BOPM Wacana

Pendidikan Multikulturalisme

Dark Mode | Moda Gelap

Pendidikan multikulturalisme adalah jenis pendidikan yang diserap dari semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Indonesia adalah negara dengan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, adat istiadat, dan sebagainya. Kemajemukan ini diperlihatkan oleh adanya berbagai golongan etnis yang ada di dalamnya di bawah suatu negara kebangsaan. Menurut Hildred Geertz, seorang ilmuan dari Jerman, tidak kurang dari 300 golongan etnis yang mendiami berbagai tempat dan menyebar di berbagai pulau di Indonesia. Tak ada satu pun negara di dunia yang memiliki keberagaman sebesar Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sudah ada sejak kerajaan Majapahit, menunjukkan sejak abad ke-13 masyarakat Indonesia sudah beraneka ragam. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat multikultural yang tinggi. Jika hal ini dapat dikelola dengan baik akan memberikan kesejahteraan kepada bangsa. Namun sebaliknya, akan menghasilkan konflik yang bermuatan SARA dan mengancam disintegrasi bangsa yang mengakibatkan terjadinya perpecahan.

Sayangnya akhir-akhir ini konflik bermuatan SARA lebih akrab terdengar lewat media masa. Sebut saja tragedi Sampang, Ahmadiyah, atau pertikaian-pertikaian lain yang kebanyakan menyudutkan kelompok minoritas. Saban bulan media Indonesia tak luput dari pemberitaan konflik SARA.

Temuan penelitian Dahrendorf, peneliti masalah SARA di Indonesia pada tahun 1990, menunjukkan penyebab pemicu timbulnya konflik antaretnis memang sangat kompleks. Ia mengklasifikasikan kondisi yang dapat mempengaruhi konflik mencakup: (1) kondisi teknik, (2) kondisi politik dan (3) kondisi sosial. Penelitian Kuntowibisono asal Indonesia pada tahun 1997, mengenai faktor-faktor yang memicu timbulnya kerusuhan di daerah Tasikmalaya, Situbondo dan Kalimantan Barat antara lain disebabkan oleh : (1) Persaingan dalam bisnis, (2) Ekonomi, (3) Etnis, (4) Politik dan (5) Friksi kebijakan tingkat tinggi. Kusnadi dalam tulisannya di Kompas 4 Maret 2001 menegaskan bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor jarak sosial dan jarak budaya.

Jika persoalan ini dilihat dalam konteks komunikasi, keberagaman kebudayaan kerap kali menemukan hambatan yang tidak diharapkan. Misalnya dalam hal mempersepsi penggunaan bahasa, lambang, nilai atau norma masyarakat, dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan itu harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi antara satu dengan lainnya. Selain itu adanya streotip di masyarakat tentang kebudayaan tertentu, menyebabkan komunikasi tidak berjalan dengan harmonis yang disebabkan adanya prasangka dari masing-masing etnis yang memandang etnisnya yang paling baik (etnosentris). Komunikasi lintas budaya dapat diibaratkan seperti kehidupan ikan dalam air. Ikan harus menyesuaikan caranya bernafas dan hidup di air yang berbeda.

Melihat fenomena dan hambatan di atas, kiranya perlu satu usaha untuk menjaga kestabilan keberagaman itu. Ancaman diistegrasi di tubuh Indonesia tak luput disebabkan karena suku, agama, ras, dan lainnya. Keseriusan usaha menemukan solusi atas masalah ini sangat penting digalakkan agar masalah keberagaman di Indonesia jangan sampai menjadi perpecahan seperti yang dialami negara lain di dunia.

 

Pendidikan Multikulturalisme

Menurut Altho dalam bukunya tentang multikulturalisme sebenarnya istilah multikulturalisme tidak dipahami secara harfiah sebagai paham banyak budaya. Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama, dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.

Lawrence Blum, penulis lain yang menyebutkan tentang multikulturalisme mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Paham ini pertama kali marak di Kanada pada tahun 1960, Inggris, dan Australia pada kurun waktu tahun 70an. Meski ide multikulturalisme lahir di Barat, setidaknya masyarakat Indonesia mampu belajar untuk mengaplikasikannya di negara ini.

Pengertian mengenai multikulturalisme dapat dirumuskan bahwa intinya adalah penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas dan dihubungkan dengan kondisi Indonesia saat ini, telah jelas bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia. Dengan adanya pengembangan multikulturalisme inilah, kita dapat memaknai “Bhineka Tunggal Ika” secara baik, seimbang dan proporsional. Dengan kebijakan ini pula lah kita dapat menerapkan “Persatuan Indonesia” dan mengembangkan semangat nasionalisme menuju Indonesia yang sejahtera. Sehingga dihasilkan masyarakat yang saling toleran dan menghargai terhadap budaya etnis dan agama yang dianut saudara sebangsa dan setanah air.

Lantas bagaimana caranya? Salah satu jawabannya adalah melalui metode pendidikan yang disebut pendidikan multikulturalisme. Jenis pendidikan multibudaya ini merupakan paradigma baru yang lahir pada abad ke-20 yang memiliki visi program, strategi, dan metode dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi masyarakat dunia global dan multibudaya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Geneva Gay, tokoh multikultural Barat, yang mendefinisikan masyarakat multibudaya sebagai berikut :

“Multicultural education is a progressive approach for transformis education that hostically critique and adress current shortcomings, failings, discriminatory practices in education. It is grounded in deals of social justice, education equity, and a dedication to facilitating education experience in which all student reach their full potensial as learness and as socially educationacknowledge that school are essential to laying the formation for transformation of society and eleminition of appressionand in justice”.

Intinya, bagaimana cara kita belajar tentang perbedaan melalui satu metode pendidikan. Sudah ada beberapa lembaga atau individu yang menerapkan jenis pendidikan ini. Misalnya saja Yayasan Sofyan Tan di Medan. Di yayasan ini, siswa diajarkan tentang perbedaan antara agama. Sikap saling menghargai ini mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Yayasan ini mencoba membaurkan para siswa yang berbeda agar memiliki jiwa multikulturalisme yang tinggi. Di daerah lain pun sebenarnya sudah tumbuh jenis pendidikan ini. Namun tetap saja pendidikan jenis ini harus diterapkan ke semua elemen masyarakat di semua daerah Indonesia. Dengan itu setidaknya ancaman disintegrasi bangsa semakin berkurang. Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua! Mari kita cegah konflik SARA.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4