BOPM Wacana

Perempuan dalam Politik: Cacatnya Implementasi Kuota Gender Dalam Demokrasi Tanah Air

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi | Dea Amanda Sembiring
Ilustrasi | Dea Amanda Sembiring

Oleh: Dea Amanda Sembiring

 Narasi kesetaraan yang digembor-gemborkan pada kaum wanita masih sangat jauh dari kata ‘setara’ pada realitanya.

Berbicara tentang perempuan tak dapat dilepaskan dari benang sejarah yang menunjukkan betapa termajinalnya kelompok ini. Sejak zaman Yunani kuno, perempuan tidak diperhitungkan hak suaranya sebab mereka dipandang sebagai “masyarakat kelas dua”. Anggapan kolot ini menyekat perempuan untuk merekah dan berbunga terkhusus di dunia politik. Hal ini juga kian menjadi akar dari rendahnya representasi perempuan di parlemen Indonesia. Sampai sekarang, situasi ini masih berlangsung.

Ironi ini mengundang upaya internasional dalam ratifikasi Konvensi PBB, yakni Convention on Political Rights for Women dan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang sudah dilakukan lebih dari 98% negara dunia. Upaya tersebut sayangnya belum berbuah manis. Konvensi setingkat PBB tampaknya belum menyentuh politik lokal dan alhasil tidak cukup untuk membangkitkan kekuatan perempuan di dunia politik.

Oleh sebab itu, Indonesia dalam tatanan nasional mengeluarkan kebijakan afirmasi berupa pemberlakuan kuota gender yang tertuang dalam Undang – Undang nomor 10 tahun 2008 yang pada beberapa waktu terakhir dicabut dan digantikan dengan UU 7 tahun 2017 yang mengatur keterwakilan perempuan sekurang – kurangnya 30% dari keseluruhan caleg yang diajukan baik tingkat pusat, provinsi, ataupun kabupaten/kota. Kuota gender diisukan sebagai bagian dari perjuangan kesetaraan gender untuk mewujudkan demokrasi yang lebih luas.

Mengapa perempuan membutuhkan kuota dalam politik? Selama berabad – abad lamanya, dunia percaya bahwa politik adalah domain laki – laki. Duverger dalam Paxton & Hughes mengatakan bahwa para ilmuwan telah mencatat kurangnya representasi perempuan dalam politik sejak pertengahan abad terakhir. Menyikapi itu, pemerintah dari berbagai negara telah mengatur penerapan kuota gender dalam bangku legislatifnya. Selama beberapa tahun terakhir, lebih dari 60 negara telah menetapkan kebijakan yang secara tidak langsung memaksa partai politik untuk mencari kandidat caleg perempuan terbaik pada angka persentase tertentu.

Namun, bagaimana dengan Indonesia? Apakah implementasi kuota gender dalam demokrasi tanah air sudah berjalan maksimal? Atau kebijakan ini justru diacuhkan dan hanya dianggap pajangan hitam di atas putih konstitusi negara kita? Ibarat kata “jauh panggang dari arang”, benarkah mimpi perwujudan representasi perempuan yang lebih aktif dalam politik masih jauh dari harapan?

Kebijakan afirmasi ini telah ada sejak era reformasi tahun 2004, tepatnya saat pelaksanaan Pemilu 2004 melalui penerapan sistem kuota. Kebijakan ini mengamanatkan minimal 30% perwakilan perempuan selama proses pencalonan anggota legislatif. Namun, perlu dicatat bahwa perempuan sebelumnya hanya menyumbang 9,7% kursi parlemen dalam pemilihan 1997, yang selanjutnya menurun menjadi 8,4% dalam pemilihan 1999 berikutnya. Tren ini kemudian bergeser pada pemilu 2004, di mana perwakilan perempuan naik menjadi 11,5%. Terlepas dari upaya ini, Pemilu 2014 menyaksikan kegagalan memenuhi target 30% legislator perempuan. Proporsi legislator perempuan yang dipilih turun dari 18,2% pada 2009 menjadi 17,3% pada 2014.

Fenomena memprihatinkan yang menyangkut rendahnya representasi perempuan di bangku legislatif dapat diamati di berbagai daerah Indonesia dari ragam tempo pemilu. Data konkret dapat diteliti lebih jelas pada Pemilu DKI Jakarta sebagai contoh. Daerah ini ternyata tidak memenuhi ketetapan kebijakan kuota 30% keterwakilan di parlemen selama pemilu tiga periode berturut – turut, yakni tahun 2009, 2014 dan 2019. Pemilu tahun 2009 hanya dapat mengisi 22 kursi untuk perempuan dari total 94 kursi (23,4%). Selanjutnya, pemilu tahun 2014 hanya dapat mengisi 19 kursi keterwakilan perempuan dari total 106 kursi (17,9%). Terakhir, pemilu tahun 2019 hanya mampu mengisi 23 kursi untuk keterwakilan perempuan dari total 106 kursi (21,7%).

Parlemen Kota Salatiga juga mengalami kondisi yang sama. Pada pemilu 2004, hanya ada 5 perempuan yang menduduki kursi legislatif. Jumlah ini memang meningkat menjadi 7 pada tahun 2009. Namun, jumlah kursi yang diisi oleh perempuan tetap sama pada tahun 2014. Data menunjukkan bahwa tingkat keterwakilan perempuan di Kota Salatiga mecapai 28%. Kedengarannya memang memuaskan, namun angka ini tetap saja masih di bawah ketetapan 30% yang hakikatnya adalah bare minimum atau angka minimum. Sehingga, sebaik – baiknya tingkat keterwakilan perempuan di parlemen berada di atas angka 30%.

Menilik lebih jauh ke daerah lain, fenomena serupa juga ditemukan di Riau. Pada pemilu legislatif periode 2009-2014, perempuan yang terpilih untuk mengisi parlemen hanya berjumlah 10 orang. Padahal berdasarkan kuota perwakilan perempuan, jumlah perempuan yang seharusnya berkiprah di DPRD Provinsi Riau adalah 18 orang. Kenyataan serupa juga terjadi pada kabupaten/kota yang lain. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah nihilnya representasi perempuan di DPRD daerah tersebut. Situasi ini dapat ditelusuri lebih jelas di daerah luar Jawa seperti Papua, sebagian Sumatra, Kalimantan, dan juga Maluku. Padahal, secara umum, pemilih perempuan lebih banyak daripada laki – laki.

Jika diusut lebih cermat, tren politik ini berpangkal dari berbagai perspektif. Ditinjau dari kacamata masyarakat, kecenderungan perilaku politik masyarakat mempengaruhi kepada siapa hak suaranya jatuh. Doktrin patriarki sampai saat ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa laki – laki lebih layak mendapat tempat di parlemen daripada perempuan. Buktinya, dapat dilihat dari data sebelumnya bahwa keterwakilan perempuan masih minim di DPRD. Data ini hanya sebagian dan belum memperlihatkan kenyataan lebih jauh di daerah-daerah lain. Padahal, secara umum pemilih perempuan lebih banyak daripada laki – laki. Itu artinya, bahkan sesama kaum perempuan belum berani memberikan kepercayaan kepada perempuan yang ingin berkiprah dalam dunia politik.

Selain itu, pengaturan afirmasi ini sesungguhnya belum tegas. Meninjau kembali UU No. 7 Tahun 2017, kuota 30% minimal calon legislatif perempuan hanya berhenti sampai pendaftaran pemilu. Artinya, afirmasi hanyalah sebatas syarat bagi partai politik untuk berlaga dalam kontestasi pemilu, bukan sampai pada kewajiban untuk mendapatkan kursi strategis di DPR ataupun DPRD. Setelah memenuhi afirmasi ini, para calon legislatif tetap harus berjuang sedemikian keras untuk meraup suara rakyat.

Pemenuhan afirmasi ini sebetulnya juga tidak mudah. Tidak sedikit perempuan berpendidikan menolak tiket menuju parlemen karena mahalnya ongkos politik. Beberapa calon legislatif bahkan mengakui bahwa butuh dana hingga ratusan juta untuk membiayai seluruh operasional, kampanye, menjamu masyarakat, dan bahkan setoran untuk partai politik. Bukan hanya itu, popularitas juga krusial untuk meraih hati rakyat. Upaya yang dilakukan tentunya tidak bisa hanya sekedar aktif sosial media, harus ada pula kunjungan ke daerah pemilihan, pemasangan iklan, dan mungkin juga cinderamata untuk mencuri atensi publik.

Partai politik dalam kasus ini adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk mendampingi calegnya sampai menduduki posisi strategis di parlemen. Dalam upaya memenangkan caleg perempuan, partai politik seharusnya memberikan bantuan dan dukungan berupa pembekalan politik dan suntikan finansial kepada kader perempuan mereka jika memang benar bahwa meningkatkan representasi perempuan di gedung senayan adalah bagian dari komitmen besar mereka.

Para bacaleg perempuan butuh pengkaderan dan pendidikan politik yang memadai supaya mereka lahir menjadi caleg yang berkualitas. Partai politik harus mendukung dan mendampingi calegnya secara adil selama kampanye berlangsung. Terutama bagi caleg perempuan, partai politik harus mengeluarkan effort yang tidak sedikit untuk mempromosikan mereka.  Partai politik kudu cerdik mengambil hati rakyat dan mempengaruhi opini publik melalui komunikasi politik mereka sehingga rakyat percaya bahwa caleg yang dipromosikan itulah yang layak dipilih. Terakhir, caleg perempuan ini juga sebaiknya diprioritaskan dalam pemilu dengan cara menempatkan caleg perempuan pada nomor urut teratas. Harapannya, nama caleg teratas akan mudah diingat dan dikenal oleh masyarakat sehingga dapat dengan segera menuai impresi positif.

Representasi perempuan dibutuhkan di parlemen khususnya untuk mewakili kaum perempuan pada pembuatan kebijakan publik. Indonesia sudah meratifikasi kovensi PBB dan mengeluarkan kebijakan afirmasi dukungan terhadap perempuan dalam politik melalui UU No. 17 Tahun 2017. Sayangnya, implementasi kebijakan ini belum maksimal sehingga perlu adanya resolusi perbaikan, terutama eskalasi effort dari partai politik untuk menaikkan nama caleg perempuannya pada kontestasi pemilu. Partai politik sebagai mesin utama mempunyai andil dan power yang dibutuhkan untuk menciptakan citra positif publik terhadap calegnya.

Komentar Facebook Anda

Dea Amanda Sembiring

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP USU Stambuk 2022. Saat ini Dea menjabat sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4