Begitu lama rasanya waktu ini berlalu. Mengapa tidak, aku sudah sangat bosan dengan suasana kamar petak kecil berukutan 3×3 meter ini. Bau rokok dan debu selalu melewati saluran pernafasanku. Orang yang itu-itu saja yang aku lihat. Makanan anjing—aku menyebutnya demikian—selalu disuguhkan padaku dan temanku dalam petak ini. Ah, aku bosan!
Siang itu, pukul 14.06 WIB
“Ini untuk beli rokok,” kata Pak Syam sembari menyodorkan beberapa lembar rupiah ke tanganku.
“Oh iya Pak, makasih banyak Pak,” dengan penuh senyuman usai wawancara hari ini. Ku jabat tangan Pak Syam kemudian bergegas keluar.
Rasanya aku sudah terbiasa dengan ruangan yang dilengkapi pendingin ruangan. Sebelumnya aku paling tidak bisa masuk dalam ruangan ber-AC. Setidaknya aku akan mual selepas keluar ruangan. Itu pula sebabnya mengapa dulu aku tidak pernah mau pergi ke Mall. Tapi sekarang aku sudah terbiasa.
Selepas keluar ruangan Pak Syam, aku berpikir sejenak di dalam mobil sebelum menginjak gas. Ya, lagi-lagi si Oyon menugaskanku untuk mewawancarai pejabat-pejabat tajir ini. Tak memakan waktu lama, aku sudah dapat tip dari bapak berjenggot dan perut besar itu.
Tapi aku baru sadar, sebanyak apapun tip yang aku terima pasti si bangke Oyon akan meminta bagian, setidaknya setengah dari hasil yang aku dapat. Ah, kalau saja dia bukan atasanku, sudah kulempar kamera seberat 3kg ini ke wajahnya yang mata duitan itu dan tip kali ini jumlahnya lebih sedikit, jika di bagi dua, bagian yang aku dapat pasti akan lebih sedikit.
Ya ampun, aku baru ingat untuk menghadiri sebuah acara di Jalan Menteng. Aku tidak boleh melewatkannya, apalagi dari tadi pagi sebutir nasi pun belum pernah lewat dari tenggorokanku. Setidaknya di sana aku dapat makan siang gratis tanpa harus mengeluarkan rupiah dari isi kantongku.
Tak begitu lama, setengah jam dalam perjalanan aku tiba di gedung mewah tempat acara itu, aku akan dapat makan siang gratis di sini.
“Selamat siang,” sembari menunjukkan kartu persku.
“Silakan,” si penjaga pintu tersenyum.
Tiba di dalam, ku ambil tempat duduk ternyaman, agar bisa sedikit memejamkan mata saat mereka berceloteh di depan dengan materi membosankan itu. Ku rasa aku akan tertidur lebih cepat sebab nampaknya acaranya akan selesai lebih lama. Mengapa tidak, aku lihat spanduk bertuliskan waktu acara, yaitu pukul 13.00-17.00 WIB, hampir setengah hari. Oh tidak, begitu membosankan. Kalau saja aku sudah makan dan punya cukup banyak uang untuk makan beberapa hari ini, aku enggan untuk datang.
Oh my god, ternyata tak hanya aku wartawan yang datang. Si bangke Oyon juga ternyata disini. Sedang apa dia? Apa dia juga belum makan sama seperti aku?
Kalau di bayangkan, pemimpin redaksi (pemred) paling rakus di dunia adalah Oyon. Pantas saja ia sering menyuruhku mendatangi si perut-perut besar yang duduk manis di gedung pencakar langit, katanya untuk aku wawancarai agar dapat banyak tip.
Aku masih tetap pada posisi awal, dengan badan setengah terbaring di kursi sambil mengotak-atik ponselku. Tiba-tiba ponselku berdering, dari Pak Syam, aku sempat bingung kenapa Pak Syam tiba-tiba menelponku. Arloji di tanganku menunjukkan pukul 14.28 WIB.
Aku berpikir, bukannya berita yang ditulis sesuai dengan yang dia minta? Apakah ini soal? Ya, sepertinya itu. Aku senyum sembari mengangkat sebelah alisku.
“Halo, selamat sore Pak?”
“Iya sore. Aldy, bisa datang ke kantor saya sekarang,” tanpa basa-basi.
“Ada apa ya Pak?” aku bingung.
“Datang saja dulu, nanti saya jelaskan sesudah kamu tiba,” ditutupnya telepon.
Selepas teleponnya mati, aku bergegas datang ke kantor seperti yang di minta Pak Syam barusan. Lima belas menit kemudian aku tiba dan ku ketuk pintu ruangan Pak Syam tiga kali.
“Masuk,” jawab sebuah suara dari dalam ruangan. Aku mengenalinya, itu suara Pak Syam.
Aku membuka pintu dan perlahan masuk. Sembari berjalan pelan menuju kursi Pak Syam. Ia sedang asyik dengan komputer. Aku berharap ia akan bahas perihal yang aku lihat beberapa waktu lalu. Aku bisa pastikan, ia tak mungkin tidak tahu kalau aku mengetahui rencananya.
“Silahkan duduk,” pinta Pak Syam yang masih fokus dengan komputer.
“Jadi begini, kemarin kita impor beras dari Vietnam. Rencananya akan saya salurkan setengahnya saja. Saya tahu kamu sudah tahu soal ini. Tapi, saya tak ingin tahu kenapa kamu mengetahuinya. Setelah di salurkan lebihnya nanti kita bagi. Saya akan kasih kamu 15 % gimana,?” jelasnya panjang lebar.
Wow, sudah kuduga. Ternyata tak meleset, sepertinya keberuntungan berada di pihakku. Aku tidak boleh menolak ini, keberuntungan tidak akan datang dua kali. Kalau aku terima tawaran ini, aku tidak perlu kerja setahun dan aku bisa menghabiskan bagian yang akan aku terima nanti, ya cukup besar nominalnya.
“Bagaimana?” katanya sambil mengayunkan telapak tangannya di depan wajahku.
“Oke Pak,” kataku tersadar dari lamunan.
“Oh ya, perihal ini hanya kita yang tahu, kamu bisa jaga rahasia?” pandangannya tajam.
“Baik Pak,” jawabku dengan senyum lebar.
“Baik, saya percaya sama kamu. Besok uangnya akan saya transfer langsung ke rekening kamu,”
“Siap pak,” aku tak bisa menyembunyikan kebahagian hari ini. Tak sabar rasanya menanti transferan uang itu mendarat di rekeningku.
* * *
Selasa malam, pukul 22.15 WIB.
Aku mendengar suara gedoran pintu di depan rumah. Aku yang sedang berada di kamar mandi saat itu hanya sempat mengenakan dalaman, untuk menghampiri arah datangnya suara dan membuka pintu.
Aku langsung di seret oleh dua orang laki-laki gagah berseragam coklat. Mereka mengikat tanganku dengan sepasang lingkar besi bernama borgol.
Tak lama aku langsung di seret paksa oleh para petugas kepolisian. Iya benar, aku berada di dalam bui sekarang atas kasus suap prihal uang impor beras yang aku terima dua minggu yang lalu dari si anjing kampret itu.
Ya, begitu sepele dan ini disebabkan oleh kebodohanku. Sudahlah apa boleh buat, semua sudah terjadi.
Aku terkejut dan menghentikan lamunanku setelah petugas memberitahu ada yang ingin bertemu denganku. Ya tak salah lagi, dia Oyon pemredku dan dia sudah mengunjungiku untuk kesekian kalinya setelah berada di sini selama enam puluh bulan kurang satu hari.
Tak terasa ternyata besok aku bebas. Ah, bosan rasanya di tempat ini. Biasanya aku bertemu dengan 100 orang yang berbeda dalam sehari, dalam 5 tahun ini aku hanya bertemu dengan 3 orang yang sama. Mereka teman satu tahananku.
Tak ada yang berubah dariku, hanya saja aku punya rambut yang lebih panjang karena tidak pernah di potong. Tapi yang paling penting harus ada yang diubah, ya kebiasaan salah yang selama ini aku lakukan. Besok, saat aku bebas dan keluar dari kamar petak ini. Aku berjanji tidak akan ada lagi Aldy si “Wartawan Amplop”.