BOPM Wacana

Jahatnya Bahasa di Tangan Penguasa

Dark Mode | Moda Gelap
Foto: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Judul Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang bahasa dan kuasa
Penulis Joss Wibisono
Penerbit Tanda Baca
Tahun Terbit Maret 2020 (Cetakan Pertama)
Tebal viv + 146 halaman

Bahasa dibahas oleh ahli bahasa? Tak ada yang spesial rasanya. Namun, apa jadinya jika bahasa dibahas oleh ahli politik?

Dalam cuitannya di Twitter, Sastrawan Okky Madasari pernah berkata: “Tahukah kamu bahwa ketidakadilan, intoleransi, diskriminasi semuanya dimulai dari bahasa?”

Argumen yang sangat menarik. Namun, saat itu saya masih tak habis pikir: apa hubungan antara bahasa dengan ketidakadilan, intoleransi, dan diskriminasi? Beruntung, kebingungan itu sempat saya tanyakan langsung kepada Ahli Bahasa USU, Mulyadi. Tapi jawabannya malah buat saya makin resah.

Menurut Mulyadi, bahasa harus dilihat sebagai hasil pemikiran masyarakat. Artinya, negatif-positifnya bahasa sudah ditentukan terlebih dahulu di alam pikir manusia.

Lantas, kini kita punya sebuah lingkaran setan: pemikiran negatif manusia membentuk bahasa; bahasa yang dibentuk dari pemikiran negatif manusia kemudian menghasilkan ketidakdilan, intoleransi, dan diskriminasi; ketidakdilan, intoleransi, dan diskriminasi itu sendiri membuat pemikiran manusia terus-menerus negatif.

Yang masih jadi pertanyaan besar: siapa yang salah di sini? Bahasa? Pemikiran manusia? Atau malah ketidakadilan, intoleransi, dan diskriminasi? Masalahnya, mereka saling berkaitan satu sama lain. Artinya: tak ada yang bisa disalahkan.

Untungnya—di tengah kebingungan, saya ketemu buku Maksud Politik Jahat dari Joss Wibisono. Dalam buku itulah saya ketemu satu variabel yang terlupakan: kekuasaan! Ya, kekuasaanlah yang seringkali buat bahasa jadi jahat, yang akhirnya menghasilkan ketidakadilan, intoleransi, dan diskriminasi. Bentuk-bentuk ketidakadilan itu sendiri buat pemikiran manusia jadi negatif.

Kuasa dan bahasa memang jadi tema utama buku Maksud Politik Jahat. Menariknya—dalam membahas dua hal itu, Joss mendaur ulang pemikiran Benedict Anderson, seorang pakar politik dunia. Sebagai pakar politik, Ben Anderson tak melihat bahasa dari segi ilmu bahasa, melainkan lebih dari aspek sosial dan politik. Inilah yang buat pemikirannya unik dan menarik.

Misalnya, saat membahas perkembangan bahasa Indonesia. Kita mungkin tak pernah mendengar—atau bahkan mengira—bahwa perintis bahasa Indonesia adalah para pendatang keturunan Tionghoa. Namun, begitulah klaim Ben Anderson.

Hal ini terkait sejarah kapitalisme cetak di Indonesia. Sejak teknologi percetakan masuk ke Hindia, kebanyakan percetakan berada di tangan para pendatang keturunan Tionghoa. Sejak 1880an—saat masyarakat Hindia masih sibuk menggunakan bahasa daerah masing-masing, para penulis Tionghoa sudah menggunakan dan mempromosikan bahasa Melayu rendah di berbagai koran, buku, dan publikasi cetak lainnya.

Namun, mengapa sejarah penting itu tak banyak diketahui orang Indonesia? Menurut Ben Anderson, tak lain itu adalah ulah Belanda si penjajah. Lewat politik bahasanya, Belanda memberlakukan ejaan Van Ophuysen pada 1901 yang penggunaanya diawasi Balai Pustaka, sehingga tersingkirlah bahasa Melayu tanpa aturan yang pertama kali digunakan kalangan penulis Tionghoa. Peran mereka sebagai perintis bahasa pemersatu bangsa pun seakan tak pernah ada.

Selain itu, ada pembahasan menarik lainnya mengenai penolakan Ben Anderson dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Bagi saya—sebagai orang yang sejak lahir sudah menggunakan EYD, bagian ini jadi pembahasan paling menarik sekaligus menohok.

Menurut Ben Anderson, peralihan bahasa dari ejaan Suwandi ke EYD sama dengan penghapusan sejarah. Melalui kebijakan itu, Orde Baru telah membuat garis pembatas antara apa yang diboleh dibaca (tulisan masa Orde Baru) dan apa yang tak boleh dibaca (tulisan masa sebelumnya). Seperti yang ditulis Ben Anderson—dan dikutip Joss:
“Hanya dengan membaca judul sebuah buku atau pamflet, seseorang bisa tahu apakah itu terbitan modern atau sisa-sisa zaman Sukarno, zaman Demokrasi Parlementer, zaman Revolusi, atau zaman kolonial. Siapa saja yang berminat pada buku-buku yang ditulis dalam ejaan lama langsung dicurigai.

“Perubahan itu cukup besar sehingga generasi muda gampang dibujuk bahwa cetakan “lama” terlalu sulit dipahami, jadi jangan dipedulikan. Alhasil lahirlah semacam penghapusan sejarah, sehingga pengetahuan generasi muda terhadap sejarah Indonesia sebagian besar hanya berasal dari penerbitan Orde Baru, khususnya buku pelajaran sekolah.”

Analisis Ben Anderson ini benar-benar menohok karena apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi kepada saya—sebagai salah satu generasi muda yang dimaksud. Semakin menohok lagi karena khusus bab pembahasan EYD ini, Joss sengaja menggunakan ejaan Suwandi dalam penulisannya.

Selain itu, masih ada beberapa pemikiran Ben Anderson tentang kuasa dan bahasa yang dibahas Joss, seperti: politik nobel sastra dan politik terjemahan. Namun, saya tak akan membahas semua di sini. Yang jelas: pembahasannya tak kalah menarik.

Secara keseluruhan, buku ini memang memikat. Maksud Politik Jahat akan memberikan banyak perspektif baru kepada pembacanya—setidaknya bagi yang masih awam tentang hubungan antara kuasa dengan bahasa.

Analisis Ben Anderson yang dikenal unik dan orisinal memang sangat layak dibaca. Apalagi ia juga sangat dekat dengan Indonesia. Selama 1961-1964, ia pernah tinggal di Indonesia. Tulisannya tentang Indonesia juga tak bisa dibilang sedikit. Bahkan—menurut Joss, Indonesia adalah cinta pertama Ben Anderson. Tak heran memang, mengapa akhirnya banyak contoh kasus penelitiannya diambil dari Indonesia.

Joss—sebagai salah satu sahabat dekat Ben (diceritakan dalam buku)—juga sukses memaparkan berbagai gagasan Indonesianis kebangsaan Irlandia itu dengan rapi, ringan, dan enak dibaca. Bagi yang belum pernah baca buku-buku Ben Anderson, Maksud Politik Jahat juga sangat cocok jadi buku pengantar.

Oleh karena itu, saya sangat merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang tertarik pada masalah kebahasaan, sejarah Indonesia, dan gagasan-gagasan Ben Anderson secara keseluruhan.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus