Oleh: Suratman
Judul | : Tabula Rasa |
Penulis | : Ratih Kumala |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun terbit | : 2016 |
Jumlah halaman | : 190 Halaman |
Harga | : Rp58.000 |
Aku dilahirkan sebagai batu tulis yang kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris yang terbentuk dari jalan hidup. Aku tak menyesalinya. Aku tak menyesali jalannya.
Raras, demikian namanya dipanggil. Ia menyukai bacaan sastra dan melukis. Seorang gadis Jawa yang cantik perawakannya. Cantik tetapi tak seperti warna hatinya. Sebab hatinya masih dirundung gelapnya kesedihan.
Hari, minggu, hingga bulan mengejar tahun dukanya tetap sama. Duka yang tertanggal di hati oleh kenangan masa lalu yang tak pernah ia ungkapnya dengan jujur. Hingga berakhir pada penyesalan, demikian jadinya. Tak lebih.
Violet, sosok sahabat yang padanya lah hati Raras tertuju. Namun persahabatan ternyata mengekang rasanya untuk tak pernah diungkapkan. Sebab, rasa pada Violet tak benar untuk diungkapkan. Karena mereka terlahir dalam bentuk yang sama, wanita.
Persahabatan ternyata menjadi titik balik bagi Raras untuk menimbang rasanya. Sebab, jika nyatanya Raras benar mencintai Violet tidak mungkin ia membiarkan ada orang lain mendekati Violet. Tetapi hal itu berbeda, Raras yang mengetahui percintaan Violet dengan seorang pria malah mendukung hubungan mereka.
Bahkan ketika Violet overdosis akibat pemakaian obat-obatan terlarang, justru Raras menelepon Gale—pria yang dicintai Violet—untuk memberi kabar tentang Violet. “Gale, aku Raras.”
“Raras? Temannya Violet ya? Ada apa, Ras?’’
“Violet OD, sekarang aku di Rumah Sakit Bethesda. Di Jogja.”
Penyesalan akan selalu menjadi penyesalan. Begitulah memang yang terjadi pada Raras. Nyatanya benar ia tak pernah menyampaikan rasanya itu bahkan hingga jenazah Violet di pengabuan.
Namun, tahun pun berlalu. Duka itu kian lama pupus dengan kehadiran seorang pria yang singgah di hati Raras. Galih namanya. Pria yang sama memiliki luka dari masa lalu yang kelam. Pada Raras lah kemudian hatinya dapat melupakan masa lalunya.
Hari demi hari hubungan mereka kian dekat, hingga mereka akhirnya melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Setelah hal itu hubungan mereka mulai merenggang. Hingga Raras tiba-tiba pergi ke Kanada tanpa sepengetahuan Galih.
Raras memasuki masa ego distonik (homoseks yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya). Raras tak memberitahu Galih jika ia seorang lesbian. Raras takut jika Galih mengetahuinya. Di lain sisi, Raras cemburu dengan Argus dan Zack, sahabatnya di Kanada yang mampu memberikan apa yang hati mereka mau. Menikah walaupun sesama jenis, tapi berdasarkan cinta.
Raras berkecimpung dalam renjananya. Bayang-bayang Violet menghantui pikirannya. Di lain pihak Raras hamil. Pikirannya semakin kacau oleh rasanya. Hingga akhirnya Raras benar-benar mengatakan pada Galih jika dia tidak dapat hidup bersamanya.
“Kan dulu saya sudah bilang… kalau saya suka perempuan, maka jangan salahkan saya.” Raras ternyata memilih untuk mencintai Violet dalam hatinya, meninggalkan Galih yang jelas sudah menerimanya.
Dalam novel ini, Ratih Kumala membuat pergolakan perasaan yang mengaduk-aduk pembacanya. Gaya penceritaan pun bergonta-ganti sesuka kemauan penulis. Namun, sudut pandang itulah yang membuat ceritanya menarik tetapi tetap runut dalam penempatan ceritanya. Pun novel ini tidak terkesan biasa. Alur yang maju-mundur mengajak kita untuk menyelami kehidupan percintaan yang pelik.
Di awal membaca judul novel ini, bisa dipastikan kita dapat menebak apa gambaran dalam ceritanya. Tak lebih-lebih (jangan-jangan) ada unsur cerita lesbi, gay, biseksual, dan trasngender (LGBT). Benar, nyatanya ada unsur LGBT dalam ceritanya.
Kendati demikian, tak dapat dipungkiri unsur LGBT dalam cerita ini terkesan tidak berlebih-lebihan. Saya setuju apa kata Maman S. Mahayana dalam review-nya di sampul buku ini yang mengatakan bahwa Tabula Rasa bercerita tentang problematika kehidupan manusia pascamodern. Tidak hanya memorak-porandakan batas-batas ideologi, kultur, ras-suku bangsa, tetapi juga perbedaan gender.
Buktinya, novel ini berhasil mendapat nomor kemenangan di Sayembara Menulis Novel pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, sejak novel diterbitkan pada tahun 2004, terbukti pada tahun 2014 kembali dicetak ulang oleh penerbitnya, PT Gramedia Pustaka Utama. Pada tahun berikutnya, 2016 novel ini pun turut dicetak ulang untuk kedua kalinya.
Jika ditelisik, ternyata Tabula Rasa ini merupakan novel pertama Ratih Kumala bergenre LGBT. Tidak seperti novel lainnya, Genesis (novel, 2005) yang bercerita tentang romansa percintaan, Larutan Senja (cerpen, 2006), Kronik Betawi (novel,2009) bercerita tentang budaya orang Betawi, dan Gadis Kretek (novel 2012) cerita yang bersentuhan dengan sejarah kretek di Indonesia. Walaupun ini novel pertamanya yang berbau LGBT, tetapi Ratih Kumala berhasil menampilkannya dengan apik.
Walaupun Ratih Kumala berhasil membuat novel berbau LGBT, jangan katakan jika Ratih Kumala juga merupakan kaum LGBT. Karena itu tidak benar, nyatanya, kini Ratih Kumala telah menikah dan mempunyai seorang anak.
Tetapi, memang wajar jika Ratih Kumala dapat menyuguhkan novel berbau LGBT, sebab, Ratih Kumala sendiri telah bergabung dalam komunitas Sepoci Kopi. Komunitas ini merupakan wadah bagi orang-orang yang mengakui adanya cinta yang tak hanya tumbuh pada pasangan heterogen—percaya bahwa LBGT itu anugrah Tuhan.
Dalam novel ini, Ratih Kumala menyampaikan sebenarnya cinta itu tidak harus didasarkan atas hubungan heterogen. Semua berhak menentukan kepada siapa cintanya berlabuh. Tidak selamanya apa yang dikatakan dan dijalani setiap orang sama. Pada dasarnya proses lingkungan memengaruhi setiap tindakan, dan tindakan itu kembali lagi ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Karena setiap manusia itu dilahirkan sebagai batu tulis yang kosong, kemudian terbentuk dari dogma aliran empiris yang membentuk jalan hidup. Maka jalan hidup itu kembali ke manusia itu yang menentukannya.