Oleh: Andika Syahputra
Sudah sepuluh menit kami di sini. Teriakan ayah memenuhi seisi ruangan, memaksa kami menggerakan tubuh untuk bersembunyi di sini. Kami merapatkan tubuh di balik kaki-kaki kursi yang mengelilingi meja makan. Ketakutan. Aku tak bisa berpikir apa-apa. Satu yang pasti, aku harus bersembunyi di sini dengan abangku sampai kami menerima sinyal dari ayah untuk ke luar.
Sepuluh menit yang lalu bunyi tembakan peluru tiba-tiba meletus di luar sana. Terbang ke sana ke mari menuju tempat yang tak berarah. Menghancurkan jendela, pintu, dinding, dan kursi yang ada di halaman depan rumah susun ini. Manusia-manusia berkepala botak itu menembak dari atas mobil militer mereka. Dengan bengis mereka menembak gedung-gedung yang ada di wilayah ini. Mereka tertawa dengan keras, entah untuk apa aku tak mengerti. Ayah langsung mengambil AK-47 yang disimpannya di atas lemari pakaian. Mengisinya dengan dua magazen berisi penuh. Aku tahu ayah sebenarnya orang yang penakut, terutama kepada ibu. Tapi ketika datang saat-saat seperti ini, dia berani mati untuk melindungi kami.
Sebulan yang lalu kami masih merasakan ketenangan. Tak ada yang panik dan lari ketakutan di jalan. Sebulan tanpa diktator yang berbuat semaunya. Tak ada pemerintah yang saling berebut tanah sengketa. Tak ada yang terbunuh. Semuanya terasa aman dan nyaman
Suara bising peluru-peluru mengagetkanku, memaksa tanganku untuk menutup telinga. Tapi itu tak cukup. Teriakan abangku tetap masuk menerobos melalui sela-sela jari tanganku yang menempel di kuping. Dia yang mengidap autisme terus menerus berteriak sedari tadi. Aku bingung, harus menenangkannya atau tetap menutup kuping.
“Diam, bang! Tenang, tenang..!!” teriakku.
Dia tetap menjerit, bahkan makin kuat. Dia memukul-mukul tubuhku yang mencoba menenangkannya. Sebenarnya, aku kasihan melihatnya. Dia yang empat tahun lebih tua dariku tak bisa mengekspresikan perasaannya melalui kata-kata, hanya bisa berteriak, meronta.
Tiba-tiba dia mendorong tubuhku, memaksa keluar dari tempat kami berlindung. Berlari menuju ruang TV di mana ayah bersiaga di bawah jendela. Awalnya aku mengira dia hendak berlari menuju ayah, tapi ternyata tidak. Dia terus berlari menuju ke pintu keluar. Aku bingung,harus mengejar atau tetap bersembunyi. Kemudian aku memutuskanuntuk mengejarnya. Membayangkan prajurit tak berbelas kasihan itu menambah rasa takutku bila abang terluka nanti. Aku berlari melewati ruang TV, tapi kali ini ayah menyadari keberadaanku yang hendak keluar dari rumah.
“Hey, tetap di sana!!! Jangan keluar!!” teriak ayah sekuat tenaga. Mencoba mengalahkan bisingnya suara senjata di luar sana.
Tapi aku tak peduli. Di pikiranku sekarang adalah harus mengejar abang.Kutinggalkan rumah kami di lantai empat, menuruni tangga ke lantai tiga, mencari sosok abang yang lebih dahulu turun. Dia sudah hampir sampai di lantai dua, kupercepat langkah untuk mengejarnya.
Sesampainya di lantai satu, aku terus berlari di lorong. Dengan napas tersengal-sengal aku melihat ke ruangan yang ada di kiri-kanan lorong mencari keberadaan abangku. Kemudian pandanganku terfokuskan pada bayangan yang ada di pintu masuk rumah susun ini. Aku langsung berlari menuju bayangan itu.
Ternyata benar, itu abangku! Dia berhenti berlari. Tetap dengan kedua tangan di kuping, ia terus berteriak. Suara tembakan yang semakin kuat di luar sana membuatnya semakin panik. Aku berteriak memanggilnya, tapi ia tak menoleh. Kemudian dia bergerak, bukan masuk ke dalam, dia malah berjalan ke luar pintu. Aku pun ikut bertambah panik, berlari sekencangnya menuju pintu masuk.
Setiba di pintu, aku berhenti. Aku melirik ke kanan, berharap abangku belum jauh beranjak. Sosoknya tertangkap oleh mataku. Dengan terhuyung dia berjalan tak keruan.
“Bang, berhenti!” teriakku.
Tiba-tiba sebuah peluru mengarah kepadanya. Peluru itu tepat mendaratdi kepalanya. 13 cm dari mata kirinya. Kemudian ia terjatuh tak sadarkan diri. Aku terkejut menyadari abangku baru saja meninggal tepat di hadapanku.
Batinku berteriak. Keajadian mengerikan itu masih belum diterima akal pikiranku. Abang yang selalu menjadi teman bermainku baru saja meninggal. Mataku terpaku saat menyadari sesuatu yang sedari tadi dipegang abang, buku yang selalu dibanggakannya. Sebuah buku kecil bersampul plastik biru yang lusuh dan koyak di ujung kiri bawah. Di halaman paling belakang dia menulis sebuah kutipan.
“Ketika para penguasa saling bertaruh di atas sebuah peperangan, warga miskin lah yang akan mati.”