Oleh: Fredick Broven Ekayanta Ginting
Monza (pakaian bekas) jadi kebutuhan sandang yang terjangkau oleh masyarakat dan mampu menggerakkan perekonomian. Sisi sebaliknya, monza dianggap mematikan industri tekstil dan garmen tanah air, serta merugikan negara.
Dua bulan lalu Dodi Trisgandi (30) tengah gusar. Pekerjaan proyek sehari-harinya di Padang, Sumatera Barat, mulai menjenuhkan. Jiwa perantauan dirinya memanggil kembali. Dodi ingin kembali meninggalkan kampung asalnya. Akhirnya, Dodi putuskan Medan jadi tujuannya. “Lebih dekat (dari Padang –red), dengar-dengar pergaulannya enak,” tukasnya, Jumat (24/10). Pada 1999 hingga 2003, Dodi sempat merantau ke Jakarta untuk berdagang di Pasar Tanah Abang.
Belum lama menginjakkan kaki di Medan, Dodi memutuskan berdagang pakaian bekas. Tak sulit bagi Dodi untuk memulainya. Dodi berkenalan dengan seorang tauke, kemudian menjadi pemasok pakaian bekas. Tauke itulah yang menyediakan sebuah kios di Pajak Melati (Pamela).
Di kiosnya, Dodi menjajakan sekitar seratus pakaian bekas dengan harga beragam. Mulai dari Rp 10 ribu per potong, Rp 15 ribu per potong, sampai Rp 75 ribu untuk pakaian yang lebih berkualitas.
Sayang, sudah sebulan berjualan Dodi belum pernah mendapati situasi pasar yang ramai oleh pengunjung. Pendapatan paling besar yang bisa ia kumpulkan sehari berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu rupiah. Pernah pula hanya Rp 50 ribu yang diperoleh, saat ia membuka kios selama 9 jam, pukul 10 pagi hingga 7 malam.
Namun keadaan itu tak menyiutkan Dodi. Sebelum memutuskan berdagang pakaian bekas, ia sudah mendengar cerita dari teman-temannya bahwa Medan menjadi salah satu pasar besar perdagangan pakaian bekas impor.
Medan memiliki beberapa pasar yang terkenal dengan pakaian bekasnya. Selain Pamela yang ramai setiap Selasa, Jumat, dan Minggu, dikenal pula Pasar Sukaramai, Pasar Sambu, dan Pasar Simalingkar. Pasar Simalingkar menjadi pusatnya. Barang-barang dibawa para tauke dari Tanjung Balai atau Belawan ke Pasar Simalingkar. Dari sanalah para pedagang seperti Dodi mengambil barang.
Sebulan terakhir memang menjadi masa lesu yang dialami para pedagang pakaian bekas. Hal ini juga dialami M Sihombing (34), pedagang pakaian bekas lainnya. Sihombing biasanya berdagang di Pajak Singa, Kabanjahe, Pamela, Pangkalan Susu, dan Batangkuis.
Ia rutin mengambil beberapa bal pakaian setiap minggunya. Namun belakangan barang yang tersedia menurun. Dari tauke, Sihombing dapat informasi kerap ada razia di laut. Banyak pakaian-pakaian bekas yang dibawa dari Singapura, tak bisa masuk ke Tanjung Balai. “Katanya karena ilegal,” sesalnya. Alhasil, setiap mencari barang Sihombing terpaksa memilih apa yang tersedia.
Pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan tegas melarang kegiatan impor pakaian bekas. Selain alasan kesehatan, ada dua faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya aturan ini. Kepala Seksi Penindakan I Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kantor Wilayah Sumatera Utara Novriansyah menyatakan aturan ini juga ditujukan untuk melindungi industri tekstil dalam negeri.
Akibat beredar luasnya pakaian bekas impor, pengusaha tekstil dalam negeri kehilangan pasar sehingga tak bisa berkembang. Sementara faktor lain berkaitan dengan martabat bangsa.
“Masak Indonesia jadi sarang barang bekas,” ujar Novriansyah.
Oleh karenanya, dalam beberapa bulan terakhir DCBC meningkatkan aktivitas patroli laut untuk mencegah masuknya kapal-kapal yang menyelundupkan pakaian bekas. Dibantu oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, DJBC memasang “pagar betis” di laut. “Ditempatkan berbagai armada laut,” ceritanya.
Hasilnya, sepanjang tahun ini DJBC belum menangkap masuknya kapal. “Artinya pencegahan ada hasilnya.”
Novriansyah berpendapat berkurangnya stok pakaian bekas seperti yang dialami Dodi dan Sihombing menjadi indikator berhasilnya DJBC melakukan pencegahan. Berbeda dengan dua tahun terakhir, DJBC menangkap 2.387 bal pakaian bekas sepanjang 2014 dan 748 bal serta 187 kilo pakaian bekas sepanjang 2013. Total angka tangkapan selama dua tahun tersebut mencapai sekitar Rp 10 miliar rupiah.
Namun bukan berarti DJBC tak mengalami kesulitan dalam melakukan operasinya. Sepanjang seribu kilometer pantai timur Sumatera Utara, Novriansyah menyebut ada banyak tangkahan (tempat bongkar kapal) ilegal yang kerap dilabuhi kapal-kapal pembawa pakaian bekas impor.
Pemerintah Indonesia pun hanya bisa menindak di laut karena negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura melegalkan ekspor pakaian bekas ke negara lain. “Tapi dalam negeri mereka, tidak boleh diperjualbelikan,” ujar Novriansyah. Pelabuhan Port Kelang di Malaysia menjadi salah satu sumber masuk terbesar pakaian bekas ke Indonesia.
Ketika Menteri Perdagangan masih dijabat Rachmat Gobel, sempat dirancang aturan untuk lakukan operasi pakaian bekas di pasar. Namun hingga aturan tersebut belum selesai sehingga DJBC hanya punya kewenangan menindak pakaian bekas yang ada di laut saja.
Sihombing yang sudah berdagang sejak 2001 merasakan dampak yang cukup drastis dengan berkurangnya pasokan pakaian bekas. Jumlah pengunjung dirasakannya ikut mengalami penurunan. Bahkan sebelumnya Sihombing sanggup mempekerjakan empat karyawannya untuk jaga kios. “Terpaksa diberhentikan, enggak sanggup bayar gajinya.”
Sihombing pun berhipotesis perekonomian Indonesia saat ini mengalami perlambatan berhubungan dengan berkurangnya pasokan pakaian bekas. Ketiadaan kebutuhan sandang sebagai salah satu kebutuhan primer masyarakat yang mampu dijangkau mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat.
Terkait isu pakaian bekas yang mengandung bakteri dan dapat membahayakan kesehatan pengguna, Sihombing menyangkal. “Mohon maaf, mulai dari celana dalam, baju, celana, jaket bertahun-tahun enggak ada buat penyakit,” jelas Sihombing merujuk pada pengalamannya yang sudah berdagang pakaian bekas selama empat belas tahun.
Cerita tak jauh beda hadir dari Pasar Sambu. Mak Ronal (56), salah satu pedagang pakaian bekas di sana mengaku belum mendapatkan satu bal barang pun dari distributor tempat ia memesan selama dua bulan terakhir. Seperti Sihombing, Mak Ronal dapat cerita bahwa barang-barang yang masuk ke Indonesia ditilang dan dibuang.
Ia tak menampik pakaian bekas yang masuk ke Sumatera Utara diimpor secara ilegal dari Malaysia dan Singapura. Namun, menurut Mak Ronal pemerintah belum menemukan solusi yang tepat dalam mengatur pengetatan masuknya pakaian bekas.
Mak Ronal bercerita menjual pakaian bekas merupakan mata pencaharian utamanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Paling pendapatan per hari hanya Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu rupiah. Uang itu digunakan untuk kebutuhan pangan sehari-hari dan membayar listrik. “Kadang enggak cukup,” keluhnya. Apalagi ia mesti menanggung biaya hidup empat anaknya setelah suaminya meninggal tahun lalu.
Perdagangan pakaian bekas dianggap Mak Ronal membantu masyarakat miskin di Indonesia. “Saya hanya bisa jual barang ini (pakaian bekas—red) karena peminatnya juga banyak,” ujarnya. Selain itu, bagi masyarakat menengah ke bawah, pakaian bekas adalah salah satu pilihan belanja karena harganya terjangkau dan ramah kantong.
“Mahasiswa saja sering datang ke sini,” cerita Mak Ronal. Untuk harga sewa kios Mak Ronal pun hanya bayar 2 ribu rupiah per harinya kepada KPUM setempat.
Desi Nurhayati merupakan salah satu konsumen pakaian bekas ini. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut kerap berburu barang-barang bekas di Pamela. Pilihan berbelanja ini dikarenakan menurut Desi kualitasnya lebih bagus dibanding dengan barang serupa berharga sama. “Bahkan kadang harganya terbilang sangat murah jika dilihat dari segi kualitas.”
Dina, salah satu pelanggan pakaian bekas lain saat ditemui di Pamela mengatakan barang-barang yang ada di pasar saat ini jauh menurun dari waktu sebelumnya. “Tak sebanyak dan tak sebagus dulu,” imbuhnya. Perempuan asal Binjai ini rutin belanja ke Pamela karena menurutnya merupakan pasar pakaian bekas terbesar. Mengenai masalah kesehatan ia tak pernah keluhkan. “Cuma digosok pakai sabun batang dan direndam semalam,” ceritanya.
Pengamat ekonomi sekaligus dosen Departemen Ekonomi Pembangunan FEB USU Irsyad Lubis mengatakan pemerintah harus ambil kebijakan yang menciptakan kerugian seminimal mungkin. Sebab keberlangsungan hidup pedagang pakaian bekas ini tergantung dari pemerintah.
Menurutnya, sebaiknya pemerintah tak serta merta menghentikan impor barang-barang bekas. Pasalnya, kegiatan tersebut telah menghasilkan kegiatan ekonomi yang menyerap tak sedikit tenaga kerja. “Jangan sampai kebijakan yang diambil menyusahkan pedagang yang telah ada,” jelasnya.
Irsyad gambarkan salah satu kebijakan yang mungkin bisa diterapkan pemerintahan adalah pembatasan jumlah impor barang-barang bekas. Pembatasan ini bisa menjadi jalan tengah untuk tetap menjaga keberadaan pedagang pakaian bekas dan tak akan membahayakan ruang gerak industri dalam negeri.
Pemerintah kini memang memilih menyelamatkan industri tekstil dan garmen ketimbang membiarkan masuknya impor pakaian bekas yang ilegal. Novriansyah pun memahami pilihan tersebut punya implikasi negatif yang bisa mengganggu ekonomi masyarakat. Jika impor pakaian bekas dilegalkan, industri tekstil dan garmen bisa runtuh dan ribuan orang pun bisa kehilangan pekerjaan.
Pelarangan impor pakaian bekas berpotensi mengganggu perekonomian masyarakat Medan. Di Pamela saja, jika larangan tersebut diberlakukan, sebanyak lima ribu tenaga kerja terancam menganggur. Pada akhirnya, kebijakan yang diambil pemerintah harus bisa menjaga ekonomi tetap stabil. Jika pun kebijakan yang dikeluarkan menutup kesempatan masyarakat mencari nafkah, pemerintah harusnya sudah menyiapkan lapangan kerja baru.
Koordinator Liputan : Fredick Broven Ekayanta Ginting
Reporter : Mutia Aisa Rahmi, Tantry Ika Adriati, Elda Elfianti, dan Fredick Broven Ekayanta Ginting