Oleh: Aulia Adam
Judul | : The Giver |
Sutradara | : Phillip Noyce |
Naskah | : Michael Mitnick, Robert B Weide |
Pemain | : Brenton Thwaites, Jeff Bridges, Meryl Streep, Katie Holmes |
Tahun Rilis | : 2014 |
Ada Jeff Bridges, Meryl Streep, Katie Holmes, dan Taylor Swift. Tapi nama-nama ini tak akan mengalihkan perhatian Anda dari jalur cerita yang unik dan menarik.
Bayangkan sebuah tempat tanpa warna. Tanpa perbedaan. Tanpa kekerasan. Tanpa konflik. Ada manusia, tapi hidup mereka damai. Saling mengerti, saling percaya, dan tak ada yang berbohong sekali pun.
Di sanalah Jonas (Brenton Thwaites) hidup. Ia remaja tujuh belas tahun yang tak punya nama belakang. Sama seperti penduduk di kotanya. Mereka semua hidup dengan segala tetek-bengek aturan yang mewujudkan kedamaian dan kesamaan penduduknya: bijak berdiksi saat bicara, tak keluar lewat dari jam malam, berpakaian sepantasnya, dan jangan lupa “injeksi pagi”-mu.
Peraturan-peraturan ini yang membuat mereka melihat dunia hanya dalam satu warna: abu-abu.
Tapi Jonas berbeda. Ia merasakan perbedaan itu. Kadang, ia melihat pohon yang tak abu-abu, atau rambut Fiona (Odeya Rush), teman kecilnya, juga tak abu-abu. Tapi ia tak mau berbeda. “Lagipula, di dunia yang seluruhnya sama, kenapa harus ada yang berbeda?” kata Jonas di pembuka film.
Meski bisa melihat sesuatu selain abu-abu, sayangnya Jonas belum mengenal warna. Banyak hal dari masa lalu yang telah dihapus untuk menerapkan kedamaian dan kesamaan di kota itu. Selain warna, sejumlah kata juga dihapus.
Semuanya diatur oleh The Elders atau Para Tetua. Merekalah yang menyusun rutinitas kota dan menjaga kestabilan. Rupa-rupanya, untuk mewujudkan dunia yang benar-benar damai dan berdasarkan kesetaraan, ada banyak hal dari masa sekarang yang harus dinamai ulang. Tentu hal ini jadi lebih mudah saat semua memori telah dihapus.
Misalnya istilah ‘pelepasan’ di kota itu yang sebenarnya punya sinonim dengan euthanasia atau suntik mati di masa kini.
Selain menamai ulang banyak hal, mereka juga menciptakan stigma-stigma baru yang berujung membentuk simulacra. Sekali lagi, tentu saja hal ini untuk menciptakan dunia yang damai dan setara.
Simulacra adalah istilah yang ditemukan sosiolog Jean Baudrillard. Artinya, realitas tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya. Dengan kata lain, realitas sesungguhnya sudah dibelokkan dan kemudian benar-benar ditutup dari acuannya. Tapi, realitas ini belum sepenuhnya sempurna dikatakan sebagai sebuah realitas karena hubungan timbal balik belum terjadi.
Di celah itulah pekerjaan Penerima Kenangan hadir. Dan sialnya, Jonas terlahir untuk pekerjaan itu.
Penerima Kenangan adalah orang yang harus menerima kenangan-kenangan dari masa lalu, yang diterima dari Penerima Kenangan sebelumnya. Para Tetua tetap membutuhkan Penerima Kenangan untuk membuat suatu kebijakan baru, demi menjaga kedamaian dan kesetaraan.
Di saat itulah Jonas dipertemukan dengan The Giver, Penerima Kenangan sebelum Jonas. Dan ia menemukan fakta-fakta sejarah yang dihapus dari kotanya.
Jonas melihat proses melahirkan, orang-orang beribadah haji, menyembah Tuhan, gajah ditembak mati, perang, kelaparan, salju, dan kebengisan manusia lainnya. Sesuatu yang tak diketahui seorang pun di kotanya bila bukan Penerima Kenangan.
Jonas juga mulai mengerti kenapa Para Tetua menerapkan aturan-aturan tersebut. Tapi karena telah melihat dunia yang sebenarnya tak sesempit kotanya, Jonas mulai mengerti bahwa ‘pelepasan’, salah satu kebijakan yang diciptakan Para Tetua, adalah pembunuhan. Dan membunuh bukanlah hal yang baik.
Alur cerita film ini memang rumit sejak awal. Dunia rekaan Lois Lowry, penulis novelnya yang diadaptasi jadi film ini, memang berbeda sekali dengan dunia kita. Tapi, sutradara Phillip Noyce berhasil membuatnya gampang dicerna.
Pertama, ia menggunakan efek abu-abu di awal film diputar, agar penonton bisa merasakan betapa monotonnya dunia yang sedang dijalani Jonas dan komunitasnya. Lalu, Noyce mendekorasi semua penampakan di filmnya dengan benda-benda yang terlihat futuristik. Sehingga kita sadar, kalau lokasi dalam film itu pastilah terjadi puluhan bahkan mungkin ratusan tahun setelah masa sekarang. Sehingga kita lebih mudah mencerna alur cerita.
Bisa dibilang, Noyce berhasil menerjemahkan dunia utopis rekaan Lowry yang penuh dengan nilai-nilai filosofis. Nilai-nilai yang membuatmu bertanya-tanya tentang dunia kita sekarang, dan mau tak mau membandingkannya dengan simulacra dunia tanpa konflik milik Jonas dan komunitasnya.
Kehadiran aktor-aktor kondang seperti Jeff Bridgess, Meryl Streep, dan Katie Holmes tak lagi jadi fokus Anda saat menonton.
Simulacra dunia tanpa konflik ini akan membuat kita berpikir, haruskah kita mengorbankan satu nyawa atau mungkin satu kata saja untuk dilenyapkan, demi mengejar kehidupan yang sempurna, damai, dan setara?