Oleh: Gio Ovanny Pratama
Domba? Ya domba memang sebutan untuk binatang berkaki empat berbulu lebat. Ada yang berbulu putih dan ada yang berbulu hitam. Tak jarang bulu lebatnya itu sering diburu orang-orang untuk industri tekstil. Selain dagingnya bisa dimakan dan menjadi sumber protein, susunya juga kaya akan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Begitu banyak manfaat binatang yang satu ini.
Namun apa jadinya jika kata “domba” ditambah dengan kata “politik” dan “adu” diawalnya? Tentu saja maknanya berubah 180 derajat. “Politik adu domba” itu lah jadinya. Bersinonim dengan politik pecah belah menjadikan istilah ini popular dikalangan pejabat-pejabat struktural pemerintahan dari masa ke masa. Pun demikian dengan masyarakat awam dan menengah ke bawah serta rakyat biasa, semuanya akrab dengan yang satu ini. Hal ini membuktikan bahwa politik adu domba bukan kemana-mana tapi ada dimana-mana dan kapan saja.
Mari kita simak kembali perjalanan sejarah negeri ini. Sebelum tahun 1900-an, ketika para pejuang kemerdekaan masih berjuang dengan senjata khas bambu runcing. Tak ada kesatuan dan kekompakkan bagi pejuang diseluruh pelosok negeri. Jangankan secara nasional, di tingkat daerah saja sesama pribumi tercipta kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Ambil contoh perang Paderi di Sumatera Barat, perang ini meletus karena perbedaan pendapat antara kaum paderi yang berprinsip kepada ajaran islam dengan kaum adat yang berprinsip pada aturan adat turun temurun dari nenek moyang.
Apakah sebenarnya yang menyebabkan peperangan ini? mempertahankan idealisme masing-masing? Itu hanya akar masalahnya. Yang sebenarnya terjadi adalah adu domba dari penjajah Belanda. Campur tangan Belanda di Ranah minang tak lain tak bukan adalah demi memperluas pengaruh kolonialisme dan kekuasaan mereka. Mereka mempengaruhi tokoh-tokoh dari kedua pihak sehingga timbul perselisihan antara kedua kubu. Buktinya setelah perang berakhir Belanda berhasil mencapai tujuannya, yaitu menangkap tokoh paling berpengaruh Tuanku Imam Bonjol dan menguasai daerah Ranah minang dan sekitarnya.
Begitu pulalah yang terjadi pada daerah lain di nusantara selama perang kemerdekaan. Adu domba dan pecah belah menjadi senjata utama penjajah Belanda dalam mendapatkan kekuasaan di Indonesia.
Dalam bahasa Belanda politik adu domba disebut dengandevide et impera. Sadar dengan kegigihan masyarakat pribumi dan jumlah yang banyak belanda menemukan sebuah cara untuk menguasai Indonesia kala itu. Dengan adu domba dan pecah belah, Belanda berhasil memecah kelompok-kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok menghancurkan kelompok lainnya. Akhirnya Belanda tinggal menghancurkan kelompok kecil yang tersisa dan diakhiri dengan tawa lepas.
Hal ini pula lah yang diadopsi masyarakat Indonesia. Terutama petinggi-petinggi negaranya. Perasaan tak senang jika tak menguasai, tak senang jika posisi tertentu diisi orang lain, menjadikan politik adu domba jembatan menuju kekuasaan. Tak peduli rakyat akan tertindas olehnya yang penting berkuasa!
Sejak dibentuknya negeri ini oleh The Founding Fathers, politik adu domba terasa telah mengalir didarah masyarakat Indonesia. Warisan tak berwujud itu secara tak langsung diturunkan kompeni kepada masyarakat pribumi negeri ini.
Wujudnya memang tak nampak, tapi ia ada dimana-mana. Seperti sinetron yang sedang menjamur di negeri ini. Secara tak langsung telenovela versi Indonesia ini menjadi salah satu agen dalam meroketnya kekuatan adu domba. Bertemakan kehidupan remaja namun yang dipertontonkan lebih banyak intrik dan konflik antar tokoh demi mencapai tujuan masing-masing. Antagonis dan protagonis, protagonis selalu saja tertindas, antagonis selalu menang dengan akal-akal liciknya menebar kebohongan dan fitnah demi meraih tujuannya yang picik.
Di level yang lebih tinggi, para elit juga memerankan tokoh protagonis dan antagonis. Layaknya sinetron, protagonis selalu tertindas, antagonis dengan sengaja memecah belah kelompok besar menjadi kelompok kecil dengan tujuan tak ada kekuatan besar yang bisa menghalangi rencananya mendapatkan kemenangan. Hal inilah yang mengakibatkan sebuah program yang telah disusun tak kunjung terealisasi.
Sering kali kita berjumpa dengan hal di atas dikehidupan sehari-hari. Intrik dan konflik kepentingan dipertontonkan seakan menjadi hal lumrah dan menjadi kebanggaan bagi pelakunya. Yang lurus malah dibungkam, yang sesat justru dijunjung dan diagungkan. Inilah benih yang telah diwariskan kolonial Belanda kepada negeri tercinta ini.
Masyarakat sekarang dituntut harus bijak dan pandai menilai kebenaran itu. jangan mudah terprovokasi berita yang belum tentu benar. Sebuah informasi harus di kroscek lagi, jangan mudah diadu domba, jernihkan pikiran dan lihat baik-baik kebenaran yang hakiki.