Oleh: Vanisof Kristin Manalu
Berbaik-baiklah pada yang semesta berikan saat ini. Berbijak-bijaklah dengan segala kemungkinan yang akan kau hadapi.
***
Jalan itu masih sepi. Tumpukan kertas bekas dan sampah plastik berserakan di mana-mana. Dari sudut jalan hingga simpang jalan terlihat beragam warna sampah berserakan. Aroma khas dari ban bekas yang dihanguskan menyentuh ujung hidung setiap manusia yang lewat. Beberapa di antaranya menutup hidung lantaran tak tahan dengan aromanya.
Dugaanku benar, saat pandanganku mengarah pada spanduk lusuh tergeletak sembarangan di tengah jalan. Spanduk itu berisikan “Hukum mati koruptor”. Aihh... Manusia sekarang pandainya berlaku adil pada kejahatan orang sementara dirinya tidak, pikirku.
Abu ban bekas yang hitam pekat menyatu dengan badan jalan usai hujan lebat siang itu. Rintik hujan masih ada, sedikit demi sedikit dinginnya makin terasa menyentuh kulit. Rupanya hujan di siang hari ini membawa berkah. Para pedemo berhamburan menyelamatkan diri saat itu. Demo selesai.
***
Suara letusan masih lekat dalam ingatan. Beberapa kali terdengar olehku. Di mana-mana asap mengepul. Di sudut kota tua bernama Salendhra terjadi sebuah kenangan pahit yang memilukan. Manusia berseragam lengkap dengan senjata dan topi kebanggaannya melekat kuat di kepala. Beberapa kali dia berlari mengejar orang-orang, tak jua topi itu jatuh.
Puluhan manusia terbunuh oleh tajamnya senapan angin mematikan. “Bubar… bubarrrr,” seorang pria berteriak dengan keras. “Kau ditahan,” ujar lainnya. Mereka menangkap orang yang dianggap otak dari kejadian ini.
Melihat ini sontak aku bingung. Awalnya aku hanya ingin mengikutinya karena tawaran kerja sama yang menguntungkan. Uang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan kesepakatan ini. Tanpa pikir panjang aku menyanggupi. “Yes, aku dapat duit!” pikirku. Selanjutnya, aku melakukan apa yang ia perintahkan.
Pertama lokasi yang kami tuju dekat dengan kantor pejabat tinggi negeri itu. Spanduk berisi keresahan penuh amarah dituangkan. Di antara puluhan orang itu aku bergabung. Kepala kami ikat dengan kain berwarna merah, pun baju seragam berwarna putih membuat kami tampak kompak dari luar.
Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa
Goa yang penuh lumut kebosanan
“Hidup rakyat!” kata seseorang dari kelompok itu di sela-sela lagu yang mereka nyanyikan sebagai pengiring langkah kami menuju gedung putih. “Hidup!” ujar lainnya dengan serentak dan suara yang menggebu-gebu.
Turunkan harga secepatnya
Beri kami pekerjaan
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa
Lagu Iwan Fals berjudul Manusia Setengah Dewa berulang-ulang bergaung hingga sampai ke tujuan. Sampai saat itu aku masih bingung. Kulihat sekelilingku, raut wajah orang-orang serius, berkeringat membasahi pundak dan kening. Terik panas matahari tak dihiraukan. Saat aku menyadari bahwa uang yang diberikan tadi adalah bayaran untuk si pengacau layaknya diriku. “Bodoh!” pekikku dalam hati saat tersadar ini adalah jebakan si bapak tadi. Aku disewa.
Aku berlari sekencang-kencangnya. Hingga suara itu menghentikanku.
***
Sorak-sorai di antara manusia yang berkumpul saat itu memecahkan keheningan dunia. Ketika akan berjalan ke luar dari kerumunan aku tertahan oleh sesosok manusia yang memegang pergelangan kakiku dengan kuat. Dia sekarat. Mungkin letusan yang tadi membuatnya begitu. Aku takut kalau-kalau dia menyakitiku. Mungkin saja?
Orang semakin ramai. Tapi tak ada yang mempedulikan kami. Dunia semakin sibuk saja rupanya, sehingga rupa kami jadi tak kasatmata. Aku bingung, semakin kaki kutarik agar menjauh darinya semakin kuat menggenggam. Kulihat tubuhnya mengeluarkan darah kental. Ngeri. Kenapa harus aku? Pikirku mengutuk dunia.
Aroma badannya mengeluarkan bau menyengat. Badannya lusuh tergeletak di jalan kotor. Ragu-ragu kulihat matanya. Air mata tertahan di pelupuk mata. Sungguh tak kuat aku memahami arti dari sorot mata itu. Ia merintih kesakitan dan orang semakin tak peduli. Hatiku renyam, kujangkau dia semampuku. Sedikit menunduk membuat aku semakin kasihan saja padanya.
“Kau orang terpilih,” ujarnya tertatih setelah sekian lama ia diam dengan mata tajam menatapku. Kakiku gemetar, tak bisa kudustai. “Dunia ini sempit. Hanya sejauh langkahmu,” ujarnya kemudian. Aku semakin tak paham.
Lagi dan lagi kukutuk dunia ini dengan segala sumpah serapah. “Segala pedang akan tertancap tepat di jantung manusia yang tak menghargai jantung itu sendiri,” katanya kemudian.
Perlahan tangannya mulai meregang. Sebagian tubuhnya melebur bersama rintik hujan. Sebagian lagi menyatu dengan angin laut. Awan mulai menghilang kala mentari semakin terang. Hujan sudah tak ada lagi. Jalan mulai sepi.
Darah di jalan itu semakin banyak menyebar hingga memakan setengah badan jalan. Lamat-lamat kupandangi dia. Sama. Seketika saja jantungku berdesir dengan sangat kecang sekali. Matanya mulai menutup pasrah. Di keningnya ada sebuah kain bertuliskan “Hidup Mahasiswa”.