Oleh: Sagitarius Marbun
Lagu Pulau Samosir dari Marsada Band beradu dengan deru mesin solu –kapal kecil– saat saya menyeberangi Danau Toba. Saya hendak ke Pulau Pandulangan, salah satu pulau yang timbul bersamaan dengan Pulau Samosir sejak meletusnya Gunung Toba sekitar 75.000 tahun yang lalu.
Untuk sampai ke tempat ini, hanya memerlukan waktu sekitar lima belas menit menggunakan kereta –sepeda motor– dari pangururan sampai ke Huta Pandulangan melalui rute Tano Ponggol. Kemudian cukup mengunjungi salah satu rumah di huta itu untuk mengantarkan ke pulau dengan solu. Dalam penyeberangan hanya memerlukan waktu sekitar sepuluh menit dengan membayar sepuluh riu rupiah setiap penyeberangannya.
Sepanjang mata memandang, saya disuguhkan pemandangan antara perpaduan hijau dan biru. Langit biru yang dihiasi arak-arak awan menambah eksotisnya pemandangan. Danau yang membentang luas terasa nyata menyentuh kaki langit. Ditambah burung-burung bangau yang sesekali melintasi danau seakan membuat pamandangan yang tak habis-habisnya.
“Kalau sore pemandangannya jauh lebih indah. Burung-burung bangau itu akan bermigrasi ke pulau dan hampir menutupi pulau,” terang Simanjorang. salah satu jasa penyedia sewa solu di Huta Pandulangan.
Sesampai di pulau, saya terkejut melihat pemandangan yang hanya menyuguhkan padang belantara dan semak belukar. Tidak ada kehidupan di sana. Tidak jauh dari solu dilabuhkan, saya kemudian disuguhkan dengan sebuah gua yang di dalamnya terdapat patung Bunda Maria berukuran kecil diantara tumbuhan bunga-bunga paet. Patung itu dibuat sekitar tahun 2016 lalu setelah salah satu dari pengunjung pulau pernah mendapat wangsit.
Simanjorang menerangkan dahulunya gua ini adalah tempat persembunyian para pemberontak masa Pemerintah Revolusioner Rebublik Indonesia (PRRI) sekitar tahun 1958 dan para pejuang Maludin Simbolon, revolusioner PRRI di Toba. Ketika mereka kehabisan makanan, Desa Limbong, Pandulangan, dan Tulas adalah tujuan mereka untuk mengambil persediaan dari warga sebelum menyerahkan diri kepada pemerintah pada tahun 1961.
Selain gua bekas persembunyian, pulau yang telah di akui United Nation Education Scientic and Cultural Organization (UNESCO) ini sebagai wisata Geopark juga terdapat simin –bangunan tugu– buatan Belanda. “Tidak satu pun manusia yang belum pergi ke sana”, begitu kata Simanjorang. Selain jalur jalannya yang memadai pun karena pulau tersebut diyakini memiliki kekuatan mistis.
Di dekat gua itu berjejer anak tangga yang terbengkalai. Tangga itu dibangun sekitar tahun 2003 oleh J.E Siboro, Kepala Badan Pemerintahan Kabupaten Samosir namun tidak terealisasikan karena habisnya masa jabatannya.
Belum tersosialisasinya pulau bersejarah ini membuat pengunjung yang datang terbilang jarang. Selain karena tidak terkenal, pun akses jalan yang terjal dan berbatu sepanjang jalan dari Simpang Huta Ginjang hingga ke pelabuhan Pandulangan. Namun tidak perlu kecewa, panorama Pulau Pandulangan lebih sering dinikmati dari view bukit Tulas, salah satu bukit di bawah kaki Gunung Pusuk Buhit yang banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Anda dapat melihat pemandangan Pulau Samosir yang terlihat jelas.
Jadi jika anda ingin berkunjung ke tempat ini, jangan lupa pula membawa kamera untuk mengabadikan keindahan panorama yang disuguhkan alam sebagai kenangan. Selamat berlibur.