Oleh Ridho Nopriansyah
Judul: Tangan Kelima
Penulis: Christian Armantyo
Penerbit: Visi Media
Tahun Terbit: 2013
Halaman: 366 Halaman
“Bukankah seru mencari sejarah mobilantik seperti ini? Arkeologi belajar tentang sejarah asal-usul, bukan? Kita coba cari-cari sejarah tentang mobil itu!”
Kisah Rantau, sang tokoh utama, diawali dengan penemuan Mercedes Benz klasik tipe SL cabriolet keluaran tahun 1960 di kediaman ayahnya yang tewas di Bandung. Ia yang terpisah dari ayahnya karena perceraian merasa janggal dengan keberadaan mobil mahal tersebut. Sebab, ayahnya tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai. Lagi pula ada yang aneh dengan kematiaan ayahnya, polisi menyebut akibat serangan jantung, namun pada keningnya ditemukan bekas lebam.
Berbekal penemuan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) di dasbor mobil, Rantau yang lulusan Arkeologi mencoba menelusuri sejarah kepemillikan mobil yang menjadi incaran para kolektor mobil antik itu. Pada BPKB, tertera empat nama yang sempat memiliki mobil tersebut beserta alamat masing-masing. Tak satu nama pun merujuk ke ayahnya, Dani Situmeang.
Sebenarnya pemilik mobil yang pertama adalah Joen Wong Long. Namun, di tahun 60-an etnis Cina tak bebas di negeri ini. Untuk mendatangkan Mercedes ke Indonesia, ia meminta bantuan sahabatnya Widodo yang antek Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka, kepemilikan Mercedes itu atas nama Widodo. Namun Widodo berkhianat dan tak memberikan Mercedes ke Joen Wong Long yang berujung pembeberan jati diri Widodo. Akibat terdesak, Widodo akhirnya menyerahkan Mercedes ke Joen Wong Long.
Krisis moneter di pengujung dekade 90-an memaksa bisnis Joen Wong Long hancur. Nyaris seluruh kekayaan Joen Wong Long termasuk Mercedes jatuh ke tangan pebisnis kotor bernama Rusdi. Dan yang paling mencengangkan, Rusdi adalah anak Widodo, si antek PKI. Tak lama berselang, Rusdi dijebloskan ke penjara. Mercedes jatuh ke tangan Benjamin dan memberikannya kepada anaknya, Peter. Malangnya, Rusdi belum sempat memindahkan setumpuk koin emas bernilai miliaran rupiah di jok Mercedes.
Namun, sebentar saja, Benjamin menarik Mercedes dari Peter. Sebab Peter menikahi Leona, menantu yang tak diinginkan Benjamin. Leona yang menyamar sebagai Anna mencoba mencuri Mercedes dan koin dari Rantau. Peter dan Leona adalah pasangan pengedar narkoba jenis kokain.
Pada banyak dialog, tokoh Rantau melakukan analisis atas kasus dan informasi yang didapat selama petualangan.
Namun, hasil analisis terbilang sederhana sebab pemikiran-pemikiran yang dituangkan tokoh Rantau terlampau ringan. Padahal, di awal buku dengan latar belakang pendidikan dan otak Rantau yang terbilang encer sebab Rantau lulusan dengan predikat cumlaude, seharusnya penulis mampu menambah detail analisis terutama mengaitkannya dengan teori-teori dalam disiplin ilmu arkeologi. Kesannya, cerita pencarian sejarah ini hanya sekadar menemui bekas pemilik mobil satu per satu.
Cerita yang terkesan datar hingga separuh buku bertolak belakang pada akhir cerita. Penulis cukup cerdik memberikan kejutan mengapa Mercedes ada di garasi mendiang ayahnya serta kaitan dengan kematiannya.
Ayah Rantau memang meninggal akibat serangan jantung. Bekas lebam di keningnya karena terantuk kaca Mercedes. Rupanya, mendiang ayah Rantau sengaja membeli Mercedes milik Benjamin sebagai hadiah kelulusan Rantau. Tak ada pembunuhan.
Sial, jauh hari sebelum kenyataan Mercedes terungkap, Daan -sahabat Rantau- mencuri kemudian menjual Mercedes. Akibatnya, hubungan Rantau dan Daan terputus selama 25 tahun hingga muncul Bintang -Putra Daan- yang mengungkap alasan ayahnya mencuri mobil sebenarnya untuk menyelamatkan Rantau dari beragam aksi percobaan pembunuhan oleh bekas pemilik Mercedes.
Pendalaman konflik terbilang tanggung. Terungkapnya persengkongkolan Anna alias Leona dan suaminya Leo alias Peter juga tidak disinggung lagi. Padahal, menarik mengetahui bagaimana elaborasi dan penyelesaian dari penghianatan bermotif harta tersebut.
Selain itu, ditemukan pula beberapa penulisan kata dan peletakan tanda baca yang salah dalam buku. Misalnya pada halaman 278 di paragraf kedua, kata terbesarku ditulis tebesarku. Atau penggunaan tanda elipsis (…) pada halaman 301 dan 313 untuk mengekspresikan jeda dan keheningan agak panjang dalam sebuah kalimat beberapa kali diganti dengan tanda pisah (—). Sebenarnya, bisa saja kalau maksudnya untuk penegasan kalimat sebelum tanda pisah, tapi konteksnya justru mengekspresikan jeda.
Kendati demikian, penyisipan cerita masa lampau Indonesia di dalam konflik dua keluarga ini seperti ketegangan era PKI, suasana masa orde baru, “pengindonesiaan” kaum Tionghoa, hingga krisis 1998 menambah bobot buku ini. Walau hanya sepintas lalu, terbilang jitu membalut sejarah Indonesia lewat Mercedes.