Oleh: Aulia Adam
Satu-satunya peninggalan Kesultanan Langkat membuat namanya tetap tersohor hingga kini. Selain menjadi tempat berwisata rohani, Masjid Azizi juga menyediakan hikayat sejarah yang menarik.
“Sudah mau zuhur, kita shalat dimana, Yah?” tanya Elyani pada suaminya yang sedang menyetir mobil.
“Masjid Azizi ajalah nanti. Udah dekat kok,” jawab suaminya.
Keluarga Elyani sedang dalam perjalanan dari Pangkalan Susu, Brandan, Langkat menuju rumah mereka di Binjai. Kala itu adalah hari ketiga lebaran, 3 Syawal 1434 Hijriah, 10 Agustus lalu. Meraka baru saja pulang bertandang dari rumah keluarga, silaturahmi khas awal Syawal.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore kurang sedikit. Masjid terdekat memang hanya Masjid Azizi. Bagi Ely, hari itu memang bukan kali pertama ia singgah di Masjid tersebut. Punya suami yang berdarah asli Melayu membuat Ely tak asing dengan satu-satunya masjid peninggalan Kesultanan Langkat tersebut. Tapi baru kali ini ia tahu sejarah asli si Masjid.
Siang itu Masjid sepi. Untuk ukuran dan namanya yang tenar, Azizi hanya dikunjungi beberapa keluarga untuk numpang menunaikan zuhur. Jalanan Tanjung Pura memang agak sepi hari itu. Padahal ia adalah jalur lintas yang menghubungkan Sumatera Utara dan Aceh.
Meski begitu, beberapa pengurus kenaziran masjid setia di sana. Salah satunya Zulkarnaen. Ialah yang tak sengaja bertemu keluarga Ely. Tak dinyana mereka punya hubungan kekerabatan, meski kelampau jauh. Melalui Zul, sapaan sehari-harinya, Ely jadi paham sejarah si Masjid.
Masjid Azizi dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah. Sekitar periode 1897-1927. Ia diresmikan pada tanggal 12 Rabiul Awal 1320 Hijriah atau bertepatan dengan 13 Juni 1902.
Diceritakan Zul, Sultan Abdul Aziz kala itu merasa perlu meningkatkan rasa nasionalisme rakyatnya yang ikut bertarung melawan penjajahan Belanda. Ia dan kesultanannya yang menganut agama Islam merasa perlu membangun sebuah masjid yang dapat mempersatukan umat sekaligus menunjukan keterbukaan Melayu Islam pada masa itu.
Ia menanamkan konsep pembangunan dengan memadukan lima unsur kekuatan sebagai filosofinya yaitu kekuatan umara, kekuatan ulama, kekuatan cerdik pandai (zuamah), kekuatan orang kaya harta (aghniyah) dan kekuatan do’a (fukara).
Maka dibangunlah Masjid tersebut di atas tanah seluas 18 ribu meter persegi. Seperti tujuan awalnya, bangunan masjid dibuat dari berbagai gabungan budaya, suku dan ras. Ornamen-ornamen mozaik dan batu pualam yang dipesan bernuansa Timur Tengah digabungkan dengan corak Melayu sendiri. Ada pula liukan-liukan khas Persia dan Tiongkok. Persia pada dinding-dinding masjid sementara Tiongkok pada pintu-pintu masjid.
Masjid Azizi memiliki sembilan kubah kecil dan satu kubah besar yang diciptakan dari kombinasi budaya Timur Tengah dan India. Bagian dalamnya membentuk segisembilan dengan sejumlah tiang yang menjulang tinggi. Semuanya dibangun oleh arsitek berkebangsaan Jerman yang Zul tak ketahui namanya.
Zul menambahkan, kebanyakan pekerjanya pada saat itu adalah orang-orang Tionghoa sementara bahan bangungan didatangkan dari Penang, Malaysia dan Singapura. “Dulu pakai kapal tongkang. Dulu jalur yang dipakai ya jalur perairan. Lewat sungai Batang Serangan itulah mereka bawanya,” jelas Zul.
Kata Zul, Masjid Azizi dibangun selama 18 bulan dengan biaya 200 ribu Ringgit Malaysia. Oleh karena itu, banyak pelancong dari negara-negara serumpun yang sering plesir ke Masjid Azizi. Dari Singapura, Brunei Darussalam dan seperti Puan Melati Dewi yang jauh-jauh diboyong suaminya dari Malaysia. Mereka sedang berlebaran ke rumah saudara di desa Besilam.
Puan bilang ia penasaran dengan Masjid Azizi yang punya kembaran di Kedah, Malaysia. Kembarannya bernama Masjid Zahir. Tapi Puan tak tahu kenapa bentuk kedu masjid tersebut begitu serupa. “Cuma warnanya lah yang sedikit berbeza,” katanya.
Kalau menurut Zul, hal tersebut dikarenakan dahulu kala Kesultanan Langkat pernah berbesanan dengan Kesultanan yang ada di Kedah. Hal tersebut pula yang menjadi alasan mengapa arsitektural Masjid Azizi juga sebelas-dua belas dengan Masjid Al-Osmani di Medan Labuhan.
Di samping kiri masjid terdapat ratusan makam. Di antaranya makam pahlawan Langkat yang masih berdarah Sultan, Tengku Harun Azis Bin Sultan Abdul Aziz Abdul Djalil Rachmad Syah, Tengku Abdurrahman, Tengku Soelaiman Bin Tengku Syahruddin Bin Tengku Al Haj Aminulah, Tengku Rusian Bin Ahmad Alfathiha dan Pahlawan Nasional Tengku Amir Hamzah.
Di antara makam-makam tersebut dan pelataran kiri masjid pun terdapat tiga makam Kesultanan Langkat yang memerintah kala itu. Ialah Tengku Sultan Musa, Tengku Sultan Abdul Aziz dan Tengku Sultan Mahmud yang dikelilingi makam anak dan cucunya. Semua makam tersebut dipagari tembok tinggi.
Masjid Azizi juga memilik menara setinggi sekitar 60-an meter di sebelah kirinya. Tepat di dekat gedung Balai Pustaka Tengku Amir Hamzah yang sengaja dibangun di pelataran masjid.
Kemegahan masjid yang ternyata punya sejarah unik menambah wawasan Ely dalam wisata rohaninya kala itu. “Seperti menyelam minum air. Selain berwisata rohani, memperkaya wawasan pula dengan cerita-cerita nenek moyang satu suku,” ujarnya sambil tersenyum.