BOPM Wacana

CO-Firing Biomassa, Transisi Energi Hijau yang Gak Hijau-hijau Amat

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Aulia Sabrini Saragih
Ilustrasi: Aulia Sabrini Saragih

Oleh: Aulia Sabrini Saragih

“Kesannya seperti mengurangi padahal porsi biomassa yang dicampur hanya 1-10 % sementara 90-an persennya tetap bersumber dari batubara,” ujar juru kampanye Trend Asia Meike Inda Erlina.

CO-Firing sendiri dianggap menjadi salah satu transisi energi dengan mengkombinasikan dua jenis bahan bakar secara bersamaan. Dalam hal ini CO-Firing biomassa artinya mengkombinasikan dua jenis bahan bakar berupa batubara dengan pellet yang terbuat dari limbah atau sampah. Istilah Co-Firing juga dikenal sebagai CO-Combustion yaitu proses pembakaran dua jenis bahan bakar dalam satu sistem pembakaran yang sama.

Dalam aplikasinya Biomassa diharapkan sebagai energi zero emisi CO2, artinya tidak akan ada kumpulan CO2 dari hasil pembakarannya di atmosfer. Biomassa sendiri merupakan material yang berasal dari organisme hidup yang meliputi tumbuh-tumbuhan, dan produk sampingnya berupa sampah organik yang bisa diurai oleh mikroba. Sifatnya yang dapat terurai menjadi dasar bahwa pengkombinasian bahan bakar batubara dengan Biomassa dapat menjadi solusi dalam penerapan Energi Baru Terbarukan (EBT) pada proses Co-Firing.

Komitmen Pengurangan Emisi CO2

Saat ini berdasarkan data terakhir dari Dewan Energi Nasional (DEN) tahun 2021, konsumsi energi di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar batubara yaitu sebesar 37,6% dan disusul oleh minyak bumi sebesar 33,4%, gas 16,8% serta penggunaan EBT 12,2%. Kebijakan pemerintah dalam transisi energi hijau yaitu berupa target penggunaan EBT sebesar 23% pada tahun 2025 kiranya masih cenderung sulit diaplikasikan, kiranya begitulah pikiran skeptis DENN melalui Buku Energi Outlook yang dikeluarkannya tahun 2022 lalu.

Dengan masih mendominasinya penggunaan bahan bakar minyak bumi, agaknya kurang selaras dengan komitmen Indonesia dalam persetujuan Paris atas konvensi kerangka kerja perserikatan bangsa-bangsa mengenai perubahan iklim dimana pengesahannya dituangkan dalam UU No.16 Tahun 2016 yang bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2⁰C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5⁰C di atas tingkat pra-industrialisasi.

Target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada periode pertama adalah mengurangi emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (bussines as usual) pada tahun 2030 yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, limbah, proses industri, penggunaan produk dan pertanian.  Dimana inventarisasi dan implementasi persetujuan Paris untuk menilai kemajuan dalam mencapai persetujuan Paris dimulai pada tahun 2023 dan selanjutnya dilakukan setiap lima tahun sekali.

Energi Baru Terbarukan yang Ala-Ala Saja

Ambisi Indonesia dalam peningkatan energi baru terbarukan dengan target pencapaian 23% pada tahun 2025 salah satunya adalah dengan CO-Firing Biomassa, tetapi ambisi membabi buta tersebut membuat CO-Firing ini terkesan asal ada dan serampangan. Embel-embel dengan label transisi energi hijau yang sangat jauh dari realita, bahkan dari data yang coba dikumpulkan oleh TrendAsia ditemukan kenyataan bahwa penggunaan dua bahan bakar yaitu biomassa dan batubara bukan pada perbandingan yang pas.

Sepanjang tahun 2022, PLN mengimplentasikan CO-Firing Biomassa pada 36 lokasi dari 256 PLTU yang dimiliki oleh Indonesia. Target ini akan terus bertambah hingga tahun 2025, PLN berencana mengimplementasikan CO-Firing Biomassa di 52 lokasi atau 107 unit PLTU. Di dalam pengimplementasiannya penggunaan biomassa hanya mengambil porsi sebesar 1% -10%, bahkan menurut penelitian yang sudah dilakukan pengambilan porsi biomassa sebesar 1% nyatanya tidak berefek banyak dalam transisi energi hijau.

Porsi Biomassa yang Ditambahkan Malah Menambah Bumerang Baru

Penerapan CO-Firing di beberapa PLTU di Indonesia saat ini hanya memakai porsi Biomassa hanya sebesar 1%-5% dan tidak berefek apa-apa dalam pengurangan emisi. Dan apabila misi Indonesia menjadikan seluruh PLTU memakai porsi Biomassa CO-Firing dengan porsi 10% bukan berarti terbebas dari masalah.

Bahan Baku Biomassa dari pellet kayu, dan berbagai tanaman lainnya mengartikan ada perlunya pembukaan lahan energi untuk memproduksi tanaman sebagai bahan baku biomassa, hal ini tak jauh dari ancang-ancang deforestasi hutan. Trend Asia melakukan beberapa riset dengan pemodelan matematika, apabila nantinya CO-Firing 10% biomassa diterapkan di 107 unit PLTU tentunya akan menghasilkan emisi yang sangat besar sekali berkisar hingga 26,48 juta ton atau setara emisi CO2 yang dihasilkan selama setahun.

Emisi ini ditimbulkan karena pada penerapannya pembukaan lahan energi tak akan menghindari dari yang namanya deforestasi besar-besaran.  Produksi pellet kayu akan terus meningkat dengan penambahan porsi Biomassa pada proses CO-Firing. Angan-angan transisi energi hijau nyatanya tidak aplikatif melalui proses ini.

PLN harus segera berhenti melabeli dan menyelusupkan paham bahwa ini adalah transisi energi hijau yang bersifat terbarukan. CO-Firing Biomassa tak lebih hanya lah proses penggundulan hutan dengan klaim ‘hijau’.

 

Komentar Facebook Anda

Aulia Sabrini Saragih

Penulis adalah Mahasiswa Kimia FMIPA USU Stambuk 2020. Saat ini Aulia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4