Oleh: Aulia Adam
Belakangan, istilah RUU PT (Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi) semakin sering bergaung. Terutama di kalangan mahasiswa, yang kelak ketika akronim R (Rancangan) dalam istilah tersebut hilang, akan langsung terciprat dampaknya. RUU PT sendiri sesungguhnya hanya judul baru dari istilah lama yang pernah dibuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2010 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Rancangan Undang-Undang ber-tittle Badan Hukum Pendidikan, yang umum dikenal dengan singkatan BHP. Alasannya, karena tercium unsur deskriminasi serta komersialisasi pendidikan di dalamnya. Sangat bertolak belakang dengan UUD 1945, yang sesungguhnya menjamin pendidikan tiap bangsa negara ini.
Jauh sebelum itu, tepatnya sembilan tahun lalu, bibit dari RUU PT dan RUU BHP ternyata berhasil luput dari pantauan masyarakat luas. Namanya Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Ada tujuh universitas di dalamnya. Ketujuh universitas itu adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia dan Universitas Airlangga.
Dalam seleksi penerimaan masuknya, ketujuh universitas tersebut membuka jalur mandiri. Ini merupakan contoh konkret pengkomersilan pendidikan. Kini, setelah UU pengkomersilan pendidikan yang lulus itu, dan BHP yang ditolak, muncul juga RUU PT yang isinya tetap kontroversi.
Kontroversi pertama adalah dua jenis perguruan tinggi yang diatur di dalamnya, yaitu Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Ini berarti istilah BHMN akan hilang. Kendati demikian, bau komersialisasi pendidikan belum pudar. Dalam PTP, ada tiga pengelompokan. Ada universitas dengan otonomi penuh, semi-otonom dan otonomi terbatas.
Pengklasifikasiannya cukup jelas. Universitas dengan otonomi penuh nantinya (harus) bekerja sama dengan industri atau semacamnya untuk menanggung beban dana yang harus dikeluarkan sendirian tanpa campur tangan negara. Demi memenuhi pemenuhan investigasi, perbaikan dan penambahan fasilitas dan hal krusial seperti gaji dosen dan staf yang berstatus pegawai negeri. Bagi yang semi-otonom, secara akademik masih bergantung pada pemerintah, meski kelola keuangannya sudah PKK BLU (Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum). Sedangkan yang otonomi terbatas, universitas masih bergantung pada pemerintah.
Kontroversi lain tercium dari pengkelompokan ini, yakni perihal gaji dosen. Rasanya terlalu sederhana jika gaji dosen dengan mudah berubah-ubah berdasarkan status universitas tempatnya mengabdi. Ada deskriminasi sejenis peng-kasta-an zaman Majapahit dulu.
Dalam jenis kedua, yakni PTS, Kontroversi lain juga mulai tercium baunya. Dibukannya kesempatan Perguruan Tinggi Asing (PTA) untuk hadir di Indonesia juga bukan tidak berisiko. Bahkan terlalu riskan.
Misalnya saja Harvard University mau buka cabang di Indonesia karena disahkannya RUU ini, tidakkah keberadaan PTS sekarang terancam? Belum lagi eksistensi PT BHMN dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kita yang tentu saja kalah pamor di berbagai sisi jika dibanding Harvard.
Jika ingin bersaing, tentu semua PT yang ada akan mati-matian meningkatkan segala sesuatu yang wajib ditingkatkan. Dan perihal dana kembali menjadi kunci utama untuk membuka pintu kesuksesan dalam persaingan tersebut. Jika ditransfer ke kalimat lain, hal itu sama artinya dengan: perjual-belian kursi pendidikan. Di mana harga kursi itu akan terus melambung seiring kebutuhan universitas yang terus meningkat. Istilahnya, dua variable tersebut berbanding lurus. Ditambah dengan penjabaran jelas dari RUU ini mengenai keharusan mahasiswa untuk menanggung sepertiga operasional perguruan tinggi. Yaitu membantu PTN untuk membiayai operasional, kegiatan investigasi dan pengembangannya.
Kelak, seperti yang sekarang sudah mulai terasa, universitas hanya akan diisi dengan orang-orang yang mampu secara finansial. Dan mereka yang memaksakan (karena sesungguhnya tidak mampu) untuk berkuliah, hanya akan fokus mengesampingkan Tridharma Perguruan Tinggi.
Inilah yang wajib kita takutkan dari komersialisasi pendidikan. Akan ada deskriminasi besar-besaran terhadap si miskin, walau RUU ini juga menjelaskan tentang PTP yang wajib menyiapkan kuota minimal 20 persen bagi mahasiswa yang tidak mampu finansial tapi memiliki potensi akademik. Tapi nyatanya, tidak semua yang miskin adalah orang pintar, lantas bagaimana nasib mereka?
Dengan segala kecacatannya, RUU ini seharusnya diwanti-wanti DPR untuk digodok kembali. Apalagi dalam jangka waktu yang relatif singkat, meski dengan kulit baru. Kesannya, bapak dan ibu yang terhormat di senayan sana hanya memprioritaskan kuantitas produk yang harus mereka capai. Tak peduli dampak panjangnya, mungkin karena sedang mandet, lantas mencetak produk yang mirip bahkan seperti pinang dibelah dua.
Senyap-Senyap Saja
Masih jelas diingatan betapa perkasanya mahasiswa Indonesia ketika menolak RUU BHP 2009 lalu. Pergolakan terjadi di setiap sudut Indonesia. Isinya sama: menolak disahkannya BHP sebagai Undang-Undang. Tapi suasananya agak berbeda kini. Media tak begitu gencar menyiarkan pergolakan mahasiswa yang tolak RUU PT. Bukannya tak ada, tapi tak begitu terasa.
Selasa lalu (8/5), Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono telah adakan Rapat Koordinasi dengan sejumlah menteri yang terkait dengan pendidikan. Isi rapat itu membahas pengaturan 143 PT yang dibawahi 17 kementerian di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menurut Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, rapat tersebut adalah bentuk sosialisasi RUU PT di lingkungan kementerian terkait.
Tampaknya, akronim R pada RUU ini akan segera hilang. Mungkin, karena suara mahasiswa yang cenderung senyap-senyap saja.