Oleh Shella Rafiqah Ully
Judul: Satu Per Tiga
Penulis: Ryandi Rachman
Penerbit: Bukune
TahunTerbit: 2013
JumlahHalaman: vi + 258 hlm
Harga: Rp 42.000,00
Percayalah, di dunia ini tidak ada sepatah kata pun yang mampu melukiskan indahnya persahabatan.
Awalnya Ryandi Rachman hanyalah kaskuser yang suka menulis thread-thread-nya yang lugas dan nyeleneh di kaskus. Ryan yang tidak suka menulis tak pernah menyangka akan menjadi seorang penulis dan menghasilkan novel tulisannya sendiri. Pada novel fiksi komedi keduanya kali ini, Ryan menulis tentang kisah persahabatannya dengan dua orang yang dikenalnya sejak awal masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu Baim dan Sambas. Jadilah novel ini sebagai diary kisah perjalanan persahabatan mereka.
Satu untuk bertiga dan bertiga untuk satu. Ryan yang kerap disapa kundil mendeskripsikan dirinya sebagai seorang laki-laki pecinta musik yang terjebak di antara tingkah absurd kedua temannya. Sambas, sosok dianggap punya wajah paling lumayan di antara mereka, namun ternyata punya kekurangan yang cukup besar karena lidahnya yang cadel. Sambas punya gaya bicara yang frontal dan dikenal paling jago ngeles, sedangkan Baim adalah sosok paling lugu dan polos serta punya hobi paling suka lupa. Tiga tingkah yang berbeda menjadi satu dalam sebuah petualangan persahabatan.
Bagian awal novel ini mengisahkan perjalanan masa SMA mereka yang penuh dengan warna.
Tiga sahabat yang menghabiskan setiap waktu di sekolahnya dengan tawa dan tingkah-tingkah nakal serta berbagai masalah sehingga membuat mereka cukup terkenal di SMA-nya dengan cap Berandalan dan julukan Biang Kasus. Namun, dibalik kenakalannya, tiga sahabat ini masih memiliki kemampuan positif. Sambas misalnya, ia yang jago olahraga telah menyumbangkan berbagai medali dan trofi sehingga membawa nama baik sekolah, juga Ryandi yang berbakat di bidang seni pernah beberapa kali mendampingi tim paduan suara dalam berbagai perlombaan.
Berbagai hal terjadi selama tiga tahun mereka bersahabat. Nongkrong di bawah poncer (pohon ceri) hanya untuk sekadar ngobrol, menghayal dan memainkan gitar setelah pulang sekolah. Menghadapi setiap masalah bersama-sama meskipun masalah tersebut ditimbulkan oleh satu orang dan selalu melewati hari bersama dengan kepolosan dan kebodohan tingkah masing-masing. Hingga akhirnya tiga tahun berlalu.
Mereka melanjutkan kuliah di universitas serta jurusan yang berbeda. Baim memutuskan kuliah di jurusan jurnalistik, Sambas di jurusan humas dan Ryandi sendiri di jurusan teknik informatika. Semenjak itu tak banyak lagi waktu mereka untuk berkumpul atau pun sekadar nongkrong. Sampai akhirnya setelah dua tahun, mereka berkumpul kembali di poncer. Menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam untuk bercengkrama, mengenang masa lalu mereka di tongkrongan, tempat dimana persahabatan mereka terjalin begitu kuat.
Secara keseluruhan tak ada hal yang terlalu menarik dari novel ini. Cerita di dalamnya sama seperti cerita kebanyakan novel lain yang mengulas tentang sahabat. Sepanjang cerita kita disuguhkan cerita persahabatan yang dibangun dari kebersamaan yang kuat, pengorbanan dan kerelaan untuk saling mendukung.
Pun demikian, jangan lewatkan satu kisah yang menjadi penutup dari cerita ini. Cerita perjalanan mengejutkan Ryandi dan Baim ke Pekanbaru untuk memberikan dukungan langsung kepada Sambas yang tengah bertanding pada Pekan Olahraga Nasional (PON). Sambas yang tengah bertanding menghadapi final tak menyangka dua orang sahabatnya tiba-tiba ada di arena lomba. Kekecewaan Sambas atas kekalahannya mendapatkan medali emas disembuhkan oleh dua sahabat yang mengingatkannya untuk bersyukur. Bagian ini semakin membuat kita tenggelam dalam romantika sebuah persahabatan.
Dalam pertandingan, bukan hanya tentang siapa yang menjadi pemenang, tetapi juga tentang siapa saja yang mendukungmu untuk menjadi pemenang. (hlm. 241)
Masih dengan gaya tulisannya yang ngawur dan ringan, kita seolah sedang diajak mendengarkan ceritanya secara langsung. Akan tetapi, penggunaan bahasa sehari-hari serta candaan yang terkesan blak-blakan membuat novel ini kurang menarik. Setidaknya, penggunaan bahasa yang cenderung vulgar tanpa sensor tentang kebiasaan-kebiasaan buruk mereka menjadi salah satu hal yang membuat novel ini tak layak dibaca oleh anak di bawah umur. Apalagi ditiru.