BOPM Wacana

Titik Nadir

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Rosinda Simanullang*

 

“Satu hal terburuk yang telah kuketahui, bahwa tidak ada hal yang lebih buruk dibanding kehilangan seseorang Ibu. Fakta yang membuatku tidak yakin bagaimana menjalani hidup setelah ini.”

Pagi yang menusuk, aku meringkuk di balik selimut tebal upaya mengurangi rasa  dingin yang begitu kuat merasuk dalam kulit tipisku. Pagiku diawali dengan tidak baik-baik  saja. Kram di perutku semakin menjadi-jadi dan ini akan menjadi permulaan hari yang buruk.  Tidak tahu sudah berapa jam aku berada di posisi ini sejak aku terjaga dari tidurku.  Bagaimana pun aku mencoba berusaha tidur lagi, agar saat sekolah nanti tidak mengantuk. 

Kudengar suara pintu kamar yang sengaja tidak aku kunci, terbuka perlahan dan  seseorang sedang naik ke kasurku. Dia, ibuku. Kupeluk ia erat sebagaimana dia memelukku terlebih dahulu.  

“Nggak sekolah kau, Boru?” tanyanya sembari menciumi puncak kepala dan pipiku. “Sekolah, Ma, sebentar lagi,” balasku, mengeratkan pelukan. 

Selang beberapa detik, aku pergi bersiap-siap. Kram di perutku sudah mulai reda, dan kalaupun belum reda seutuhnya aku harus tetap ke sekolah, mengingat sebentar lagi akan ujian, betapa ruginya jika ketinggalan pelajaran. 

Persiapan ke sekolah sudah selesai, aku menyalami kedua orang tuaku hendak pamit, seperti biasa aku menciumi pipi ayah dan ibu. Tak lupa dengan pesan mereka yang selalu mengingatkanku untuk bersekolah dengan baik. 

Ternyata ciuman itu tidak terlalu manjur untuk menceriakan hari-hariku seperti biasa.  Aku tidak tahu persis alasannya, dadaku rasanya ingin meledak, ada kegelisahan yang  merajalela.  

Hingga pelajaran pun tidak terlalu aku perhatikan sedari tadi, aku hanya duduk dengan  tatapan kosong. Jika kau pernah merasakan, rasanya jiwa seperti sedang melayang entah ke  mana tanpa tujuan, tidak membayangkan apa pun.  

Tidak tahu bagaimana waktu berjalan begitu cepat, hingga tiga mata pelajaran berlalu  begitu saja, aku bersyukur guru tidak terlalu memperhatikanku. Sepertinya, ini pertama kali aku tidak begitu antusias menyambut istirahat, aku memilih tetap duduk, menghiraukan  kegaduhan teman-teman yang bersemangat keluar dari ruangan.  

“Ros, kantin, yuk!” ajak temanku—Mei. Sebenarnya sejak tadi aku sangat lapar, tetapi  seleraku benar-benar tidak ada. Entahlah, aku tidak tahu alasannya. Aku masih sibuk dengan rasa yang ingin meledak di sini, di hatiku. Bukan perasaan bahagia atau perasaan sedih, sungguh, aku juga tidak tahu perasaan apa ini.  

“Nggak, Mei. Aku di kelas aja,” tolakku, lalu menenggelamkan kepala di antara lipatan kedua tangan yang bertumpu di atas meja kayu milik sekolah.  

“Yaudah, deh, aku nggak jadi jajan,” putusnya, lalu mengambil posisi duduk di  sebelahku. Bila biasanya hatiku akan tergerak saat seperti ini, tetapi berbeda untuk saat ini.  Aku sedang tidak ingin berbuat apa-apa. Biarkan orang menganggapku egois untuk sekali ini saja.  

Sedikit menjelaskan tentang diriku, namaku Rosinda Simanullang, biasa dipanggil Ros. Seorang gadis yang dikenal periang di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Saat  ini, aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Hanya tinggal hitungan bulan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.  

Aku sudah mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Rencananya aku akan melanjutkan studi di sebuah SMA RK yang cukup terkenal disiplin. Hanya saja jarak yang lumayan jauh  dan biaya yang cukup mahal, tetapi orang tuaku sudah berjanji akan menyekolahkan aku di sana. Buktinya, mereka sudah memilihkan kos, aku tidak mau tinggal di asrama yang peraturannya begitu ketat. Bahkan aku sudah cukup akrab dengan ibu pemilik kosnya. Sungguh, tidak sabar!  

Kring! Kring! Kring!  

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Waktunya masuk jam pelajaran keempat.  Seperti biasa, aku bangkit dari duduk, hendak pergi mengambil buku ke perpustakaan. Aku pergi bersama ketua kelas, ini sudah menjadi kewajiban kami berdua.  

Aku memegang beberapa buku paket, saat berada di depan  perpustakaan, seorang guru berlari ke arahku. Wajahnya begitu panik dan tanpa pikir panjang langsung menyuruhku pulang dengan alasan ibuku sakit.  Mendengar kata, ‘ibu sakit’ membuatku tak kuasa menahan bendungan di balik kelopak mataku yang memberontak ingin keluar. 

Tidak tahu lagi seperti apa bentuk beberapa buku yang aku jatuhkan berserakan di  lantai. Aku berlari sangat kencang ke arah gerbang sekolah. Tidak tahu harus menghampiri  siapa di sana, di benakku saat ini adalah, ‘Pulang!’ 

Dan, ya! Aku menemukan keberadaan tetanggaku di sana. Sepertinya dia yang disuruh untuk menjemputku. Aku langsung menaiki sepeda motornya.  

“Hey, tunggu sebentar, Nak,” ucap seorang guru memberhentikan kami. Dibawanya tas milikku.  

“Yang sabar, ya, Nak,” ucapnya menenangkanku. Diusapnya kepalaku untuk menyalurkan kekuatan, sungguh, dia sudah aku anggap sebagai ayah di sekolah.  

Nyetirnya pelan-pelan saja,” ucapnya pada tetanggaku.  

“Permisi, Pak,” ucapku menundukkan kepala, biasanya aku akan menampilkan senyumku walau dalam situasi apa pun, tetapi tidak untuk saat ini.  

Tetanggaku mengendarai dengan cukup pelan.  

“Bisakah, Kau bawa lebih cepat?!” pintaku tak sabar. Perasaanku saat ini sudah  sangat kacau, bahkan untuk bicara dengan nada lembut pun tidak ada lagi dalam pikiranku.  

Sepanjang perjalanan, banyak sekali pertanyaan dan dugaan-dugaan yang terlintas  di benakku. 

“Sepertinya, tadi pagi ibu baik-baik saja,” 

“Sesakit apa perasaan ibu saat ini?” 

“Kenapa aku harus pulang? Biasanya ibu tidak akan selemah ini,” 

“Ibu baik-baik saja! Dia sehat! Dia sedang menonton TV saat ini! Tidak ada hal buruk  yang terjadi!” 

“Atau ibu hanya demam biasa, aku bisa merawatnya! Aku bisa!” 

Pikiran-pikiran datang dan segera kutepikan pikiran buruk. Kata orang, kita harus  berpikir positif agar hal positif juga menghampiri kita. Baiklah, saat ini aku percaya hal itu.  Hanya ada hal positif yang akan terjadi padaku. Semuanya baik-baik saja. 

Ucapan-ucapan positif serta doa Salam Maria yang kupercaya mampu mengabulkan  permintaan, selalu aku gumamkan seiring tetes-tetes air mata yang membelah wajahku.  Berulang kali aku menyeka, tetapi tidak ada gunanya, air mata sialan ini selalu saya beruntun keluar. Sepertinya hari ini aku begitu cengeng. Mungkin saja karena sudah cukup lama sejak  terakhir kali aku menangis. Walau demikian, aku tetap berusaha berpikir positif walau  perasaan sesakku yang turut menentang pikiran baikku.  

“Kau hanya perlu berpikir positif, Ros!” gumamku, mengumpulkan kekuatan yang semakin menipis.  

Namun, apa ini? Bagaimana caranya menghindari perasaan sesak ini? Seseorang tolong jawab aku! Sebelumnya aku belum pernah merasakan ini, sungguh, perasaan yang  mengganggu!  

Sekitar lima puluh meter lagi untuk sampai ke rumah. Aku melihat banyak orang berlarian dengan ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Apakah hari ini hari yang sungguh kacau  bagi semua orang? Sepertinya bukan cuma aku yang sedih saat ini. Orang-orang ini juga tampaknya sedang tidak baik-baik saja. Tidak ingin memperdulikan mereka. Pikiran positifku kian semakin menipis saat kulihat ada kerumunan di rumahku. Apa yang terjadi?

Segera aku turun dari motor. Berlari sekuat tenaga, seiring air mataku yang kian  merembes begitu kuat. Semua orang tampaknya memberikan jalan untuk kulewati, tatapan  mereka seperti sedang mengasihaniku. “Hey! Aku tidak perlu dikasihani,” amukku dalam hati.  

Semuanya pupus sudah. Pertahankanku semakin hancur. Aku tidak tahu ini nyata  atau tidak. Rasanya dunia begitu berputar cepat hingga membuatku begitu linglung, begitu  sulit menjaga keseimbangan perasaan dan badan.  

Kulihat ayah yang terisak, memanggil-manggil ibu, serta orang-orang yang kian ikut  menangisinya. Kenapa semua orang bersikap begini? Jika ibu sakit, maka ayo segera kita  bawa ke rumah sakit, jangan di sini seperti orang gila!  

Segera aku terjatuh, kupeluk erat ibu, wajahku tenggelam dalam leher jenjangnya.  Dapat aku rasakan kulit ibu yang sedingin es.  

Aku sudah cukup dewasa untuk mengartikan isakan-isakan orang di sekitarku, dan  kebekuan tubuh ibuku di antara kerumunan orang ini, hanya saja aku tidak bisa menerimanya,  aku butuh penjelasan basa-basi yang mengulur waktu atau tolong, siapa pun hentikan waktu  ini, aku tidak ingin berada di sini, aku tidak ingin melihat situasi ini, aku tidak ingin mendengar  isakan tangis ini dan aku tidak ingin ikut melebur di dalamnya.  

Segera kutepis pikiran konyolku, tentu saja itu tidak akan terjadi. Aku benar-benar linglung dan tidak peduli dengan sekitar. Tangisku pecah begitu kuat mengisi seluruh ruangan. Ingin kuhabiskan sisa stok tenagaku untuk menangis, menangis, dan menangis. Berulang kali aku memanggil ibu, tetapi tidak ada sahutan sedikit pun dari orang yang kupanggil. 

Beberapa orang menarikku paksa untuk menjauh dari tubuh tak berdaya itu. Aku tidak  habis pikir dengan tindakan itu, apakah mereka tidak melihat ada seorang anak yang sedang kehilangan di sini? Kalau tidak, umpamakan saja aku dengan seekor anak ayam yang terjatuh di sebuah sumur di tengah hujan badai dan tidak ada induk yang menyahut  teriakan kecilnya, kalian pasti tersentuh, tetapi tidak benar-benar sedang terluka. Demikianlah aku, jika ada umpama yang lebih menyedihkan dari ini, anggap saja itu aku.  

Kupilih untuk menyumpah-serapahi orang-orang yang berusaha menarikku itu. Aku benar-benar kehilangan akal sehatku. Aku benci situasi ini. Semuanya seakan-akan hilang  dari dalam diriku.  

Ibuku masih begitu muda, kenapa Tuhan menjemputnya begitu dini? Dunia ini sangat  tidak adil! Bahkan jika aku diberikan pilihan. Aku akan memilih menggantikan posisi ibuku saat  ini. Banyak orang yang membutuhkan kasih sayangnya, ada empat anak yang harus ia urus. Dia lebih berharga dibanding diriku.  

“Sudah, Nak, yang sabar. Kita semua sama-sama kehilangan di sini, tapi mungkin inilah jalan terbaik buat ibumu, Tuhan lebih mencintai dia. Kau harus tetap kuat, kami yakin  kau anak yang kuat,” ucap seseorang yang tak kuhiraukan siapakah gerangan, tak ada waktu  memikirkannya bahkan mendengar nasehatnya yang bagaikan angin berlalu bagiku.  

“Sudah ya, Nak, kita harus segera mengganti pakaiannya, sebentar lagi orang-orang  akan semakin ramai.” Kembali lagi beberapa tangan berusaha menarikku menjauh, beberapa  kali aku berusaha menepisnya dengan tenaga yang tidak seberapa. Walau akhirnya aku tetap  juga berhasil ditarik menjauh dari ibu. Tubuhku sudah sangat lemah, tidak bisa melakukan perlawanan lagi. Aku pasrah begitu saja tanpa sedetik pun mataku terlepas dari ibu. 

Demikian dengan ayahku, aku melihat luka ternganga lebar di hati yang  terpampang jelas lewat wajah sayunya. Kupeluk dia erat, kami saling berbagi energi menguatkan yang sebenarnya tidak terlalu berguna. Dalam peluk yang sudah tidak  terasa hangat itu, kami meraung dalam kesesakan. Tak pernah kurasakan kehilangan yang  lebih sakit dari ini sebelumnya. Dan juga ayah, dia adalah salah satu orang yang paling terluka  di sini, tak perlu dipertanyakan lagi, itu sudah pasti. 

Aku melihat ibuku yang begitu kaku, pakaiannya diganti dengan kebaya kesukaannya,  bibirnya dipoles lipstik, serta wajah pucatnya yang mulai membiru dilapisi bedak yang biasa ia pakai. Beberapa fakta yang kubenci mulai bermunculan di kepalaku yang berdenyut kencang, “Ibu sudah benar-benar tiada dan tidak ada lagi sosok yang akan kupanggil ibu.”  Fakta yang kubenci yang tidak bisa kuhindari, duniaku benar-benar pecah. 

Orang-orang berdatangan, tak sedikit yang menangis histeris melihat ibu yang sudah tergeletak tak bernyawa.  

Saudara-saudariku sudah diberi kabar, tetapi dengan kedok kebohongan yang sama  denganku, tidak ada yang memberitahu tentang apa yang terjadi dengan ibu kepada mereka.  Mungkin untuk menghindari syok di perjalanan.  

Hingga penguburan, rumahku selalu dipenuhi dengan isak tangisan. Jangan tanya lagi,  seberapa hancur perasaan kami. Ini menjadi hal pertama yang menempati posisi terburuk  dalam perjalanan hidupku, seseorang tolong catat itu. Tidak ada yang lebih buruk dibanding  kehilangan seseorang ibu. Aku belum bisa membayangkan bagaimana hidupku, hidup  saudara-saudariku, terlebih hidup ayahku setelah ini.  

Bagaimana bisa ciuman tadi pagi, menjadi ciuman terakhirnya denganku, bagaimana  bisa pelukan tadi menjadi pelukan hidup yang terakhir darinya? Setelah ini bagaimana kalau  aku tiba-tiba merindukan pelukan itu, ciuman itu, nasehat itu? Ke mana aku harus  mendapatkannya? Aku benar-benar kacau.  

Sesakku tidak sampai di sana. Bukan hanya kehilangan seorang Ibu, aku juga  kehilangan cita-citaku untuk melanjutkan sekolah di SMA RK impianku. Aku tidak mungkin meninggalkan ayah sendirian di kampung. Hanya aku harapan satu-satunya untuk mengurus  ayah di sini, saudara-saudariku harus melanjutkan hidup mereka di perantauan.  

Kenyataan pahit itu benar-benar tidak bisa kuhindari. Lebih baik aku tidak sekolah  daripada melihat ayahku tidak ada yang mengurus di sini. Melanjut pendidikan di sekolah  impian bukanlah hal yang lebih penting daripada ayah, aku harus benar-benar sadar bahwa  hanya dialah satu-satunya orang tua yang kumiliki, dia dunia terbesarku. Aku berharap tidak  akan kehilangan ayah sebelum aku sukses.  

Sepahit apapun kenyataan, hidup terus berjalan sebagaimana mestinya. Yang hidup  harus tetap hidup. Tawa dan tangis hanyalah hiasan dunia, siapapun tidak dapat  menghindarinya. Saat ini dan seterusnya aku akan tetap berdoa untuk selalu diberi kekuatan  tiap detiknya untuk melewati waktu. Aku yakin bahwa setiap badai pasti berlalu ditelan waktu, apa pun ceritanya itu pasti terjadi. 

 

 

* Penulis adalah anggota magang Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana

Komentar Facebook Anda

Rosinda Simanullang

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2021. Saat ini Rosinda menjabat sebagai Sekretaris Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4