga harus diperlakukan sama. Begitu juga dalam hal bekerja.Jangan sampai mereka kehilangan ruang untuk dapat pekerjaan yang wajar.Ketakutannya mereka beralih ke pekerjaan yang haram. Mereka tetap manusia yang jika didiskriminasi akan semakin memberontak. Dan jika diperlakukan wajar, mungkin akan tumbuh kesadaran. “Tapi, LGBTIQ juga harus beradaptasi dengan masyarakat luas,” ungkapnya.

Mutia menambahkan setiap orang dalam bermasyarakat terutama kaum LGBTIQ harus diterima dan dihargai sejauh mereka tidak melanggar hukum yang berlaku.“Jangan didiskriminasi, itu hak dia. Kalau sopan, kok harus dipinggirkan,” ucapnya.

 

Laporan ini dimuat dalam Tabloid SUARA USU Edisi 92 yang terbit April 2013.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus