BOPM Wacana

Pulang Semalam

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Rati Handayani

Tok tok tok…

Perempuan paruh baya yang tengah menyelesaikan sulamannya itu menoleh ke arah pintu. Tetapi ia ragu akan pendengarannya sebab waktu sudah lewat pukul sembilan malam. Ia tak beranjak dari kursi rotan disudut ruangan itu.

Kembali terdengar dari luar. Tok tok tok. “Ibu, ini saya.” Suara parau seorang lelaki di balik pintu menggema.

Sontak perempuan paruh baya itu berdiri dan meletakan kain sulaman beserta jarum dan benangnya di meja bundar di depan kursi duduknya.

Lelaki kurus berambut cepak muncul dibalik pintu. Ia langsung mengambil tangan ibunya yang telah keriput dimakan usia itu. Setelahnya ia cium tangan yang telah tua itu lekat-lekat.

“Ibu sehat?” tanyanya seraya mengeluarkan pasangan kursi rotan tempat ibunya tadi menyulam. “Berkat doamu, nak. Aku sehat,” jawab sang ibu sambil melengkungkan senyum.

“Sudah tiga kali puasa ibu berdua saja dengan anakmu. Ia kerap kali bertanya ayah dan ibunya. Ibu bingung menjawab tentangmu dan istrimu. Sekarang ia sudah kelas lima,” jelas perempuan itu seraya melipat kain sulamannya. Ia ingin bercerita panjang lebar dengan putra satu-satunya itu yang telah tiga tahun tak ada kabarnya.

Laki-laki itu terdiam. Pikirannya digerayangi dosanya pada perempuan yang duduk di depannya. Harusnya ia mampu memberikan kebahagian di masa tuanya tapi ia malah memberikan beban untuk mengasuh anak yang telah ditinggal pergi istrinya.

Hening. Hanya ada suara jangkrik di luar rumah pemecahnya.

“Anwar, kau tak bawa apa-apa untuk anakmu nak?” tanya ibunya singkat. Pertanyaan itu ia lontarkan karena perempuan itu tak melihat putranya membawa apa-apa selain ransel kecil yang baru saja ia turunkan dari pundaknya.

Sambil menunduk lelaki itu menggeleng.

“Saya tak membawa apa-apa , Bu. Di sini pun saya tak akan lama, Bu. Hanya untuk maaf pada ibu,” ujarnya pelan.

Mata lelaki itu berkaca-kaca. Tak lama setelahnya air matanya jatuh. Lalu lelaki itu mengusap kedua pipinya dengan jemarinya yang kurus.

Ibunya tak mengerti untuk apa anaknya minta maaf. Toh jika ia bekerja untuk mengasuh cucunya tak pernah dipermasalahkannya. Atau karena ia tak pernah menanya kabar anaknya tiga tahun belakangan? Kebingungan perempuan itu bertambah. Kenapa anaknya ke mari hanya untuk minta maaf?

“Anakmu baru saja tidur setelah mengerjakan pekerjaan rumahnya dari sekolah,” kata perempuan itu sambil menunjuk kamar pertama rumah itu, tempat cucunya terlelap.

Anwar langsung beranjak dari kursinya. Ia masuki kamar depan yang ditunjuk ibunya. Ditemuinya anaknya tengah tertidur pulas. Ditariknya selimut yang tak lagi menutup badan anaknya itu. Kemudian ia tutupkan hingga menutup pundak hingga kakinya. Diciumnya kening anaknya itu. Baunya khas bau keringat anak laki-laki yang tengah dalam masa-masa bermain.

Anak itu tak terbangun. Anwar pun enggan membangunkannya. “Biarkan ia mimpi bertemu aku. Aku tak ingin membuatnya malu punya ayah sepertiku,” gumamnya.

Anwar melangkah ke luar kamar. Didapatinya segelas air putih dan sepiring pisang goreng di atas meja bundar tempat ia dan ibunya bercakap tadi. Ibunya mengambil ke dapur saat ia masuk ke kamar anaknya. Sekarang mereka kembali bertemu di tempat duduk yang sama.

Ia mengambil gelas di depannya. Lalu diteguknya air putih itu hingga tersisa sepertiga gelas. Ia rasa sekarang ia harus bercerita pada ibu yang telah ditinggalkannya tanpa kabar selama tiga tahun itu. Ia harus bercerita sebelum mentari esok pagi muncul karena ia harus meninggalkan rumah itu kembali. Semua itu karena ia tak mau membuat keluarganya terlibat dalam masalahnya.

“Bu, sebenarnya saya tak bisa lama-lama di sini. Sebelum pagi esok saya harus pergi Bu. Saya dalam pengawasan polisi hampir dua tahun belakangan,” ujarnya.

Ibunya tak mengerti. “Ada apa, Nak?” tukas ibunya.

“Lebih satu tahun pertama saya merantau, saya bekerja sebagai asisten seorang pengusaha terkenal di Jakarta,Bu. Ibaratnya saya sudah tangan kanannya. Tapi di balik semua itu, ternyata dia punya kasus pembunuhan lawan bisnisnya,Bu,” jelas Anwar.

“Lalu?” tanya ibunya memecah sunyi setelah penjelasan Anwar.

“Lalu, karena saya tangan kanannya, saya saat ini jadi informan polisi dan keadaan saya sedang tidak aman dari orang-orang mantan bos saya itu Bu. Saya bingung, Bu.”

Ibunya berusaha menahan air matanya. Tapi ia tak kuasa. Meledak sudah pertahanannya. Air matanya jatuh seketika.

“Kau dicari-cari orang, Nak? Begitukah?” tanya ibunya sambil menangis.

Anwar mengangguk.

“Tapi saya benar-benar tak tahu sebelumnya bahwa begitu jahat persaingan bisnisnya. Ia tak bercerita banyak sebelumnya sehingga saya bersedia bekerja dengannya,” tambah Anwar.

Ibunya mengusap air mata. Ia tak menceramahi anaknya panjang lebar karena anaknya sudah tak pantas untuk itu. Sudah dewasa dan didewasakan keadaan.

“Dirimu terlibat dalam pembunuhan itu, Nak?”

“Begini Bu, saya ditugaskan menghubungi pembunuh saat perencanaannya. Setelah itu saya putuskan untuk pergi. Dalam masa lari itu, saya mendapat kabar bahwa lawan bisnisnya telah mati dan diduga akibat pembunuhan. Bos saya diselidiki polisi. Saya juga diselidiki polisi. Dan sekarang saya informannya, Bu.”

ibunya diam. Sepiring pisang goreng masih utuh. Sepertiga gelas air putih pun belum berkurang. Sesekali Anwar menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Tidak ada jalan lain selain menceritakan apa yang kau ketahui, Nak. Tentangmu yang dicari orang-orang mantan bosmu, serahkan pada Tuhan. Bagaimanapun bangkai disembunyikan pasti akan tercium juga, Nak,” tutup ibunya.

Anwar meneguk airnya sampai habis. Ia tak punya pilihan lain.

Esok paginya, sebelum anaknya bangun dan sadar ayahnya pulang Anwar telah dijemput polisi.

“Bu, jika suatu hari saya di penjara, bilang sama anak saya jangan malu dengan ayahnya. Ini kebenaran dan risikonya,” ujar Anwar sebelum naik ke mobil polisi pada ibunya yang tak dapat membendung air matanya.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus