Oleh: Rati Handayani
Pada ’98 adalah keren jika mahasiswa berambut gondrong dan bercelana robek-robek berdemonstrasi di jalanan untuk wujudkan pergerakan. Beda dengan sekarang, yang ada dijauhi orang. Sejatinya pergerakan perlu disesuaikan dengan zaman.
Di Simpang Sumber, asap hitam mengepul dari sebuah ban yang terbakar. Dua hingga tiga puluhan mahasiswa berkumpul di sekitarnya. Beberapa di antaranya membawa spanduk. Ada pula yang berteriak-teriak. Orasi.
Rupanya aksi pada Mei 1997 itu adalah demonstrasi pertama di Sumatera Utara yang menuntut Soeharto turun dari singgasana Presiden. Massa aksi itu telah muak. Soeharto telah berpuluh-puluh tahun menjabat sebagai presiden, namun mereka rasa tak ada perubahan berarti di negeri ini. Malah, saat itu muncul berbagai masalah yang menyengsarakan rakyat.
Ialah Dadang Darmawan, salah seorang orator dalam aksi itu. Ia membawa nama Kesatuan Aksi Muslim Strategis (KAMUS), sebuah kelompok diskusi beranggota lima kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Namun, secara formal KAMUS tak punya keabsahan HMI.
Dadang merasa keadaan sosial dan politik Indonesia saat itu tengah tak baik. Ada depolitisasi yang luar biasa, ada pembungkaman kegiatan politik. Dan yang paling terasa adalah terjadinya ketimpangan pembangunan.
Apa yang dirasa Dadang tak ia simpulkan begitu saja. Sebelum demonstrasi, ia dan peserta aksi lain telah aktif berdiskusi. Malah aktif sejak setahun sebelumnya di berbagai kampus di Kota Medan. Namun peserta diskusi masih relatif sedikit. Bahkan ada yang hanya membawa nama pribadi. Organisasi intra kampus seperti Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT)—sekarang Pemerintahan Mahasiswa USU—pun belum terlibat dan lambat merespon permasalahan saat itu. “Sekadar kita-kita aja, situasi masih orba (orde baru—red) sekali. Kegiatan aktivis diintai intel,” kata Dadang.
Barulah mulai awal ’98 pergerakan mahasiswa terjadi secara menyeluruh. Organisasi intra kampus mulai ambil bagian, pun dosen hingga rektor mengerahkan mahasiswa untuk menurunkan Soeharto.
Diskusi-diskusi terus berjalan. Frekuensinya meninggi pada Januari hingga Mei ’98.
Demonstrasi terbesar di Sumut pada awal Mei ’98 oleh civitas akademika seluruh kampus di Kota Medan pun didukung masyarakat. Dadang yang saat itu telah menjabat Ketua HMI Sumatera Utara membawa massa aksi dari Pintu 1 USU hingga Lapangan Benteng. Sepanjang jalan, mayarakat berteriak-teriak mengeluh-eluhkan mereka. Memberikan dukungan untuk menurunkan Soeharto. Bahkan di depan rumah-rumah, warga menyediakan makanan dan minuman untuk massa aksi. “Enggak pernah terbayang akan seperti itu. Rasanya seperti 1945 lagi, seperti mau merdeka,” kenang Dadang.
Namun, saat ini Dadang merasa pergerakan mahasiswa tak dapat dukungan masyarakat seperti dulu. Mahasiswa banyak yang tak mendedikasikan dirinya untuk bangsa. Orientasi mahasiswa telah bergeser ke persaingan memperoleh pekerjaan saja.
Apa yang dirasakan Dadang juga dirasakan Imanuel Silaban, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU 2010 yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Gemaprodem), sebuah organisasi pergerakan mahasiswa ekstra kampus. Imanuel menilai mahasiswa USU masih ogah-ogahan melakukan aksi. Masih banyak pula yang tak peduli dengan aksi. “Coba lihat kalau sore-sore di dekat Sumber itu pasti ramai mahasiswa duduk-duduk. Ngapainlah?” katanya.
Hal serupa juga diamini Ketua Front Mahasiswa Nasional (FMN) Rachmad P Panjaitan. Semasa masih berstatus mahasiswa hingga kini, ia menilai mahasiswa USU cenderung individualis, teoritis dan pragmatis. Sehingga tak banyak yang bergabung dalam aksi ataupun organisasi pergerakan.
Padahal seharusnya mahasiswa menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat di dalam kampus untuk memecahkan masalah sosial di tengah-tengah masyarakat. Sebab sejatinya universitas adalah pusat pengetahuan yang tujuannya mengabdi pada rakyat. Bukan melahirkan manusia yang berpikir praktis dan hanya memikirkan ketika lulus bekerja dimana dan dapat gaji berapa.
“Coba lihat kalau sore-sore di dekat Sumber itu pasti ramai mahasiswa duduk-duduk. Ngapainlah?” – Imanuel Silaban
Rachmad coba menganalisis.Ia bilang kondisi mahasiswa saat ini tak bisa dijustifikasi begitu saja. Ada faktor penyebabnya. Ialah sistem pendidikan. Mahasiswa diwajibkan lulus kuliah enam tahun bagi angkatan 2013 ke atas. Sedangkan mulai 2014 ini, mahasiswa diwajibkan lulus dalam lima tahun. Waktu kuliah yang singkat inilah yang membuat tak miliki banyak waktu selain menyelesaikan beban sistem kredit semester.
Rachmad pun menyayangkan hal ini. Sebab massa yang banyak adalah kekuatan sebuah aksi dan pergerakan. “Massa yang banyak menunjukkan super power mahasiswa,” katanya.
Hal itu juga dibenarkan Imanuel. Ia sendiri mengakui organisasinya susah membangun jaringan dan menambah massa aksi. Misalnya dalam aksi menuntut transparansi keuangan USU yang dilakukan Gemaprodem dan KDAS Oktober lalu. Massa aksinya paling banyak hanya dua puluh orang. Memang aksi itu dilakukan dengan longmarch dari FIB ke Pintu 1. Namun bukan berarti tak pernah dibuat aksi yang lebih kreatif untuk menarik massa. Sebelum-sebelumnya, pernah juga diadakan panggung rakyat, atau menyelipkan orasi dalam acara musik yang kerap digelar Etnomusikologi pada sore hari di depan FIB. “Tapi ya enggak ada nambah juga massanya,” pungkas Imanuel.
Dosen Ilmu Politik FISIP USU Faisal Andri Mahrawa yang juga aktivis ’98 di Universitas Airlangga membenarkan kesadaran kolektif untuk lakukan pergerakan tak mudah dibentuk. Namun tetap bisa dibentuk dengan agitasi dan propaganda dengan setiap civitas akademika menjadi agennya.
Namun Faisal mengatakan memunculkan agitasi dan propaganda perlu dengan penyadaran lewat pendidikan. Oleh karena itu peran dosen sebagai intelektual organik menjadi penting untuk mendorong pergerakan mahasiswa terjadi. Sebagai intelektual organik, dosen harus menjadikan institusi pendidikan membumi dan masyarakat jadi bagiannya. “Dulu (’98—red) dosen pun ikut aksi turun ke jalan,” katanya.
Walau demikian Faisal sadar bedanya jumlah massa pergerakan mahasiswa ’98 dengan saat ini juga disebabkan kondisi sosial dan politik yang telah berbeda. Dulu, musuh bersama mahasiswa dan masyarakat telah jelas yakni Soeharto yang tak turun-turun sebagai presiden. Namun saat ini musuh bersamanya perlu didefenisikan bersama dulu, apakah ketidakadilan atau yang lain. Pun jika ketidakadilan, perspektif adil yang dimaksud pasti berbeda. “Belum tentu tidak adil menurut kita juga tak adil menurut orang lain,” jelasnya.
Organisasi tempat Imanuel bernaung pun tergabung dalam aliansi pergerakan bernama Front Peduli USU (FPU) yang dibentuk Maret tahun lalu. Ada empat organisasi mahasiswa lain di dalamnya, yakni FMN Ranting USU, Gemaprodem, Gerakan Mahasiswa Pecinta Bahari, dan Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial.
Thariq Tsaqib, Ketua FMN Ranting USU periode sebelumnya adalah Koordinator FPU pertama. Thariq mengatakan tensi pergerakan dalam FPU memang naik turun. Aksi perdana mereka adalah aksi tolak penerapan uang kuliah tunggal (UKT) pada Maret tahun lalu ke acara sosialisasi UKT di Auditorium. Kemudian diikuti aksi-aksi kecil untuk tuntut hal serupa di Simpang Sumber. Dan dilanjutkan diskusi tentang UKT bersama mahasiswa baru pada Septembernya di FIB dan Fakultas Pertanian.
Setelah aksi ini, Thariq bercerita FPU sempat kekurangan intensitas diskusi. “Sepertinya hilang semangat,” katanya. Lagipula dari gerakaan yang dibuat, massa aksi tak pernah bertambah. Pun FPU ingin menyelesaikan struktur internal terlebih dahulu.
Barulah pada Oktober gairah pergerakan FPU kembali naik. Ialah aksi saat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie menyambangi USU. FPU adakan aksi itu bekerja sama dengan Pema Sekawasan. FPU bertugas mematangkan tuntutan, Pema Sekawasan menyiapkan massa.
Ada empat tuntutan yang disampaikan yakni cabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU-PT), cabut UKT, perbaiki fasilitas kampus dan buka transparansi keuangan USU. Dua tuntutan pertama ialah usulan FMN Ranting USU, dua berikutnya usulan pihak Pema Sekawasan.
Tujuan akhir aksi itu ialah Marzuki bersedia menandatangani kesepakatan bahwa UU-PT dan UKT dicabut. Namun tujuan itu tak tercapai, Marzuki enggan menyepakatinya sebab hal itu tak dapat ia putuskan seorang diri. Marzuki malah memberikan kontaknya sebagai wadah komunikasi jika mahasiswa hendak menyampikan keluhan. Namun Thariq dan kawan-kawan tak pernah menghubungi kontak itu.
Lalu pada akhir tahun lalu, FPU dan Pema Sekawasan audiensi dengan pihak rektorat. Mereka meminta rektor menandatangani kesepakatan laporan keuangan akan dipublikasi. Namun itu tak berhasil, alasan rektor laporan keuangan bukan urusan mahasiswa.
Namun sejak saat itu perjuangan cenderung dilakukan berpisah oleh organisasi dalam FPU. Hanya KDAS dan Gemaprodem melanjutkan dengan longmarch dengan massa sekitar lima belas orang pada Oktober lalu, pun dari FIB ke pintu 1, bukan coba audiensi lagi dengan rektorat. Alasannya agar mahasiswa dan masyarakat tahu bahwa keuangan USU perlu transparansi. Lagipula audiensi dengan rektorat tak membuahkan hasil. Dan FMN Ranting USU, dalam diskusi mereka, ingin memperkuat data lagi agar aksinya matang.
Sedangkan Imanuel menilai mengumpulkan data hanya akan mengulur-ulur waktu aksi. “Apa enggak cukup bukti-bukti yang sudah kita lihat sama-sama?” jawabnya.
Memandang aksi FPU ini, Faisal bilang mahasiswa sekarang haruslah fokus dan konsisten menjalankan aksi. Hindari aksi by moment agar menampakkan hasil. “Harusnya sekali gagal jadi sumber kekuatan untuk mengumpulkan massa lebih banyak,” katanya.
Lagi pula, Faisal bilang mahasiswa saat ini harus memilih isu domestik untuk pergerakannya. Isu domestik ialah isu-isi sederhana yang menyangkut kepentingan mahasiswa keseluruhan. “Jangan cabut UU-PT dan UKT dulu. Skala pergerakannya mesti nasional,” katanya.
Dalam menjalankan aksi, Thariq bilang organisasi dalam FPU punya pandangan sendiri-sendiri. “Kalau FMN tidak mau aksi anarki, enggak mau blokir jalan atau bakar ban. Mau aksi damai aja,” jelasnya. Berbeda dengan KDAS dan Gemaprodem—Gemadem telah lama tak aktif dalam FPU.
“Kalau anarki, yang ada malah dijauhi.” – Faisal Andi Mahrawa
Imanuel membenarkan Gemaprodem lebih memilih aksi dengan jalan blokir jalan dan bakar ban. “Ya kalau enggak begitu enggak diperhatikan,” katanya.
Faisal pun tak membenarkan aksi anarki, blokir jalan atau bakar ban. Sebab esensi pergerakan tak hanya sebatas mencari perhatian. Menurutnya alangkah lebih baik jika dilakukan aksi simpati untuk menarik simpati masyarakat dan mahasiswa lain. “Kalau anarki, yang ada malah dijauhi,” katanya.
Selain perbedaan pandangan terhadap aksi, FPU yang kini telah berganti koordinator juga menurun intensitas pertemuannya. FMN Ranting USU ingin ikut ambil bagian dalam organisasi intra kampus dengan mendukung pasangan Brilian Amial Rasyid-Abdul Rahim pada Pemilihan Umum Raya USU 2014 lalu. “Kita memilih berkoalisi dengan (Kelompok Aspirasi Mahasiswa) Rabbani,” katanya. Alasannya, organisasi ekstra punya keterbatasan ruang gerak dalam kampus. Sedangkan KDAS dan Gemaprodem memilih tak mendukung siapa-siapa.
Melihat kondisi ini, Faisal tak menyalahkan langkah FMN Ranting USU. Namun menurutnya lebih baik jika organisasi ekstra kampus tetap pada domainnya bergerak bersama dalam aliansi organisasi ekstra kampus. Selain itu, juga diperlukan konsolidasi di internal aliansi sebab pergerakan mahasiswa tetap penting dilakukan walau sekarang bukan era ’98 lagi. Sebab peran mahasiswa ialah melakukan perubahan.
Koordinator Liputan: Rati Handayani
Reporter: Erista Marito O Siregar, Tantry Ika Adriati, dan Rati Handayani