Oleh: Rosinda Simanullang
“Kalau disebut pencemaran nama baik, nama baik siapa yang dicemarkan?” Pungkas Mulyadi.
Konten kritik terhadap Provinsi Lampung yang diposting pada 8 April 2023 oleh akun tiktok @awbimaxreborn akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di media. Konten kritik yang dipresentasikan Bima Yudho tersebut ramai diperbincangkan yang pada kolom komentar didominasi dengan dukungan netizen, khususnya masyarakat Lampung.
Dalam vidio berdurasi 3 menit 38 detik itu, hanya satu frasa yang membuatnya dilaporkan melakukan pencemaran nama baik; Lampung Dajjal. Bima Yudho dalam video mengatakan, “Gue berasal dari provinsi yang satu ini, Dajjal.” Sambil menunjuk layar laptop yang menampilkan peta Provinsi Lampung. Kata dajjal tersebut dijadikan dasar laporan atas dugaan ujaran kebencian yang berkenaan dengan Pasal 28 Ayat (2) dan atau Pasal 45A Ayat (2) tentang UU ITE.
Lantas apakah frasa ‘Lampung Dajjal’ dapat dikategorikan ke dalam ujaran kebencian sesuai dengan UU ITE?
Ahli Bahasa USU, Mulyadi pun angkat bicara dengan analisis secara semantis. Beliau menyebutkan bahwa frasa ‘Lampung Dajjal’ tidak bisa diartikan secara harafiah.
Berangkat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa dajjal adalah setan yang datang ke dunia apabila kiamat sudah dekat (berupa raksasa). Lebih spesifik, Mulyadi menjelaskan bahwa dajjal merupakan mahluk yang paling ditakuti karena datang pada hari kiamat.
Lebih lanjut, ia mengatakan frasa ‘Lampung Dajjal’ tersebut tidak mengacu pada orang-orang tertentu karena Lampung merupakan sebuah provinsi. Kalau dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, tidak ada nama yang tercemar, “Karena itu menyangkut institusi bukan pribadi,” ujarnya.
Maka menurut Mulyadi, ungkapan Bima Yudho tersebut digunakan untuk menjelaskan bahwa kondisi Lampung dalam keadaan porak-poranda. Ia menambahkan bahwa konteks yang digunakan Bima adalah menjelaskan bagaimana infrastruktur di Lampung yang hancur lebur terutama jalan, “Jadi muncullah istilah Lampung dajjal,”.
Mulyadi meluruskan hal ini secara semantis bahwa Lampung Dajjal tidak dapat dikategorikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik karena interpretasi itu kurang tepat. Dia mengatakan bahwa kata Lampung Dajjal itu secara harfiah merupakan makna secara konotatif. Untuk menjelaskan keadaan Lampung sekarang terutama infastrukturnya dalam keadaan hancur.
Mulyadi pun menyinggung dua pasal yang menyangkut UU ITE dengan UU kekebasan berekspresi yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menilik kasus-kasus di Indonesia yang acapkali berbenturan dengan kedua pasal di atas menimbulkan prespektif buruk masyarakat terhadap UU sehingga seringkali disebut sebagai pasal karet, khususnya pada kasus Bima Yudho ini.
Guru besar sekaligus dosen linguistik di Fakultas Ilmu Budaya itu membenarkan bahwa UU ITE banyak disebut pasal-pasal subjektif, “Bahasa trennya ‘pasal karet’.” Karenanya sudah ada pembahasan di tingkat kementerian, Menteri Hukum, HAM, Kepolisian, dan Kominfo dengan membatasi penerapan pasal-pasal tersebut.
“Tidak bisa kasus pencemaran nama baik langsung dilaporkan ke polisi, harus ada pertemuan dulu sebagai upaya mediasi. Kalau kedua belah pihak yang dimediasi tidak menemukan jalan keluar maka akan diproses,” jelasnya.
Ia memberikan sebuah gambaran seseorang yang terbukti melakukan korupsi yang bahkan sudah masuk penjara dicap atau disebut sebagai mantan narapidana. Hal ini tidak bisa disebut pencemaran nama baik karena merupakan sebuah fakta. Berlanjut ia menjelaskan; tetapi jika seseorang tidak melakukan korupsi dituduh korupsi maka ia bisa menuntut pencemaran nama baik.
Beralih lagi pada kasus Bima yang disebutnya sebagai fakta, bukan asumsi karena berdasarkan data dan sesuai dengan kondisi lapangan.
“Kalau disebut pencemaran nama baik, nama baik siapa yang dicemarkan?” ujarnya.
Dalam UU ITE dikatakan setiap orang yang dituduh atau dianggap mencemarkan nama baik harus dia sendiri yang melaporkan. Namun, dalam kasus Bima yang melaporkan itu orang lain; seorang advokat bernama Ginda Ansori. “Bukan gubernurnya sendiri kalau gubernur tersebut merasa dicemarkan,” Tutupnya.