BOPM Wacana

Miskonsepsi Self Healing: Romantisasi hingga Foya-foya

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi | Rachel Caroline Lumban Toruan
Ilustrasi | Rachel Caroline Lumban Toruan

Oleh : Rachel Caroline Lumban Toruan

Eh, pusing banget nih gue. Kita ke mall yuk! self-healing..”

Sebagaimana manusia pada umumnya, pada saat sudah terlampau stress dalam segunung tugas, tuntutan pekerjaan, dan berbagai tanggung jawab tentu saja tidak jarang kita mencari tempat atau bentuk hiburan untuk melepaskan kejenuhan dari berbagai kesibukan. Tak heran, kalau jaman sekarang kita kerap menemukan berbagai postingan yang menunjukkan aktivitas hiburan orang-orang di media sosial selalu dihiasi dengan kata “self-healing”.

Namun, untuk sebuah hal-hal yang menenangkan lagi menyenangkan, apakah self-healing merupakan sebuah sebutan yang tepat menggambarkan serangkaian kegiatan pelepas jenuh itu? Self-healing (Penyembuhan Diri) merupakan proses dalam menyembuhkan diri sendiri dari luka batin atau luka psikologis seperti trauma.

Dr. Primatia Yogi Wulandari, M.Si, yang kerap disebut Mima merupakan seorang Pakar Psikologi Universitas Airlangga yang menjelaskan bahwa self-healing ini sebenarnya salah satu teknik yang dipakai pada saat timbul sebuah gangguan atau permasalahan psikis kita. Dengan kata lain, tambahnya, self-healing dibutuhkan ketika sebuah perasaan dan pikiran cukup mengganggu aktivitas kita sehari-hari.

Mima menjelaskan bahwa self-healing sendiri dilakukan dalam hal yang sederhana, seperti relaksasi pernafasan, membuat pola hidup sehat, hingga art-therapy. Art-therapy sendiri adalah terapi yang melibatkan aktivitas kesenian yang membantu untuk memahami diri sendiri serta bermanfaat bagi kita yang kesulitan menyampaikan perasaan negative berupa traumatis dalam kata-kata.



Meromantisasi Kejenuhan

Berbelanja hingga keliling dunia, tidakkah dirasa orang-orang sekarang seringkali mengagung-agungkan bentuk refreshing sebagai hal yang paling tepat untuk menggambarkan self-healing?

Suatu malam, saat memutuskan untuk menyudahkan segala kesibukan, untuk sejenak, saya membuka beberapa akun media sosial; termasuk twitter. Beberapa postingan dari mutual yang menunjukkan foto perjalanannya menjelajahi salah satu toko baju yang bisa dibilang ‘berkelas’ dengan caption: “’Ini self-healing terbaik saya.”

Memang, menghabiskan waktu bersama diri sendiri merupakan salah satu bagian dari self healing. Bukan hal mustahil, kamu pun bisa menyembuhkan dirimu dengan kekuatan yang kamu punya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah self-healing merupakan sebuah proses yang tentunya tidak bisa kita capai dengan cara yang instan. Langkah pertama untuk memulainya pun, kamu perlu untuk membuka kembali luka yang kamu miliki tersebut. Sejauh artian ini, sekarang, apakah benar rasa jenuh atau stress itu sudah dipastikan luka?

“Apakah tidak terlalu berlebihan untuk menamai tongkrongan, berbelanja, dan segala bentuk menghamburkan uang bisa dibalut dengan kata self-healing?, ”, dalam hati saya. Karena saat ini, saya melihat sudah terlalu sering  orang-orang memakai kata self-healing saat bersenang-senang.

Healing yang Benar-Benar Healing Bagaimana, sih?

Alih-alih berbelanja hingga foya-foya, hal-hal sederhana yang layak disebut sebagai healing ternyata sesederhana harapan yang kita munculkan dalam suatu kondisi. Harapan merupakan hal yang penting dalam segala penyembuhan diri. Perasaan putus asa merupakan salah satu ciri utama dari stress hingga depresi. Harapan terbukti membantu kita dalam penyembuhan diri bagi kita yang merasa stress akan suatu hal.

Peningkatan spiritualitas juga berperan dalam proses penyembuhan diri. Menurut D.M Wuff (1997) dalam Psikologi Agama Klasik dan Kontemporer mengatakan: “Baik spiritualitas dan agama, keyakinan dan ketaatan kita berdampak pada perilaku kita yang dapat meningkatkan rasa damai. Selanjutnya, kita memang tidak dapat mengendalikan hal-hal yang terjadi di luar diri kita.

Namun, kita memiliki kendali atas sikap dan emosi kita. Selain itu, perasaan bersyukur dapat membuat seseorang menjadi lebih baik dan mampu membuat kita beradaptasi dalam segala situasi. Sesekali luangkanlah waktu untuk menentukan kegiatan dan hal yang menjadikan diri kita berkembang dan mempertahankan sikap & perasaan positif dari diri kita.

Selalu ada hal baik dalam setiap kondisi. Viktor Frankl (1946) dalam bukunya Man’s Search for Meaning yang menjadi salah satu pedoman saya dalam pemahaman diri: “Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. Penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, tanpa penderitaan, hidup manusia tidak akan sempurna.”

Berhenti sejenak dan renungkan masa-masa sulit yang telah kita lewati ternyata mampu mengajari kita banyak hal dan membentuk sebagaimana kita hari ini. Sebab selayaknya menulis tanpa jeda, tulisan akan susah dipahami. Sebaliknya, jika kita memberi jeda, maka tulisan mudah dipahami.



Coping Stress Mechanism: Bentuk Melampiaskan Stres

Bagaimanapun, kelegaan dan kesehatan mental adalah yang terpenting. Pasalnya ketika kita memiliki kondisi mental yang sehat, maka bisa mendukung kesehatan fisik yang baik. Oleh karena itu, pada saat setiap orang mengalami masalah dalam hidupnya, entah dalam lingkup akademik, pekerjaan atau karir, hubungan keluarga, pertemanan, romansa, dsb., maka, individu tersebut bisa stres. Stres tentu tidak memandang usia, stres yang berkepanjangan pun akan melemahkan kemampuan fisik maupun psikis seseorang. Ketika seseorang, bahkan kita sendiri merasakan stres, pasti ada saja upaya dan penanganan yang kita lakukan untuk mengurangi perasaan stres tersebut.

Coping mechanism yang menjadi penyebutan atas sebuah upaya atau cara untuk menangani sebuah permasalahan yang muncul dalam kehidupan seseorang, atau mencari jalan keluar dan strategi seseorang dalam menghadapi sebuah permasalahan sehingga bisa keluar dari situasi tertekan (stress).

Menurut Stuart dan Sundeen (1991), Lazarus dan Folkman (1984), dan Friedman (1998) Coping mechanism ini terbagi dua, yaitu Problem-Focused Coping, seperti “Bagaimana cara saya menyelesaikan masalah ini?”, dan Emotion-Focused Coping yang lebih mementingkan untuk mengatur cara agar dapat membenahi perasaan agar tidak sedih/stress lagi.

Jadi, jika ingin berjalan-jalan atau bervakansi ria ke sebuah tempat dan menghamburkan uang berkedok self-healing, coba evaluasi lagi, benarkah itu tahap lanjutan dari penyembuhan diri terhadap rasa traumatis (self-healing), emotion-focused coping, atau hanya ingin refreshing?

Komentar Facebook Anda

Rachel Caroline L. Toruan

Penulis adalah Mahasiswa Psikologi USU Stambuk 2021. Saat ini Rachel menjabat sebagai Pemimpin Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4