BOPM Wacana

Stop Normalisasi Hustle Culture

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Rosinda Simanullang

“Ah masih jam 2 subuh kok, apalagi ya yang mau kukerjain?”

Di era digital saat ini, kita dapat dengan mudah mengatahui aktivitas orang-orang melalui postingan media sosial. Tak jarang kita temui postingan tentang kesibukan, pekerjaan, pencapaian, kesuksesan, dan sebagainya yang memacu kita untuk melakukan hal yang sama karena kita mengganggap hal itu keren. Kita kadang berfikir kalau hidup kita tak seproduktif orang-orang atau merasa hidup kita terlalu santai.

Orang-orang sibuk demikian tak jarang kita jadikan sebagai role model di hidup kita. Namun, hal ini tak selamanya berdampak positif. Keinginan untuk lebih produktif sering kali melenceng dari orientasi awal. Hal yang terjadi bukanlah produktif, tetapi justru toxic produktif yang akhir-akhir ini disebut hustle culture. Lantas apakah hustle culture itu?

Fenomena hustle culture atau dikenal dengan workaholism pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oates dalam bukunya yang berjudul ”Confessions of a workaholic : the fact about work Addiction” pada tahun 1971. Hustle culture merupakan sebuah gaya hidup baru di kalangan milenial yang menganggap dirinya akan sukses jika terus melakukan pekerjaan dan memiliki sedikit waktu untuk beristirahat.

Kita dapat menyimpulkan sendiri tentang seburuk apa dampak yang akan terjadi jika menerapkan hustling. Namun, sesuatu yang dianggap populer selalu saja tampak keren dan sulit untuk tidak diikuti di era digital saat ini. Bahkan saat sudah memahami pengertian hustle culture, banyak generasi tetap bersikokoh bahwa hal itu merupakan hal yang baik.

Selain dampak dari era digital,  hustle culture juga sering lahir dari keinginan untuk menggapai ekspektasi orang tua dan orang-orang sekitar yang tak sesuai kemampuan kita. Ukuran kesuksesan setiap orang memang berbeda-beda, tetapi hal tersebut sangat bisa dipengaruhi oleh lingkungan dan tren. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan saat ini seperti sudah terstandarisasi oleh garis ideal yang diyakini banyak orang. Hal inilah yang akhirnya memengaruhi cara pandang dari sebuah kesuksesan bagi anak muda. Buruknya pandangan mengenai kesuksesan yang dikenal di kalangan masyarakat adalah memiliki pekerjaan terpandang dan penghasilan yang lebih dari cukup.

Peristiwa di atas sejalan dengan pengertian workholism yang dikutip dari American Psychogy Association bahwa workholism atau gila kerja adalah kondisi di mana seseorang merasakan paksaan atau kebutuhan dari dalam diri untuk terus bekerja yang tak dapat dikendalikan. Dengan kata lain, mereka terus kecanduan bekerja bukan karena tuntutan dari luar tapi dari dalam dirinya sendiri.

Berdasarkan survei yang dilakukan laman The Finery Report tentang hustle culture ditemukan 83,8 persen responden menganggap bekerja lembur sebagai hal yang normal. Sementara 69,6 persen mengaku bekerja secara rutin di akhir pekan dan 60,8 persen dari responden merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja. Untuk jam kerja per minggu, responden menjawab bisa menghabiskan rata-rata 100 jam kerja per minggunya, dan segelintir bekerja antara 75-80 jam per minggu.

Elon Musk dalam cuitan Twitter ia mengatakan bahwa dengan bekerja 40 jam sehari, manusia tidak dapat membawa perubahan pada dunia. Elon Musk merupakan orang berpengaruh karena memiliki kesuksesan, sehingga banyak orang menyakini bahwa ucapannya merupakan hal yang benar dan tak perlu dipertentangkan.

Padahal normalnya jam kerja penuh waktu adalah 40 jam per minggu. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yaitu tujuh jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja.

Untuk menyikapi hustle culture ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu tidak membandingkan diri dengan orang lain. Setiap orang memiliki waktunya masing-masing untuk mencapai kesuksesan, bisa dalam waktu yang singkat maupun waktu yang panjang. Seperti yang disinggung di awal, yaitu era digital yang akhir-akhir ini sangat berperan banyak dalam keseharian kita. Kita bisa memulai dengan management waktu untuk bermain gaget dan membatasi aktivitas di sosial media. Dengan kata lain, bersosial media hanya untuk melakukan hal yang positif dan seperlunya saja.

Kesuksesan setiap orang tidak dapat dibandingkan karena proses dan faktor yang mendukungnya pun berbeda-beda. Pastikan Anda tetap berkembang dan lebih baik dari hari ke hari dan lebih baik dari pribadi sebelumnya tanpa membandingkan diri dengan orang lain.

Namun, perlu dipertegas bahwa pengikut hustle culture tidaklah lebih buruk dari bermalas-malasan. Anda bisa meninggalkan hustle culture beralih ke produktif, sehingga tetap berkembang dan lebih baik di bidang rohani dan jasmani. Hal yang bisa dilakukan untuk produktif selain bekerja yaitu berkumpul bersama, olahraga bersama, gathering, dan outing untuk mewujudkan work life balance.

Sebagai penutup, diharapkan Anda bisa lebih memahami bahwa workaholism menyebabkan manusia tidak sadar bahwa mereka dipaksa untuk bekerja (Oates 1971). Sadarilah bahwa pengendali hidup adalah diri kita sendiri. Berhentilah jadi budak hustel culture. Ada baiknya Anda sendiri perlu membuat strategi untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan kehidupan kerja.

Komentar Facebook Anda

Rosinda Simanullang

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2021. Saat ini Rosinda menjabat sebagai Sekretaris Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4