BOPM Wacana

Hentikan Pemaskulinan Pelaku Pemerkosaan Pada Produk Jurnalistik

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Chalista Putri Nadila

 

Emang jadi pemerkosa itu keren bro?

“Diketahui sebelumnya, BA (30) Tega menggagahi R, nenek berusia 60 tahun”. Kalimat tersebut saya temukan di media berita terkenal tribunnews.com. Saya sendiri sebenarnya tidak mengerti apa yang dipikirkan media tersebut saat memilih diksi “menggagahi”.

Menggagahi berasal dari kata gagah yang memiliki arti kuat, besar, tegap, dan tampak mulia. Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menggagahi memiliki dua makna. Definisi pertama yaitu menguasai dengan kekerasan dan pengertian lainnya adalah memerkosa.  Dari definisi tersebut, saya menjadi berasumsi bahwa perkosaan adalah tindakan yang gagah.

Jika tujuannya untuk memperhalus, maka kembali ke pertanyaan sebelumnya. Mengapa diperhalus? Nyatanya diksi memerkosa juga terdapat di KBBI. Baik menggagahi atau memerkosa sudah menjadi bahasa umum yang banyak diketahui orang karena sudah terdaftar di KBBI.

Ujung-ujungnya saya hanya bisa berasumsi bahwa penggunaan kalimat tersebut digunakan untuk menunjukkan kebiadaban pemerkosa menjadi terhormat. Kata “digagahi” menjadi menunjukkan bahwa perkosaan adalah suatu tindakan yang jantan dan maskulin.

Masih dengan berita yang sama, saya semakin heran melihat media ini. Di dalam berita tersebut terdapat juga redaksi “Usai melakukan aksinya, pria berinisial BA (30 tahun) itu mengaku khilaf. Alasannya, kata dia, hasratnya tiba-tiba menggebu melakukan hubungan badan ketika baru bangun tidur”.



Seolah perbuatan perkosaan adalah hal yang wajar dan dapat dimaklumi karena dilakukan secara khilaf. Hasrat dari pelaku juga seolah-olah merupakan sesuatu yang dasar sehingga pemerkosaan dapat dimaklumi, kira-kira sama dengan warga miskin kelaparan yang terpaksa mencuri makanan.

Saya mengerti kalau jurnalis harus menulis sesuai fakta dan data. Saya juga tidak berkata kalau pelaku khilaf bukanlah sebuah fakta. Saya juga mengetahui bahwa kalimat tersebut dibuat atas dasar keterangan dari Kapolsek Mauk AKP Rustantyo saat dihubungi oleh Tim Tribunnews.

Namun bagaimana dengan nasib korban? Bukankah hal tersebut juga fakta? Di berita ini justru saya sama sekali tidak menemukan pembahasan terkait nasib korban. Bukankah berita haruslah berimbang? Maka saya rasa pendapat dan perasaan korban harusnya bisa ditambahkan.

Dan yang menjadi pertanyaan juga, apa sih pentingnya meliput kondisi pelaku? Kalau bicara menyoal tulisan tersebut akan trending atau tidak, maka kita bisa berkaca pada sebuah laporan dari Project Multatuli tentang pencabulan di Luwu yang berfokus pada korban juga bisa tuh trending.  

Belum lagi penggunaan kalimat tambahan yang menggambarkan korban sebagai objek seksual seperti “gadis cantik”, “pria tampan”, “wanita seksi” dan lainnya seperti pada judul berita Tribunnews Makassar. Berita tersebut berjudul “Mabuk Sembarangan, Gadis Cantik Diperkosa 2 Pria Berbeda, Saat Pulang dari Tempat Hiburan Malam”.

Penyebutan korban dengan “gadis cantik” secara tak langsung memberi pesan tentang gairah seks pemerkosa terhadap korban. Tentu judul tersebut tidak etis dan berpotensi memperburuk kondisi mental korban. Belum lagi kalimat pengantar dari berita tersebut. “Makanya jangan mabuk sembarangan, seperti dialami wanita ini?” seolah kesalahan terdapat pada korban yang mabuk sembarangan, bukan pada pemerkosa.   

Tapi mungkin jika dilihat survei dari Komnas Perempuan tercatat jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus.

Sementara jika dibandingkan dengan keterangan dari Reza, Sekjend Aliansi Jurnalis Independen (AJI), diterangkan bahwa media masih banyak jurnalisnya didominasi oleh laki-laki dan ini tercermin di AJI mayoritas anggotanya laki-laki dan 30% perempuan. Lebih spesifiknya, jurnalis laki-laki berjumlah 1.502 orang sementara jurnalis perempuan hanya 344 orang.

Jika mengaitkan kedua fakta ini saya kembali berasumsi bahwa produk-produk jurnalistik yang tidak melindungi korban sepertinya dipengaruhi dengan adanya sifat patriarkis. Sudahi keabstrakan ini, tiada yang perlu diperhalus pada kata perkosa karena nyatanya pemerkosaan adalah tindakan yang tidak manusiawi. Sudahi juga berita dengan pemilihan angle yang melindungi pelaku, karena nyatanya korbanlah yang layak dilindungi.

Menjawab pertanyaan di awal, menjadi pemerkosa itu tidak buat kalian keren dan jantan, bro.

Komentar Facebook Anda

Sondang William Gabriel Manalu

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hukum USU Stambuk 2019. Saat ini Sondang menjabat sebagai Pemimpin Redaksi BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4