Oleh: Lusia Ayuly Perangin-Angin
Deru napasku terdengar berat
Langkah kakiku tersendat-sendat
Kelimpungan aku mencari alasan
Rupanya kaumku masih terjerat
Cahaya pelitaku padam tanpa isyarat
Keadilan yang disuarakan bagiku terkesan ambigu
Sebab mulutku tergugu
Tertahan kaummu yang mengangkat dagu
Tuan-tuan, mengapakah kamu mengurungku?
Sampai kapankah duka hatiku akan terus membelenggu?
Katanya berdiri sama tinggi duduk sama rendah
Lantas mengapa kewalahan aku mengatur langkah?
Pikirku aku yang terlalu lelah
Sebab telah berjuang keras namun tetap kalah
Oleh patriarki yang terus berulah
Sosokku kerap disamakan dengan ular
Kehadiranku dianggap liar
Benakku lantas tawar
Padahal dagingmu lah yang terlalu lapar
Pun pikiranmu sudah tercemar
Cahaya di depan mataku tampak meredup
Lalu aku berlari dengan jantung yang terus berdegup
Namun itu tak pernah cukup
“Wanita tidak mungkin mampu.”
Terdengar sayup-sayup
Mataku sengaja ditutup dan mulutku kembali terkatup
Kulihat dunia seakan apatis
Segala usahaku selalu ditepis
Eksistensiku diabaikan dengan sadis
Perlukah daku menjerit histeris?
Kini kesabaranku terbakar habis
Aku bukan boneka fantasi pemuas nafsumu
Bukan pula kaum rendah yang dapat kau anggap babumu
Dimana hati nurani dan akal sehatmu?
Bukankah kau juga lahir dari rahim seorang ibu?
Jangan halangi kilau pelitaku
Agar aku mampu berjalan selaras denganmu