Oleh: Nurhanifah
Foto: Nurhanifah
Judul | : Sampar |
Penulis | : Albert Camus |
Penerbit | : Narasi |
Tahun terbit | : 2017 |
Jumlah halaman | : 130 Halaman |
Harga | : Rp35.000 |
“Ketika mereka takut, ketakutan mereka adalah milik mereka sendiri. Namun kebencian mereka adalah untuk orang lain.” – Sampar.
Seseorang yang merasakan takut, akan membenci keadaan. Secara tidak langsung akan mengasingkan diri sebagai bentuk perlindungan. Mereka mulai melakukan segala hal untuk melupakan ketakutan tersebut, tanpa sadar menggadaikan kebebasan. Sebuah kebebasan yang dicuri oleh hukum. Maka, Albert Camus mengajak kita menilai kebebasan lewat dramanya.
Apa yang Anda pikirkan tentang kebebasan? Sesuatu yang patut diperjuangkan? Sebuah impian yang mustahil didapatkan? Sebuah harga untuk pengorbanan? Silakan jawab sendiri. Tapi sebelumnya, Albert Camus punya pandangan beda mengenai kebebasan. Ia analogikan kebebasan sebagai penyakit yang perlu disembuhkan lewat keyakinan.
Drama ini cukup ternama. Terbukti lewat pementasannya yang dilakukan secara berkala di Jerman setiap tahun. Namun, anehnya drama ini tidak pernah dipentaskan di Spanyol—latar sesungguhnya drama ini dikisahkan.
Bukan tanpa alasan, beberapa pihak masih menganggap tokoh dalam Sampar sebagai simbol-simbol peristiwa di Spanyol. Camus membenarkan anggapan ini. Tujuannya untuk membebaskan panggung dari spekulasi-spekulasi psikologis dengan suara-suara tercekik, sehingga ia berbunyi dengan teriakan keras yang hari ini memperbudak atau membebaskan seluruh manusia.
Ketakutan-ketakutan yang memperbudak manusia, Camus suguhkan lewat dialog-dialog para tokoh. Dilukiskan dengan indah lewat drama tiga babak. Setiap babak punya arti sendiri. Bagaikan proses untuk menemukan arti kebebasan sesungguhnya.
Babak pertama dimulai dengan jatuhnya komet di kota tersebut. Kemudian, Sampar muncul menghampiri setiap orang. Perlahan lalu meradang. Berbahaya. Semua jalan ditutup, semua orang berlarian mencari jalan keluar. Terlambat. Kota terisolasi membuat ketakutan memerangi diri, lalu berusaha melindungi diri sendiri.
Sampar memaksa penduduk untuk kehilangan rasa. Sebagai pemimpin kota baru, ia melarang sentimen, obrolan bahagia, menatap kekasih, bahkan kebiasaan melihat pemandangan alam. Semua diganti dengan organisasi dimana segala hal berdasarkan hukum dan tak melibatkan emosi.
Semua orang dituntut menjadi robot.Peraturan jadi landasan, bahkan kematian tercatat dan telah ditentukan. Mengerikan.
Babak kedua merupakan puncak permasalahan. Bagaimana penduduk dipaksa menjalankan proses administrasi yang membingungkan. Dipermainkan dan tak menemukan jawaban. Bahkan disalahkan. Kisah ini bagai cermin sistem-sistem birokrasi dalam kehidupan nyata.
Berbagai permasalahan tak kunjung menemukan jawaban. Contohnya seorang wanita yang kehilangan rumah sebab tanahnya dibangun kantor pemerintah. Saat meminta keadilan, yang ia temukan justru gertakan.
“Kami telah menata segala sesuatunya sedemikan rupa sehingga tak seorang pun memahami sepatah kata pun, untuk menuju perwujudan ideal itu—yakni kemenangan kematian dan sikap diam,” terang Nada.
Tapi ada satu orang yang berhasil membebaskan diri, menyadari apa yang sedang terjadi. Diego berhasil melemahkan sistem yang dijalankan pemerintah. Ia mengetahui rahasianya. Tanda Sampar di tubuhnya mendadak hilang, ia sembuh.
Babak ketiga adalah juru kunci. Bagaimana Diego berusaha menyadarkan penduduk bahwa kebebasan berhak diperjuangkan. Ia membujuk semua orang untuk sadar dan kembali berjuang. Sampar tahu diri, ia sadar jauh-jauh hari ini akan terjadi. Maka, ia langgar hukum yang dibuatnya sendiri. Ia libatkan emosi Diego untuk memperoleh kebebasan untuknya dan penduduknya.
Akankah Diego dan penduduk memperoleh kebebasan? Ah, ada baiknya Anda mengetahuinya sendiri.
Camus benar-benar menghipnotis lewat karyanya. Ia menjabarkan bahwa filsafat itu sederhana dan absurd adalah hal yang wajar. Anda akan dibawa menyusuri pemikiran-pemikiran yang sebenarnya melayang-layang dan menghantui langkah Anda. Kritik sosial yang memikat, sebuah ide yang out of the box. Siapa sangka kebebasan dapat dianalogikan sebagai penyakit?
Sampar memiliki kharisma yang sama dengan Orang Asing—karya Camus lainnya. Orang Asing ungggul dengan kisah romantis untuk memperoleh kebebasan atas hukuman mati dalam novel. Sedangkan Sampar unggul dengan proses kebebasan kaum minoritas dalam drama. Namun, pada intinya keduanya mengangkat tema yang sama yaitu kebebasan dalam kehidupan.