Oleh Ipak Ayu H Nurcaya
Penulis: Leila S Chudori
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 464 Halaman
Salah satu literatur fiksi terbaik di Indonesia yang berani menampilkan latar belakang fakta bersejarah. Bergejolak dan jauh dari kata membosankan.
Foto: Aulia AdamMengambil latar belakang peristiwa berdarah dan bersejarah di dua momen di Indonesia yakni 30 September 1965 dan Mei 1998, Leila seakan menghidupkan kembali gelora zaman perjuangan rakyat ketika masa itu. Tokoh yang ditampilkan hidup dari awal penceritaan hingga akhir. Satu lagi memgambil latar belakang kejadian Prancis, Mei 1968 yang tak kalah bersejarah.
Namanya Dimas Suryo. Ia adalah tokoh utama dalam novel ini yang sehari-harinya bekerja sebagai wartawan di Kantor Berita Nusantara. Dimas mendapat tugas dari pemimpin redaksinya Hananto untuk mengikuti Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Peking. Bukan sekadar pergi memenuhi tugas, Dimas terjebak dalam satu keadaan yang sulit. Ia disebut tahanan politik yang masuk jaringan pemburuan pihak pemerintahan Indonesia kala itu. Tragis, kepergiannya dari tanah air tak bersambut pulang hingga takdir menutup usianya.
Melewati kehidupan di Paris, negeri yang Indah nan menawan tak membuat Dimas dan Nugroho, Tjai serta Risjaf, teman-teman seperjuangannya, bahagia sepenuhnya membina kehidupan di sana. Mereka tak hanya berkawan, sebuah Restoran Tanah Air di Paris menjadi bisnis usaha bersama sekawanan tahanan politik itu.
Sementara surat berkabar duka datang silih berganti dari Indonesia. Tentang Hananto yang telah tertangkap, tentang istri dan anak-anaknya yang berbulan-bulan diinterogasi tentara. Surat-surat itu kian menyilet karena Surti, istri almarhum Hananto adalah kekasih lama Dimas.
Pernikahan Dimas dengan Vivienne di Paris membuahkan seorang anak perempuan cantik, bernama Lintang. Meski sedari bayi Lintang tak pernah menginjakan kaki di Tanah Air, tapi dalam dirinya Dimas berhasil mengalirkan jiwa ke-Indonesia-an dalam diri Lintang.
Lintang kecil adalah pecinta cerita wayang dari ayahnya. Pecinta makanan Indonesia masakan ayahnya.
Siapapun tidak menyangka, tugas akhir kuliah Lintang di Universitas Sorbonne Paris ternyata yang membawa gadis ini menuju Tanah Air yang telah ada dalam dirinya. Tanah Air yang begitu dicintai ayahnya. Tanah air yang sesungguhnya tidak pernah menolak kehadiran sang tahanan politik seperti ayahnya. Sistem birokrasi yang terlalu kejam yang membuat ayahnya berkali ditolak untuk mendapatkan visa tujuan pulang ke Indonesia.
Tidak hanya berhasil menginjakan kaki di salah satu tanah airnya Indonesia dan menyelesaikan tugas akhirnya Lintang menjadi satu dari saksi hidup runtuhnya rezim soeharto yang ketika itu menjadi masa berdarah di negeri ini.
Segalanya Lintang perjuangkan, ia hanya ingin mendapatkan sebatang lilin untuk masuk ke gua sejarah yang panjang dan gelap. Untuk memenuhi jawaban dari sebuah soal yang selalu mendebur-deburkan dadanya. “Bagaimana caranya memetik Indonesia dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A?”
Tidak hanya gejolak politik pada masa itu yang Leila gambarkan dalam novel Pulang. Detail kisah cinta, keluarga dan persahabatan berhasil ia ramu dan padu-padakan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Ceritanya tidak tergesa-gesa, meski diceritakan per babaknya melalui tokoh per tokoh tapi tidak ada kesan lompat-lompat. Runut dan mengalir.
Di sini Leila juga berhasil membuat paduan kata dan kalimat dari mengutip karya puisi, syair maupun cerita klasik tradisional seperti wayang, dengan sangat romantis. Hingga memberi kesan sastrawi yang kuat untuk novelnya ini.
Sayang, yang sedikit mengecewakan saya adalah konsistensi dalam proses editing. Sering beberapa huruf yang membentuk kata hilang ditengahnya. Atau kata-kata asing yang tidak konsisten penulisannya. Positif saja, saya yakin kesalahan-kesalahan kecil ini akan terobati pada cetakan kedua, ketiga dan seterusnya.